Bisnis.com, JAKARTA--Penurunan tarif interkoneksi selular dinilai menjadi bukti keberpihakan pemerintah kepada masyarakat.
Rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk merevisi tarif interkoneksi dengan persentase penurunan yang lebih besar disambut positif oleh berbagai kalangan.
Salah satu yang mendukung hal itu adalah organisasi akademisi Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma). Sekretaris Jenderal Lisuma, Al Akbar Rahmadillah, mengatakan pihaknya melihat langkah Kemenkominfo sangat tepat.
Utamanya, lanjut dia, dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat terkait pelayanan telekomunikasi. "Ini adalah kebijakan yang pro rakyat, karena yang merasakan ini adalah rakyat secara langsung," ujarnya, Rabu (24/8/2016).
Seperti diketahui, tarif interkoneksi atau biaya bicara melalui operator telekomunikasi yang berbeda menjadi polemik belakangan ini. Sebab, tarif off-net, istilah bagi pelayanan interkoneksi ini, dinilai masih terlampau tinggi.
Penurunan tarif interkoneksi sebesar 30% menurut banyak pengamat telekomunikasi kurang mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
Akbar juga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendukung strategi Kemenkominfo ini. DPR sebagai pihak legislatif adalah perwakilan suara rakyat dan sudah selayaknya mengawal kepentingan rakyat Indonesia.
"DPR sebagai kepanjangan tangan dari suara rakyat seharusnya mendukung kebijakan ini, karena rakyat bisa menikmati layanan telekomunikasi secara terjangkau," imbuhnya.
Lebih jauh, Sekjen Lisuma itu melihat adanya dasar aturan yang kuat dari pemerintah terkait tarif interkoneksi ini. Intinya, ada negara yang hadir dalam memberi layanan telepon bagi rakyat, meskipun operator telekomunikasinya berbeda-beda. Sehingga hak-hak warga Indonesia untuk berkomunikasi antara satu dengan lain bisa terjamin.
Selama ini, menurut Akbar, tarif interkoneksi yang melambung tinggi khususnya di Indonesia bagian Timur sangat memberatkan. Bahkan, dia juga mengamati ada pihak tertentu yang menggiring isu interkoneksi ke arah kerugian negara. Pandangan tersebut dikatakan salah besar, apalagi merugikan PT Telkomsel, operator pelat merah.
Berdasarkan laporan keuangan, pendapatan Telkomsel untuk layanan suara per menit mencapai Rp105. "Sehingga tarif interkoneksi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp204, sudah dua kali lipat dari harga Telkomsel. Dan ini tidak merugikan Telkomsel yang merupakan afiliasi dari BUMN PT Telkom," ujar Akbar.
Anggota DPR Komisi I dari Fraksi PKS, Sukamta, menilai polemik tarif interkoneksi memang perlu diperjelas. Harus ada penyelarasan konsep adil dari berbagai pihak atas tarif interkoneksi. Pasalnya, masih ada kerancuan pandangan, utamanya dari operator telekomunikasi terkait hal ini. "Skema yang adil semestinya disesuaikan dengan kondisi operator," imbuh Sukamta.
Pemerintah, menurut kader PKS ini, perlu memasukan biaya pembangunan (capital expenditure/Capex), unsur risiko, quality of service, dan biaya operasional dalam penghitungan tarif interkoneksi. Seperti diketahui, pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah-daerah seringkali dikeluhkan operator kecil. Sebab, nilai investasi yang dikeluarkan sangat besar dan sulit dilakukan.