Bisnis.com, JAKARTA - Dalam ajang Consumer Electronics Show (CES) 2016 di Las Vegas awal Januari lalu, CEO sekaligus pendiri Netflix Reed Hastings mengumumkan ekspansi ke 130 negara sekaligus. Perusahaan media streaming ini pun turut menyambangi Indonesia sebagai salah satu lokasi ekspansinya.
Terlihat dari respon di media sosial, masyarakat Indonesia menyambut baik kedatangan layanan streaming ini ke Tanah Air. Selain itu, perusahaan yang telah melantai di bursa Amerika Serikat dengan kode emiten NFLX ini pun memberikan pemanis sebagai bagian promosinya dengan iming-iming satu bulan gratis menikmati semua film di Neflix.
Kedatangan layanan media steraming itu tentunya menimbulkan pro dan kontra. Belum belum genap satu bulan kedatangan layanan ini di Indonesia, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk bersuara lantang dengan menyatakan penentangannnya terhadap kehadiran layanan itu.
BUMN itu pun memproklamirkan bahwa layanan itu tidak sah hadir di Indonesia. Seperti disampaikan Direktur Consumer Telkom Dian Rachmawan, pihaknya nmemblokir layanan ini. “Para pengguna jaringan Internet grup operator plat merah ini tidak bisa mengakses NFLX.”
Dian mengungkapkan pemblokiran tersebut dilatarbelakangi Netflix tidak memenuhi regulasi di Indonesia. Adanya konten berbau pornografi di Netflix pun menjadi salah satu alasan pemblokiran tersebut.
“Kami blokir Netflix karena tidak memiliki izin atau tidak sesuai dengan peraturan di Indonesia dan banyak memuat konten yang tidak diperbolehkan di negara ini,” ujarnya.
Konten Netflix yang dipermasalahkan ini mengacu pada Undang-Undang No. 33/ 2009 terkait Perfilman, khususnya Pasal 57. Telkom menilai perusahaan asal Amerika Serikat ini diharapkan dapat mengantongi izin usaha di Indonesia.
Reaksi keras Telkom terhadap layanan media streaming langsung mendapatkan komentar dari Menteri Komunikasi dan Informatika. Menurut Rudiantara, Netfilx memenuhi kategori sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Indonesia, sehingga memang harus mengikuti kebijakan yang ada di Indonesia.
“Salah satu kebijakan yang paling pokok diikuti oleh PSE adalah keharusan membuat Badan Usaha Tetap (BUT). Pasalnya, dengan BUT maka akan memenuhi unsur legalitas hak/kewajiban secara hukum, regulasi fiskal, kepastian perlindungan konsumen dan beberapa hal terkait lainnya,” ujarnya.
Pro dan kontra memang sudah berhamburan sejak kedatangan Netflix ke Indonesia. Dua pekan lalu, sebelum kejadian pemblokiran, rapat yang berlangsung di tingkat Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Telekomunikasi Indonesia (BRTI) telah mensepakati pemerintah memberikan tenggat waktu satu bulan untuk perusahaan streaming ini memenuhi kewajibannya sesuai regulasi yang berlaku.
Sebelumnya pun, Rudiantara mengungkapkan Netflix harus berbadan hukum tetap atau menggandeng operator telekomunikasi di Indonesia. Namun, belum genap satu bulan, operator plat merah telah terlebih dahulu memblokir layanan tersebut.
Menanggapi pemblokiran tersebut, seperti yang dikutip dari The Wall Street Journal, juru bicara Netflix mengungkapkan akan berusaha mematuhi regulasi di Indonesia. Namun, terkait izin penyiaran, Netflix mengungkapkan jaringan televisi mereka berbasis Internet bukan stasiun televisi pada umumnya.
Sebenarnya, kasus serupa bukan hanya terjadi di Indonesia saja. China terang-terangan tidak mengizinkan perusahaan ini masuk ke negaranya. Maka, China tidak termasuk ke dalam 130 negara yang menjadi lokasi ekspansi Netflix.
Sedangkan di Vietnam, kejadiannya menyerupai di Indonesia, yakni pemerintah setempat saat ini meminta NFLX memiliki izin dari regulator dan memastikan konten yang disalurkan comply dengan aturan yang ada. Di Singapura dan Italia, kasus pemblokiran pun sempat terjadi hingga akhirnya Netflix menggandeng SingTel dan StarHub, selain Telecom Italia.
Pro dan kontra layanan streaming itu adalah wajar saja terjadi. Tidak dipungkiri, regulasi yang ada saat ini berjalan sudah tidak mampu lagi menampung konvergensi di sektor ini dengan sejumlah produk layanannya. Dan, sayangnya layanan berbasis konvergensi itu datangnya dari asing.
Terlepas dari itu, pemerintah tentunya memiliki kewajiban untuk segera mengaturnya, karena layanan itu langsung hadir ke jantung konsumennya, tidak seperti film yang disajikan di bioskop dengan segala batasannya.
Koordinasi lintas kementrian sangat dibutuhkan untuk segera memutuskan kasus ini, dan tidak perlu berlama-lama. Peran pemerintah dibutuhkan untuk menjaga marwah nilai-nilai budaya dan agama yang masih sangat kental di negara ini.