Proyek Balon Google: Alokasi Frekuensi Berpotensi Jadi Obyek Gugatan

Samdysara Saragih
Jumat, 8 Januari 2016 | 08:51 WIB
Ilustrasi cara kerja balon Google di Indonesia dalam Loon Project. / SSumber: siaran pers Google
Ilustrasi cara kerja balon Google di Indonesia dalam Loon Project. / SSumber: siaran pers Google
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dan operator seluler didesak membatalkan rencana uji teknis Project Loon Gooogle Inc karena dikhawatirkan dapat menjadi obyek gugatan di Arbitrase Internasional bila kerja sama diputus di tengah jalan.

Pengamat telekomunikasi Riant Nugroho meyakini Project Loon akan menjadi proyek jangka panjang, tidak hanya program satu tahun seperti yang dinyatakan pemerintah. Menurutnya, bila kerja sama sudah terlaksana maka posisi operator akan sulit jika harus menarik kembali alokasi frekuensi yang diberikan.

“Katakanlah kalau nanti kita sudah berikan frekuensi dan dibatalkan di tengah jalan, maka Google akan menggugat ke Arbitrase Internasional. Kalau diperkarakan kita bisa kalah. Ini sama seperti Pertamina kalah saat menghadapi gugatan Karaha Bodas,” katanya saat dihubungi Bisnis.com, beberapa waktu lalu.

Riant mengatakan awal mula kisah PT Pertamina-Karaha Bodas Co (KBC) mirip dengan kerja sama operator dan Google. Kontrak kedua pihak memang bersifat business to business, tetapi juga terdapat campur tangan pemerintah.

Pertamina, misalnya, pada 1994 menggandeng KBC sebagai kontraktor pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi guna menjalankan program elektrifikasi pemerintah. Sementara Project Loon digadang-gadang sebagai langkah perluasan dan pemerataan akses pita lebar seperti diamanahkan dalam Rencana Pita Lebar Indonesia 2014-2019.

Kerja sama Pertamina-KBC akhirnya stop di tengah jalan karena terjadi krisis ekonomi. Namun, KBC malah menggugat Pertamina karena penghentian kontrak membuat perusahaan asal Amerika Serikat itu merugi.

“Saya pastikan kalau sampai Google bawa operator dan pemerintah ke Arbitrase pasti kalah. Bargaining Indonesia, kalau sudah berhadapan dengan negara besar, tidak kuat,” ujar Riant.

Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) 2012-2015 ini mengingatkan bahwa Google telah menanamkan investasi besar untuk membangun balon-balon yang membawa stasiun pemancar dan penerima (BTS) tersebut. Apalagi, BTS terbang itu cocok untuk pasar Indonesia, negara kepulauan luas yang memiliki keterbatasan dalam membangun menara-menara tempat mencantolkan BTS di darat.

Di Indonesia, Project Loon melibatkan tiga operator seluler yakni PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo), dan PT XL Axiata Tbk (XL). Dalam pertemuan di Markas Besar Google di Silicon Valley, pada Oktober 2015, ketiga perusahaan telekomunikasi itu bersedia mengizinkan balon-balon Google menggunakan alokasi pita frekuensi 900 MHz yang mereka miliki.

Pemerintah telah menetapkan pita frekuensi 900 MHz berstatus teknologi netral sehingga pemegang lisensi bisa menggunakannya untuk menggelar layanan 2G, 3G, hingga 4G. Menurut rencana, Project Loon akan berjalan pada awal 2016 dan berlangsung selama satu tahun. 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper