Bisnis.com, JAKARTA - Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, sesuai dengan regulasi yang baru, sudah disentralisasikan ke daerah. Meski begitu, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap mengawal standar, kualitas, dan kebijakan.
Apa saja kebijakan dan terobosan untuk mengatasi masalah di sektor ini? Bisnis baru-baru ini mewawancarai Mendikbud Anies Rasyid Baswedan. Berikut petikan wawancaranya:
Apa yang menjadi evaluasi Kemdikbud terkait dengan pencapaian sektor pendidikan setahun pemerintahan hingga akhir 2015?
Saat kami mulai bertugas ada masalah, kurikulum [2013] yang diterapkan secara terburu-buru sehingga menimbulkan kegaduhan dalam implementasi di lapangan. Di sana ada 112.000 sekolah. Karena itu, langkah pertama kami adalah membereskan kurikulumnya sehingga saat diimplementasikan justru mempermudah proses belajar. Bukan mempersulit proses belajar. Kami menunda pelaksanaan kurikulum [2013, kembali ke kurikulum 2006 bagi yang belum siap].
Kami memperbaiki desain dan dokumen sehingga ketika dilaksanakan bisa berjalan. Jadi [kurikulum 2013] bisa dilakukan secara bertahap. Ini bisa dicek ke sekolah-sekolah bagaimana rasanya mereka melaksanakan kurikulum yang sebelumnya. Itu baru berjalan kira-kira 4 bulan. Sekolah itu mulai Juli. Saya baru masuk, mulai Oktober.
Apa pertimbangan penghapusan kelulusan dari Ujian Nasional?
Bayangkan 10 tahun lebih kita ini dalam rasa takut akan ujian nasional. Semua tegang. Takut. Sekolah itu jadi menakutkan. Kalau sudah kelas 3 semua kegiatan berhenti. Semua stress. Sebenarnya tes dan ujian itu biasa. Tapi dalam UN dimasukkan unsur kelulusan. Ini membuat rasa takut yang luar biasa. Siapapun.
Jadi langkah kami adalah dengan menghilangkan kelulusan dari UN. Tujuannya, memerdekakan anak-anak kita. Memerdekakan sekolah-sekolah kita. Kelulusan dikembalikan otoritasnya kepada sekolah. Dulu 10 tahun lebih, kelulusan ini yang menentukan kita sendiri. Dari Jakarta. Apa yang terjadi? Anak boleh belajar 12 mata pelajaran. Tapi begitu kelas 3 dia hanya belajar yang untuk UN. Apa yang terjadi? Guru-guru yang mata pelajarannya bukan menjadi ujian nasional tidak dianggap penting, dan itu berjalan 10 tahun lebih.
Republik ini kehilangan momentum besar untuk belajar. Dan sekarang, guru, wali kelas, musyawarah guru, kepala sekolah, yang menentukan bagaimana anak itu lulus atau tidak karena memang mereka yang tahu.
Bagaimana kebijakan penyelenggaraan UN ke depan?
UN tetap berjalan agar kita mengetahui potretnya. Di UN sekarang, ini ditambah dengan memperhitungkan faktor integritas. Selama 10 tahun orang selalu bercerita tentang kecurangan dan pemerintah selalu menutup-nutupi seakan-akan tidak ada kecurangan. Kalau ada anak yang lapor malah dihukum, kena sanksi sosial. Bagaimana republik ini, kalau begini terus?
Sekarang justru kami balik. Negara yang akan mengumumkan kejujuran. Negara yang akan menunjukkan mana sekolah yang menjalankan dengan kejujuran dan mana yang harus diperbaiki. Sekarang dibalik, kami yang melaporkan. Kami yang tunjukkan datanya.
Jadi dalam satu tahun ini, pendidikan yang faktor-faktor menakutkannya itu kita hilangkan. Konsepnya adalah pendidikan harus menyenangkan bukan menakutkan. Jadi, ujian nasional dibuat menjadi sesuatu yang tidak berisiko ditambahkan dengan faktor integritas.
Apa parameter sektor pendidikan paling penting dan prioritas?
Kunci pendidikan ada pada guru. [Analoginya] kunci itu bisa untuk menutup pintu dan bisa untuk membuka pintu. Nah kami ingin guru sebagai kunci itu membuka wawasan, membuka pengetahuan, mencerahkan. Dia membuka perspektif bagi anak [siswanya]. Karenanya, kompetensi guru jadi sangat penting. Guru yang kompeten dan kinerjanya baik InsyaAllah akan bisa membukakan pintu dan menjadi ‘kunci’ yang baik.
Pertama kalinya kami menyelenggarakan uji kompetensi guru serempak. Tak pernah dalam sejarah republik ini ada uji kompetensi guru untuk seluruh guru yaitu 2,9 juta guru dalam 1 bulan. Kita bisa masuk Guinnes Book of World Record karena tak ada yang melakukan sebelumnya.
Bagaimana kualitas guru ini dinilai?
Setelah uji kompetensi guru, kami buat langkah untuk meningkatkan kompetensi guru sesuai dengan kebutuhan setiap individu guru, bukan berdasarkan pelatihan yang diberikan pemerintah. Justru pemerintah nanti melihat hasil ini. Siapa butuh pengembangan apa, yaitu dari ikut pelatihan itu.
Selama ini yang kita lakukan adalah supply driven training. Dulu kita sebagai supplier-nya menyuplai pelatihan, semua ikut pelatihan. Sekarang dibalik menjadi need driven development. Butuhnya apa, pelatihannya harus disesuaikan. Tapi kalau kita mau tahu butuhnya apa, kita harus tahu atau ‘berkaca’ dulu.
UKG [uji kompetensi guru] itulah cerminnya. Alhamdulillah, lancar 2,9 juta guru ‘bercermin’. Saya bangga ini bisa diselenggarakan secara tenang. Artinya no news is good news, ha-ha-ha. Kalau ada kekacauan, berarti muncul berita. Tapi ini kan tenang-tenang saja berarti berjalan baik.
Apa program yang saat ini masih membutuhkan penguatan?
Kurikulum masih terus diperbaiki. Peningkatan kompetensi guru baru mulai, pelatihan-pelatihannya intensif. Saya tambahkan, kami juga mengurusi kebudayaan dan komponen kebudayaan sangat penting. Ini karena pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Jadi ketika kita mendidik seseorang itu berarti kita sedang membangun budaya.
Kita ingin didik anak kita disiplin berarti kita sedang bangun budaya disiplin. Kita ingin bangun peradaban Indonesia yang karakter-karakternya tercermin. Dan karakter-karakter ini memang lewat pendidikan. Nah kita melakukan juga on going process. Jadi, kebudayaan otomatis tanggung jawab kita.
Kebetulan di kesenian kita baru selenggarakan Kongres Kesenian Indonesia setelah 10 tahun absen. Dan saya sampaikan kepada teman-teman seniman kita akan fasilitasi. Jadi negara akan fasilitasi agar dunia seni bisa berkembang. Kita ingin anak-anak kita apalagi dunia seni bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri tapi juga seniman kita harus bisa jadi tamu mempesona di negeri orang, menjangkau dunia.
Orang Indonesia ini kreatif-kreatif, begitu masuk tataran dunia tembus tuh. Karena memang kreativitas kita luar biasa. Nah kita ingin agar pendidikan dan kebudayaan itu menjadi link. Jadi proses kaderisasi juga jalan, dan tak kalah penting agar kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia berkembang.
Bagaimana strategi untuk sekolah kejuruan agar output-nya memiliki relevansi yang tinggi dengan dunia usaha?
Kami akan perbesar sekolah menengah kejuruan. Rencananya di tahun-tahun ke depan kita akan lakukan ekspansi di situ. Dan bidangnya ada beberapa bidang stra-tegis yang akan menjadi fokus perhatian.
Pariwisata jadi kejuruan yang terkait dengan pariwisata. Itu luas sekali begitu masuk semua SMK kesenian itu langsung link dengan pariwisata. Punya potensi langsung. Yang kedua sektor maritim yang membutuhkan suplai banyak sekali. Yang ketiga adalah sektor pertanian perkebunan. Itu juga sektor yang tumbuh pesat. Jadi tiga area ini akan kita dorong.
Lalu kami juga berkeinginan agar sekolah kejuruan ini bisa membuat lulusannya punya kemandirian. Jadi keinginan kita jangan sampai SMK yang berada di daerah-daerah menjadi kosong. Justru SMK itu membuat daerah-daerah jadi hidup. Ini karena mereka bisa berkiprah di situ. Bayangkan saja daerah pertanian jika SMK-nya adalah otomotif.
Tanpa kita sadari anak-anak itu setelah lulus harus keluar dari kampung halamannya, karena mereka harus bekerja ke pabrik-pabrik. Itu berarti SMK-nya mengosongkan anak muda dari kampung halamannya. Karena SMK itu dibangun untuk jadi batu loncatan untuk pergi. Tapi kalau SMK di sana dibangunnya sesuai dengan komptensi lokal, maka dia belajar untuk bisa menggerakkan perekonomian daerah. Kita dorong SMK-nya agar relevan dengan potensi daerahnya.
Berkaitan dengan sekolah kejuruan yang lebih banyak di daerah, bagaimana memastikan pengelolaannya, dan kontribusinya bagi daerah?
Sebenarnya secara umum pendidikan sudah didesentralisasikan ke daerah. Amanat Undang-Undang di tahun 1999, dilaksanakan tahun 2001. Jadi SMK, SMA itu sesuai peraturan terbaru di 2014 itu adalah ranah tanggung jawab provinsi. Sementara SD dan SMP itu dalam ranah tanggung jawab kabupaten/ kota.
Tapi pemerintah pusat memberikan arahan, jadi nanti pembangunan-pembangunan bersama dengan daerah. Karena merekalah yang sebenarnya memiliki otoritas untuk melakukan itu.
Bagaimana mendorong lulusan SMK menjadi lulusan yang berkompeten, bukan lagi mencetak buruh?
Di Indonesia ini menarik. Makin tinggi pendidikannya makin takut jadi pengusaha. Makin rendah pendidikannya makin sering jadi pengusaha mandiri. Jadi ini lulusan SMK kita harapkan jadi pegawai dulu tidak apa-apa. Cari pengalaman baru sesudah itu buka usaha sendiri.
Observasi saya, enterpreneur yang berhasil itu bukan yang freshgraduate langsung berhasil. Enterpreneur yang baik justru yang sudah mencoba-coba 5 tahunan di berbagai sektor bekerja baru kemudian buka usaha.
Jadi enggak salah kalau dari awal kerja dulu. Lihat pengalaman lihat peluang, lihat kendala baru memulai satu usaha. Ke depan saya membayangkan mereka-mereka [lulusan SMK] yang mau jadi pengusaha atau buka usaha.
Bagaimana menilai indikator keberhasilan pendidikan?
Hal baru yang kita lakukan yaitu membuat neraca pendidikan ini karena pendidikan sudah disentralisasikan. Jadi kalau misalnya pendidikan masih tanggung jawab pusat, maka pusat yang me-review semuanya. Sekarang sudah dipindah tanggung jawabnya ke pemda. Pusat mengurusi kurikulum, standar, monitoring, dll. Tapi pelaksanaan semua di daerah. Jadi anggaran pendidikan kita lihat 20% [dari APBN] tahun ini sekitar Rp416 triliun, nah yang Rp264 triliun itu langsung ditransfer ke daerah. Ini sekitar 66%.
Pertanyaannya itu jadi apa, dan apa yang terjadi pada uang sebesar itu? Maka tahun ini kami buat yang namanya neraca pendidikan. Jadi setiap kabupaten nanti punya neraca, yang masuk apa saja, uangnya berapa orangnya berapa, hasilnya apa. Dengan ada neraca pendidikan kita akan bisa lihat contoh kabupaten berhasil, yang pendidikannya maju, gurunya kompeten, integritas tinggi, pasti di balik itu ada wujud kepedulian nyata yang terlihat di fiskal, alokasi pendidikannya, program gurunya langsung kelihatan. Balance is the key. Karena itu kami menyebutnya bukan indeks tapi neraca karena tujuannya yaitu menyandingkan antara sumber daya yang masuk dengan output yang dihasilkan.
Ada daerah yang masuknya enggak banyak tapi hasilnya luar biasa, ada juga yang masuknya banyak tapi tidak ada hasilnya.
Bisa diberikan contoh daerah yang output-nya besar?
Kalau yang output-nya luar biasa ada beberapa daerah, misalnya Yogyakarta, Magelang, Solo, Klaten, kemudian di Pontianak, Surabaya, Bantaeng, Sulawesi Selatan. Begitu neracanya ditunjukkan bupatinya bangga. Tapi kalau neracanya bermasalah ya berarti silakan Anda perbaiki supaya neracanya seimbang.
Untuk 2016, apa saja program yang menjadi fokus Kementerian Anda?
Anggaran sudah dipatok 20% oleh konstitusi. Prioritas-prioritas utamanya adalah mencapai wajib belajar 12 tahun, akses harus ditingkatkan, mutu juga harus diting-katkan. Terutama untuk mencapai SMA dan SMK karena di situlah letak turunnya yang paling besar adalah setelah kelas 9. Banyak yang tidak melanjutkan ke SMA dan SMK. Harus menambah rombongan belajar SMA dan SMK yang sekarang baru sekitar 60, padahal kalau kita mau menampung semua anak itu dibutuhkan 150 rombongan belajar. Harus menambah dua kali lagi.
Kemudian kualitasnya. Dana paling besar akan diperuntukkan ke sana, dalam membangun itu, SMK akan jadi prioritas. Kemudian adalah janji presiden untuk membangun daerah pinggiran. Jadi kami akan bangun sekolah-sekolah yang bermutu di pinggir-pinggir Indonesia. Kami menyebutnya dengan sekolah garis depan, adalah sekolah berstandar sangat baik, gurunya sangat baik, fasilitasnya sangat baik, tempatnya sangat sulit yang jauh-jauh.
Pendidikan tidak lepas juga dari peran swasta, sejauh mana peran swasta?
Saya punya harapan besar sekali, karena dunia usaha ujung-ujungnya adalah yang menjadi penerima manfaat terbesar dari pendidikan. Kami mengajak pada dunia usaha tidak untuk menyumbang dalam dunia pendidikan tapi harus membayar balik. Bagaimana bayar baliknya, banyak sekali yang bisa dikerjakan. Tidak harus dalam bentuk rupiah. Iuran terbesar untuk pendidikan adalah kehadiran untuk dunia pendidikan jadi buat dunia usaha, cek berapa sekolah yang ada di sekitarnya, kirimkan stafnya ke sekolah bawa pengetahuan, bawa pengalaman, bawa inspirasi ke sekolah di sekitar kantor Anda.
Dengan mengembangkan peran mentorship, partisipasi, inspirasi, ini akan berdampak besar.
2016 kita memasuki MEA apa makna-nya bagi dunia pendidikan?
Indonesia cepat atau lambat akan menjadi bagian dari dunia. Jadi bagi dunia pendidikan ini adalah peluang supaya anak-anak muda kita bukan saja jadi tuan rumah di negeri sendiri tapi harus bisa jadi tamu mempesona di tempat lain.
Jadi kalau ada keterbukaan apalagi ada keterbukaan dan pergeseran tenaga kerja berarti kita bisa berperan di mana-mana. Indonesia bisa mewarnai. Yang kita harus lakukan adalah meninggikan standar karena kalau standar kita rendah maka yang standarnya lebih tinggi akan masuk.
Mungkinkah kita kembali ke era saat kita mengirimkan guru ke negara tetangga?
Saya rasa bukan hanya guru. tapi kita bisa mewarnai banyak hal. harapannya adalah dari pendidikan. Indonesia ini besar sekali. Potensi dalam negerinya sangat besar. Kalau kualitas guru sudah meningkat, penghargaan masyarakat kepada guru juga meningkat. InsyaAllah pendidikan akan maju.
Dengan tibanya era perdagangan bebas Asean, bagaimana strategi kurikulum pendidikan baik di tingkat dasar dan menengah?
Penyelarasan pendidikan kejuruan dengan dunia kerja dengan 4 dimensi; kuantitas, kualitas/ kompetensi, lokasi dan waktu yaitu antara sisi pasokan dan permintaan. Lalu peningkatan mutu melalui pengembangan sekolah menengah kejuruan baik SMK rujukan dan SMK aliansi. Ada 1.650 SMK rujukan yang masing-masing memiliki 3—4 SMK aliansi. Kemudian pelibatan dunia usaha atau dunia industri dalam proses belajar mengajar di SMK mencakup proses pembelajaran dengan produksi, support SDM dan fasilitas serta penerapan teknologi informasi dan komuni-kasi dalam manajemen.
Pewawancara: Yulianisa Sulistyoningrum & Roni Yunianto