STEPHANUS ARDIANTO: Pragmatis di Bisnis Stres

Tim Bisnis Indonesia
Rabu, 18 November 2015 | 13:00 WIB
Stephanus Ardianto./Bisnis.com
Stephanus Ardianto./Bisnis.com
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Stephanus Ardianto, yang biasa disapa Steve, punya pengalaman cukup lengkap di prinsipal otomotif Jepang, Nissan. Kariernya dilalui dari posisi assistant manager di divisi kendali produksi.

Dia juga pernah menangani supply chains hingga kendali produksi, ekspor impor bahkan corporate planning. Apa saja kiat sang CEO dalam menjalankan roda bisnis Nissan Motor Indonesia ini? Bisnis.com mewawancarainya baru-baru ini. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan bagaimana perjalanan Anda bisa di posisi saat ini?

Nissan itu sebenarnya company ketiga saya bekerja. Sampai 1998, krisis moneter, kemudian Nissan berganti dari local company, consolidated dengan Nissan Jepang. Terus, kami bikin Grand Livina. Saat itu saya sebagai head of planning dari Grand Livina. Cukup sukses, dan saya dapat kesempatan bekerja di luar negeri untuk memperluas wawasan.

Saya dapat kesempatan menjadi managing director di Nissan Asia Pacific di Singapura, yang kerjanya itu regional. Jadi mengurus negara yang kecil-kecil seperti Hong Kong, Brunei, Singapura, Filipina, Malaysia, teritorial regional. Dua tahun di Singapura, saya lalu pindah ke Thailand karena kantornya juga pindah ke Thailand.

Apa yang jadi tanggungjawab Anda ketika itu?

Jadi, Nissan Asia Pacific itu berganti jadi Nissan Motor Asia Pacific Thailand dan digabungkan, karena waktu di Singapura tugas kami hanya sales marketing. Fungsi ini kemudian digabung dengan manufacturing dan R&D [research and development]. Selama 2,5 tahun di Thailand, basicly melakukan pekerjaan yang sama, tapi cakupannya termasuk manufacturing dan R&D. Lalu pindah ke Jepang 2 tahun. Kerjaannya sama tapi dari head quarters dan regionalnya bertambah dengan Oceania. Jadi ini termasuk Australia, Korea, dan Selandia Baru serta beberapa negara kecil. Di Oceania Pasifik lah. Dua tahun di Jepang, dipanggil kembali, mungkin dianggap ilmunya sudah cukup lalu disuruh pulang ke Indonesia untuk mengurus [bisnis di] Indonesia.

Bagaimana perasaan Anda harus balik ke Indonesia?

Waktu balik ke sini, ada senang dan tidak senang. Senangnya, selama saya kerja di luar saya lebih banyak kerja di up stream karena saya di regional office atau di head quarters. Jadi kerjaannya itu kebanyakan strategic and up stream. Jadi, di front line ini, excited tapi stres karena you deal directly operations. Kadang-kadang stres. Customer komplain, ini itu, tapi it’s operations.

Apa yang kami buat itu, dampaknya langsung terlihat. Bagus atau jelek, excitement-nya di situ. Jadi, waktu terima kabar harus kembali ke Indonesia, ada excitement karena oke, balik ke front line. Tapi tergantung orangnya ya, kalau saya lebih suka di front line dari pada di head quarter yang mengurusi laporan, compiling, bikin report ke bos. Okelah, two years oke. More than that I get bored.

Apa beda menjalankan bisnis ini di luar dan di Indonesia?

Banyak ya. Faktor internal itu terutama mindset and behaviors dari orang-orangnya. Contohnya saat saya pegang dua regional offices, di Bangkok dan Singapura. Kerjaan regional office itu very stressful, kenapa? Karena regional office ini sebenarnya intermediary office, dia harus urus distributor di negara-negara yang front line. Jadi kami punya distributor di Brunei, Hong Kong, atau Malaysia. They’re the front line. They’re the one who fight in the battle field.

Nah, ini orangnya kalau enggak kuat mental banyak yang keluar karena stres. Orang Singapura saya lihatnya dia orangnya lebih tahan tekanan. Ketahanan mereka terhadap stres lebih baik. Mereka bisa pisahkan antara hal pribadi dan bisnis. Kalau di Thailand a bit sensi lah. Mungkin mirip orang Indonesia ha-ha-ha. Jadi mereka kalau berantem, gagal, emosi dan stres. Jadi keluar.

Apa lagi yang menjadi tantangan mengelola bisnis di sana?

Data infrastruktur itu sangat berbeda. Kalau di satu negara data infrastrukturnya lengkap itu enak. Jadi kami mau melakukan analisis apa saja, bisa. Indonesia is oke-lah so so.

Ada beberapa negara yang gelap. Mau tahu hasil jualan saja enggak ada. Bagaimana mau menganalisis. Misalnya seperti Laos, Kamboja, Vietnam. Jadi kami kalau mau tahu hasil penjualan itu mendatangi showroom satu-satu. Jadi dia misalnya seperti data exchange antara agen tunggal pemegang merek [ATPM] itu enggak ada. Level regulasi pemerintah masih kurang jelas.

Tapi yang lebih menarik itu how to manage the people. Dari situ belajar banyak karena culture-nya beda-beda. Jadi seperti di mereka itu, contoh sederhana, misalnya masalah human resources beda. Singapura misalnya, cuti itu enggak bisa diganggu gugat. Mereka dianggap sudah cukup dewasa untuk menentukan cuti. Jadi karyawan kasih tahu cuti itu bukan minta izin, tapi inform. Kalau di Indonesia cuti itu seakan-akan we ask for approval.

Terus yang menarik di Singapura, baik karyawan dan company punya hak yang sama. Kalau karyawan mau resign besok, company harus terima. Begitu juga company bisa mengatakan we don’t need your service anymore without any reason. Kalau di Indonesia, once you become karyawan tetap, company can’t do that.

Di sana malah enggak boleh kasih alasan, karena kalau dikasih alasan bisa dibuat macam-macam. Selain itu fundamentally sama, bagaimana untuk bersikap objektif, termotivasi, how to review, reward and punishment. Memang yang agak berbeda itu kultur dan untuk more debate conflict itu lebih acceptable di sana.

Etos kerja. Ini kalau saya bilang, Singapura buat saya itu benchmark. Mereka kerjanya keras, tapi efisien, sedangkan kalau di Jepang, kadang-kadang saya lihat mereka kerja dari pagi sampai malam. But actually I don’t know what they are working for. Sometimes buat saya tidak efektif. Kalau Thailand is a bit lacks. Indonesia between Indonesia and Singapore, ha-ha-ha.
 
Kalau bisa memilih nyaman di mana?

Indonesia. Walaupun di Indonesia harus banyak follow up dan sedikit marah-marah. Tapi still ya, nyaman di Indonesia, kita kan komunikasi nyaman di sini ha-ha-ha.

Sepanjang karier Anda di Nissan, kapan Anda merasa berada dalam situasi yang paling berat?

Paling susah pas krismon. That is the worst experience we ever had. Bayangkan  saja, pada 1998 kami tutup pabrik 1,5 tahun. For 2 years we are in the dark situation, enggak bisa ngapa-ngapain. Pada waktu itu semua perusahaan memiliki utang dalam bentuk dolar karena rate dolar pada masa pemerintahan Soeharto, almost stabil dan interest dolar rendah.

Pada 1997 otomotive market lagi booming. TIV [total industry volume] mencapai 500.000, sehingga order banyak. Semuanya itu order-nya pakai LC (letter of credit). Jadi berapa bulan, bayangkan itu dolar jadi berapa. Kurs dari Rp2.500 menjadi Rp15.000, jadi utangnya itu mendadak naik 6 kali lipat.

Jadi bagaimana tidak bangkrut waktu itu. Market dari 500.000 turun jadi 50.000. Saya punya anak buah dari 11 orang jadi 1 orang. Tiga bulan pertama masih mencoba positive thinking, after that 1,5 tahun mau ngapain. Tapi waktu itu kami masih bisa survive, inisiatif untuk ekspor komponen. Itu yang menolong. Sekarang ini tiap ketemu problem yang paling susah, paling stres tapi selalu ingatnya saat krisis. Jadi we can still smile.

Apa yang Anda benahi pertama kali pada saat itu?

Pertama kami bikin inventory. Jadi kami cleansing stock-stock yang lama. Kami adjust production, yang memang sakit sih, painful. Kemudian, kami fokus ke model-model yang profitable untuk recover. Ada beberapa model yang tidak profitable, enggak kami paksakan terlalu banyak. Lalu cost reduction.

Selanjutnya kami harus sukses meluncurkan produk baru. Waktu itu Datsun dan X Trail. Karena action kesatu hingga ketiga hanya bisa memperbaiki yang sudah jalan. Tapi untuk turn around kami harus mengeluarkan model baru. So, we do a lot preparation to make that successful. So far, oke-lah we did it.

Bagaimana kiat Anda memecahkan masalah?

Untuk employee kami bikin internal communication yang jelas. Ini lho yang mau perusahaan tuju. Ini kami buat secara transparan. Jadi tiap tahun kami buat objektifnya jelas. Semua harus kerja mengarah ke objektif ini, jangan tiap departemen mengerjakan hal  yang berbeda. Kalau ada isu kami bicarakan bersama. Sayangnya kondisi tersulit adalah faktor eksternal. Di awal 2015 kami sudah dalam posisi yang sangat baik, tapi sayangnya waktu itu dolar menguat lagi. Jadi mulai pusing lagi. Tapi ya sudah that’s business.

Apa pilihan gaya kepemimpinan Anda?

Saya berusaha untuk se-simple dan se-practical mungkin. Saya tak suka konsep yang berbunga-bunga, dan tidak jelas. Saya orangnya pragmatis dan practical. Bisnis otomotif adalah salah satu bisnis yang paling stres karena kompetisi begitu ketat. Saat ini suplai masih lebih besar dari demand.

Di Indonesia kapasitas terpasang itu 2 juta, demand-nya 1 juta. Jadi, the competition is very fierce. Bisnis ini padat modal dan marginnya enggak besar. Untuk itu harus dibuat practical dan simple sehingga tidak stres. Saya selalu berusaha seperti itu. Pada dasarnya saya itu orangnya agresif. Kalau ada maunya itu sekarang harus ada dan suka nguber-nguber, enggak sabaran. Cuma karena makin lama makin tua, bisa agak sabaran ha-ha-ha.

Selain usia, ada beberapa pengalaman yang membuat hidup itu berubah. Pada perkembangannya saya bertemu dengan bos yang cara memimpinnya calm. Dia membiarkan orang bekerja dengan caranya masing-masing. Jadi ada dua sisi, bahwa enggak selamanya manage like machine is good.

Jadi the best way itu combine both. Kapan harus nguber-nguber kapan harus a bit more coach. Kalau bos itu perintahnya jelas dan detail. Kalau coach jelaskan tujuan dan terserah karyawan. Dan ketika ada masalah dia bisa menempatkan dirinya bersama-sama dengan tim-nya.

Apa arti pesaing buat Anda?

It’s a good benchmarking tools to improve ourself. Walaupun mereka pesaing, tapi kami di bisnis yang sama. So, we compliment each other sebenarnya.

Definisi sukses menurut Anda?

Kalau saya sih, dulu, sukses itu mencapai QPA [quality performance accreditation]. Setelah tua agak berubah. I think success is when we can built good foundation to make sustainable business dan juga growing the young generation.

Ketika punya waktu luang, apa yang biasanya Anda lakukan?

Saya hobi banget diving. Saya ini kan besar di Manado, nyemplung sedikit di Bunaken. Jadi dari kecil snorkeling then diving dan sampai sekarang masih aktif. Tiap 2-3 bulan kalau sudah stres di kantor melarikan diri diving. Spot favorit di Raja Ampat. Saya sudah coba di Thailand, Vietnam, Jepang, tapi untuk perairan tropis, Indonesia buat saya yang terbaik.

Bagaimana dengan strategi untuk dua tahun ke depan?

Dalam 1—2 tahun ini kami fokus ke network quality. Habis-habisan. Tiga hal yang kami lakukan, people development, yang berhubungan dengan front line. Kemudian management review ke dealership, serta margin insentive, reward and punishment ke dealer.

Network improvement dilakukan karena outlet kami, terutama dari segi kualitas masih banyak yang harus ditingkatkan. Mungkin quantity kami  oke-lah, tapi secara kualitas itu yang lebih penting. Tiap merek, strategi kami berbeda karena profil consumer-nya berbeda. Misalnya Datsun yang first time car buyer, kami harus jangkau mereka.

Sampai dua tahun ke depan, ada rencana penambahan diler?

Tahun ini, kami menambah 10 diler. Pada 2014, secara coverage, diler kami baru 60% dengan total 165 outlet. Dengan penambahan 10 outlet tadi, maka coverage kami baru 70%. Sementara itu, kami ingin memiliki coverage 90% di 2018 dan untuk mencapai itu butuh 190 diler.

Apakah semua merek akan ditambah dilernya?

Infinity satu saja di Jakarta. Kalau Nissan dan Datsun iya. Ke depan Datsun akan lebih eksklusif karena selama ini Datsun sifatnya shopping shop. Tapi sebenarnya tergantung pada volume. Kalau Datsun naik, berarti dia mampu hidup sendiri.

 

Pewawancara: Dimas Novita Sari, Lingga S. Wiangga, Farodlila Muqoddam

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (18/11/2015)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper