Bisnis.com, JAKARTA - "Transaksi e-commerce di Negeri China mencapai US$436 miliar, ini artinya tiga kali dari APBN negara kita." Pernyataan tersebut diutarakan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dengan semangat, pekan lalu di Bursa Efek Indonesia. Tak ada yang salah dari pernyataan tersebut.
Negeri Panda yang tercatat sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia ini mampu mencetak nilai fantastis melalui transaksi dari sektor e-dagang. Bahkan, mereka berhasil mengalahkan nilai transaksi Amerika yang hanya mencatat US$300miliar.
Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia yang juga masuk ke empat besar negara penduduk terbanyak? Mampukah negara ini menyaingi dua raksasa yang merajai transaksi e-commerce?
Sayangnya, nilai transaksi e-commerce di Indonesia baru mencapai US$12 miliar pada 2014. Angka ini memang meningkat 50% dibandingkan dengan 2013 yang hanya mencapai US$8 miliar.
Angka ini meningkat tanpa turun tangan langsung dari pemerintah. Angka itu dicetak tanpa keterlibatan pemerintah: Semua inisiatif pemain e-commerce di Indonesia. Nilai transaksi yang terbilang kecil tersebut mendorong pemerintah untuk membuat target yang lebih tinggi lagi.
Saat ini, pemerintah memiliki target transaksi e-commerce di Indonesia bisa mencapai US$130 miliar pada 2020.
Namun, angka tersebut tidak dapat dicapai begitu saja tanpa perencanaan yang tepat. Rudiantara pun sempat mengungkapkan Indonesia harus belajar dari negara tetangga yang sukses menjalankan e-commerce seperti China dan Amerika Serikat.
Mantan komisaris Indosat ini dan Telkom itu menambahkan kedua negara tersebut memiliki pola yang berbeda dalam mendorong pertumbuhan pasar e-commerce.
Pertumbuhan e-commerce di Amerika Serikat digerakkan oleh pasar. Berbeda dengan China yang digerakkan oleh pemerintah. Pemerintah negara itu membuat blue print e-commerce dan implikasinya bisa terlihat saat ini. Benar, dari dua kasus itu, Indonesia harus belajar sesuatu.
Berangkat dari pembelajaran ter sebutlah, akhirnya pemerintah memutuskan membuat peta jalan e-commerce. Peta jalan ini diharapkan dapat menjadi kunci keberhasilan industri yang tengah tumbuh subur.
Banyak materi yang perlu diperjelas dalam hal tersebut, seperti jaringan koneksi Internet menyeluruh yang menjadi urat nadi industri ini atau perkara funding yang seolah tak berujung.
KERUGIAN NEGARA
Funding atau Modal Ventura yang sempat ramai disuarakan terpaksa harus dibatalkan. Pasalnya, jika dana yang diberikan kepada start-up tersebut tidak kembali, kehilang-an tersebut bisa tercatat sebagai kerugian negara.
Harus diakui, masalahnya sistem administrasi keuangan yang menjadi ganjalan bila pemanis itu diberikan kepada start up. Sebagai ilustrasi, pemerintah menyiapkan dana untuk 100 start-up.
Dari 100 ternyata yang jadi hanya lima. Sisanya 95 kalau tidak jadi. Nah, dana kepada yang gagal itu dianggap apa? Tentunya dalam kon-teks administrasi keuangan negara masuk pos kerugian negara. Inilah yang menjadi persoalan akhirnya keterlibatan negara berusaha direduksi.
Kemudian apa jalan keluarnya? Menkominfo Rudiantara pun tak kehilangan akal. Sejumlah opsi disiapkan, salah satunya dengan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) guna mengelola dana Kewajiban Pelayanan Universal (KPU/USO) bagi start-up di Indonesia.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad menanggapi rencana tersebut dengan positif. Lembaga itu pun menyiapkan bentuk dana atau fund ventura untuk mem fasilitasi layanan keuangan perusahaan rintisan di Indonesia. “Saya mau bentuk dana atau fund untuk ventura, untuk memberikan layanan keuangan ke start-up atau para pemula,” ujarnya.
Menurut Muliaman, para perusahaan rintisan kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank karena belum memiliki record. Janji Muliaman Hadad itu pun direalisasikan dan menjadi bagian dari paket kebijakan ekonomi jilid III yang dirilis Kamis (8/10).
Namun, sejumlah paket itu bisa menjadi paket tanpa makna bila tidak diikuti dengan sejumlah aksi dan realisasi. Tidak itu saja, hingga kini pelaku pun masih bertanya-tanya bentuk roadmap e-commerce yang dijanjikan keluar akhir Oktober ini.
Apakah target di 2020 bisa tercapai? Atau bahkan peta jalan tersebut seolah menjadi jalan tol yang bebas hambatan sehingga membuat industri ini bertumbuh lebih cepat lagi sebelum 2020? Kembali lagi, jawaban tersebut baru bisa dijawab jika peta jalan segera terbit dan diterapkan.