CEO ATIC HANDOJO SUTJIPTO: Bertanding di Kelas Sama, Kami Lebih Murah

Dimas Novita Sari & Stefanus Arief Setiaji
Rabu, 26 Agustus 2015 | 17:58 WIB
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Awal Juni 2015, Bursa Efek Indonesia (BEI) kedatangan emiten baru PT Anabatic Technologies Tbk., perusahaan yang bergerak di jasa layanan teknologi informasi terintegrasi. Tingginya penetrasi layanan berbasis IT membuka peluang pasar bagi perusahaan untuk bersaing di dalam negeri maupun luar negeri.

Bagaimana kiprah perusahaan itu meningkatkan daya saingnya, belum lama ini Bisnis berkesempatan melakukan wawancara dengan Presiden Direktur Anabatic (ATIC) Handojo Sutjipto. Berikut kutipannya:

Awal Bapak bergabung dengan Anabatic?

Saya masuk Anabatic pada 2005. Anabatic didirikan pada Juni 2003 dengan founder Pak Handoko [Handoko A. Tanuadji] bersama dengan tujuh orang lainnya. Pertama perusahaan hanya mengerjakan proyek kecil seperti server dan mulai bermitra untuk software-nya dengan Temenos karena kalau dibuat sendiri akan memakan waktu terlalu lama. Kemudian kami mendirikan Computrade Technology International  yang merupakan perusahaan distribusi dan hingga kini menyumbang revenue terbesar bagi Anabatic. 

Selain itu, perusahaan mengakuisisi PT Karyaputra Suryagemilang (KPSG). Banyak perusahaan asing cenderung membatasi jumlah karyawan sehingga mereka outsourcing. Nah kami ambil alih lalu kami incharge dengan teknologi. Jadi kami tidak lagi sekadar menawarkan SDM (sumber daya manusia) saja, tetapi ada teknologinya di situ dan kami kemas.

Pada Desember 2005, ketika saya diminat bergabung, korporasi sudah berjalan cukup baik. Begitu juga dengan KPSG. Yang perlu saya benahi waktu itu adalah Anabatic sebagai induknya. Waktu saya masuk itu kira-kira hanya 35 karyawannya.

Saat saya masuk Anabatic, penjualan hardware kecil sekali porsinya. Jadi waktu itu saya berpikir, Anabatic mau dibawa kemana, karena bukan perusahaan konglomerat sehingga sumber dana terbatas. Anabatic tidak sebesar dengan perusahaan IT lainnya.

Saingan kami lainnya kan milik konglomerat. Jadi kami pikir kalau tetap di hardware tidak bisa bertarung sehingga kami harus ubah pola bisnis. Rupanya ada satu perusahaan di Malaysia yang bikin saya kagum. Malaysia negara kecil, dengan hanya 20 juta penduduk, dan perusahaan IT di Asia Tenggara yang paling kaya adalah dari Malaysia, yakni Silverlink Technologies.

Perusahaan itu punya market cap hampir 15 kali dari perusahaan IT terbesar di Indonesia. Kenapa mereka bisa kaya raya? Ternyata mereka masuk ke bidang yang disebut dengan software (perangkat lunak) dan jasa. Jadi saya pikir Anabatic masuk ke sana dulu.

Memang ada peluang di sana?

Dari yang saya perhatikan beberapa perusahaan sudah tidak lagi fokus di sana, tetapi ke data center dan cloud computing, jadi saya melihat ada peluang di sana. Saya bicarakan rencana tersebut  dengan pemegang saham dan mereka setuju, kami masuk di bisnis yang disebut dengan Mission Critical System Intergrators (MCSI). Ibaratnya ini seperti perkedel, ada kentang, daging, garam dan semuanya jadi satu sehingga jadi perkedel. Kalau kami jualan kentangnya saja akan sangat mudah dibandingkan. Ini merupakan solusi lengkap bagi konsumen. Apalagi banyak perusahaan mengaku sebagai system integrator (SI) company tetapi belum berarti masuk ke masalah yang kompleks, dan kami masuk ke sana.

Bagaimana Bapak melihat landscape industri IT saat ini?

Kalau secara umum, bisnis IT dibagi tiga yakni perangkat keras, perangkat lunak, dan jasa. Saat ini masih dominan perangkat keras, perangkat lunak juga sudah besar tetapi belum sebesar perangkat keras. Sementara jasa ini masih sangat kecil.

Kalau di negara maju komposisi antara perangkat keras dengan jasa bisa seimbang. Di sini orang masih belum menghargai jasa. Saya sudah beli di kamu jadi gratis saja. Itu kendalanya.

Sekarang sudah lebih baik tetapi masih terasa belum terlalu menghargai. Jadi kalau bicara landscape, hardware sudah semakin kecil porsinya, sehingga kami masuk ke software, porsinya mulai naik, begitu juga dengan jasa. Sekarang kami jual hardware, kami lengkapi dengan jasa misalnya instalasi untuk dilengkapi sesuai dengan kebutuhan masing-masing konsumen.

Bagaimana persaingan Anabatic dengan perusahaan IT sejenis?

Kalau bisnis perangkat keras, kami tidak terlalu bisa bersaing di sana karena sudah banyak yang main. Kalaupun mau, kami menyasarnya yang high end. Perusahaan di Indonesia umumnya punya kemampuan di hardware. Justru kami bersaing dengan perusahaan luar negeri seperti Silverlink. Jadi bergeser persaingannya.

Kalaupun harus bersaing dengan perusahaan lokal, kalau dibedah ternyata konsumen tidak dilayani oleh orang lokal.

Lalu kenapa Bapak masih berani bertahan dengan orang lokal?

Orang Indonesia itu mampu. Bagaimana pun juga berkomunikasi secara budayanya enak dengan orang Indonesia. Dua hal ini menguntungkan. Selain itu, kami hemat biaya transportasi dan hotel, jadi kalau bertanding dengan kelas yang sama, kami bisa lebih murah.

Kalau ketemu klien, sebenarnya aspek apa yang  lebih banyak mereka perhitungkan?

Kalau aplikasinya untuk mission critical (MC) mereka mengacu pada referensi Gartner. Sementara itu, kalau kami bawa mitra lokal enggak bisa masuk ke Gartner. Jadi memang kalau masuk ke proyek besar, kami punya kendala karena kami tidak ada di Gartner. Itu bedanya, Indonesia kurang proteksinya kepada perusahaan nasional.

Akan tetapi pada umumnya industri perbankan enggak mau ambil risiko besar, jadi mereka ambil yang sudah punya nama. Jadi bankir cari perusahaan yang sudah terdaftar di Gartner. Kalau untuk jasa lumayan tertolong. Kami sudah mulai diterima.

Sekarang menangani berapa klien?

Kalau di core banking sudah 10, empat di antaranya merupakan bank syariah, di luar itu ada bank asing yang ada di Indonesia. Di Filipina kami juga menangani Public Safety Savings and Loan Association.

Kalau melihat kondisi ekonomi yang ada saat ini, secara umum bagaimana Bapak melihat prospek bisnis perusahaan?

Saya mengalami ekonomi yang kurang baik dari 2005, 2008, 2011, dan sekarang 2015. Waktu 2008 harga minyak turun 50%, lalu pada 2008 krisis di AS, dan pada 2011 krisis Eropa. Meskipun begitu tetap berusaha meningkatkan kapasitas perusahaan, seperti awalnya dari 30 orang pada 2006, kami targetkan jadi 100 orang. Nah pada 2015, kami sudah punya 800 karyawan dan mau naik 1.000 orang.

Karena saya berpikir kalau rupiah semakin buruk, justru para konsumen bakal makin banyak gunakan orang lokal karena orang asing lebih mahal. Jadi artinya kami memiliki kelebihan dalam hal costing.

Apakah fokus Anabatic di core banking juga menyasar sistem online banking sesuai tren yang ada saat ini?

Saat ini terjadi perubahan dari computer personal unit power ke hand digital. Orang kan dulu datang ke teller mau narik uang, transfer dan sebagainya. Kemudian berkembang dengan device tetapi masih ada peralatan dari banknya. Sekarang teller itu di tangan. Perangkatnya milik konsumen dan itu akan banyak sekali mengubah landscape industri perbankan.

Sebelumnya orang datang ke cabang, sekarang di tangan orang. Jadi pusat keramaian akan bergeser dari fisikal menjadi virtual. Jadi orang malah semakin suka transaksi dan akan meningkat karena semakin mudah. Saat ini ada tiga proyek mobility bank besar yang kami pegang.

Apa keunikan Anabatic dibandingkan dengan pesaing?

Karena kami berani investasi di SDM. Banyak perusahaan enggak berani di situ karena kalau mereka enggak produktif, proyeknya enggak ada, hilangnya harian. Satu hari bisa Rp300 juta. Jadi kami perusahaan yang berani soal investasi di SDM. Kami berani kasih training dan siapkan dana untuk itu.

Umumnya mereka baru bisa 3 tahun dan sangat baik pada tahun kelima. Sayangnya banyak perusahaan enggak sabar. Selain itu, kami juga berani komitmen. Kami kerjakan proyek sampai selesai enggak ada yang kami tinggalkan. Misalnya saat dolar turun, kami tetap komitmen dengan kontrak yang ada.

Ada rencana perusahaan soal ekspansi di luar negeri?

Kami fokus  di Timur Tengah, seperti Dubai dan Kuwait. Di Dubai itu kami kolaborasi. Temenos melihat kami cukup sukses di Indonesia, jadi kami juga coba ekspansi ke Filipina. Biasanya untuk proyek di luar, kami kolaborasi. Kami sebagai tim yang menangani development dan yang melaksanakan orang dari negara itu.

Perusahaan IT kental dengan anak muda, bagaimana gaya kepemimpinan Bapak agar selaras dengan jiwa muda?

Saya menerapkan sistem kantor yang nonformal. Kami punya seragam untuk samakan semua level. Jarak antara bawahan dan pimpinan kami kurangi. Saya juga mencoba mengembangkan partisipatif manajemen. Misalkan kami mau membuat seragam, desain seragamnya kami lombakan, jadi mereka bisa partisipasi.

Anabatic tidak ada absensi, tetapi tetap harus bertanggung jawab. Mereka ada yang masuk pukul  10.00 WIB atau pukul 11.00 WIB, tetapi pulangnya tengah malam juga. Jadi kami tawarkan fleksibilitas jam kerja.

Soal gaya Bapak dalam mengambil keputusan?

Dari istilah Dominance, Influence, Steadiness, Conscientiousness (DISC),  saya itu influencer. Dalam menjelaskan masalah, umumnya saya jelaskan dulu latar belakangnya,  saya banyak omong. Ini bisa dilihat sebagai kelemahan, tetapi itu lah saya. Kalau orang dominan kan langsung ambil keputusan, kalau saya lama. Terkadang karena lama menjelaskan dulu permasalahannya, keputusannya diambil bersama.

Saat memutuskan IPO, apakah salah satu keputusan yang fundamental buat Anabatic?

Go public itu kan satu proses menjadi perusahaan yang lebih tertata. Kalau sekarang untung atau enggak untung ya enggak papa. Dengan go publik, risk compliance jadi tertata.

Kita ini kan menghadapi kondisi makro yang tidak menentukan sehingga kami juga butuh sokongan keuangan. Kalau dari bank, jangka pendek itu akan berat. Kami harus memperluas equity tidak hanya dari stakeholder saja. Dengan mengurangi sedikit kepemilikan mudah-mudahan fondasi  keuangan lebih kuat.

Selain itu, dengan menjadi perusahaan publik, kami juga dapat kepercayaan dari orang lain, bank-bank besar. Kami memiliki reputasi karena untuk menjadi perusahan publik tidak sembarangan dan telah melalui proses yang panjang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Sumber : Bisnis Indonesia (26/8/2015)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper