Bisnis.com, JAKARTA – Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mendesak digitalisasi televisi Indonesia fokus membina industri kreatif konten siaran, sehingga bisa menghasilkan lebih banyak rumah produksi dan pengembang animasi.
“Jadi yang harus ditarget dalam kebijakan dan legislasi adalah memperbanyak rumah produksi, bukan memperbanyak pemancar siaran,” kata Komisioner BRTI Nonot Harsono kepada Bisnis.com.
Dia mengusulkan agar UU Penyiaran baru bisa mencegah munculnya banyak pelaku penyiaran di satu wilayah. Menurutnya, hal tersebut dilakukan karena ekosistem penyiaran dan industri konten di dalam negeri belum terlalu mapan.
“Itu bisa membuat konten siaran akan asal-asalan kejar tayang atau konten luar negeri akan merajalela,” ujarnya.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memasukkan revisi UU No. 32/2002 tentang Penyiaran dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Rencananya, Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama parlemen akan membahas beleid itu pada kuartal III tahun ini.
Nonot mengatakan pemerintah dan DPR juga mesti mengatur secara detail penyiaran yang diakses via internet dan perangkat bergerak. Distribusi konten, sambung dia, berpotensi mempengaruhi pola pikir masyarakat.
“Jangan sampai media distribusi konten seperti berita, hiburan, game, film memberi mudarat dan merusak bangsa,” kata pria yang akan mengakhiri jabatan Komisioner BRTI pada Mei ini.
Salah satu poin krusial pembahasan RUU Penyiaran adalah program digitalisasi televisi. Pasalnya, peraturan menteri tentang digitalisasi televisi telah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pembatalan itu membuat keputusan menteri tentang para pemenang penyelenggara multiplexing di berbagai daerah gugur demi hukum.
Nonot menilai gugatan yang dilayangkan oleh Asosiasi Televisi Jaringan Seluruh Indonesia (ATVJI) itu wajar karena kegiatan bisnis mereka bisa terancam. Apalagi, para pemenang multiplexing adalah stasiun televisi nasional, bahkan termasuk konglomerasi media.