Bisnis.com, JAKARTA – Berbagai masukan untuk merevisi Undang-undang No. 32/2002 tentang Penyiaran mengalir deras dari berbagai kalangan.
Leonardus Kristianto Nugraha, Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperhatikan tiga hal penting dalam revisi UU tersebut.
Pertama, mengembalikan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurutnya, lembaga tersebut harus bertindak sebagai regulator, bukan hanya pengawas seperti yang dilakoni selama ini.
“Peran KPI itu sebenarnya sudah diamanatkan dalam UU Penyiaran lama,” katanya dalam acara diskusi Revisi UU Penyiaran: Sistem Siaran Berjaringan Menepis Bias Jakarta, Rabu (8/4/2015).
Kedua, dia meminta agar dijalankannya sistem siaran berjaringan (SSJ). Sistem itu dinilainya dapat memastikan keberagaman konten sehingga tidak hanya bersifat Jakarta sentris seperti sekarang.
Sementara itu, poin ketiga yang perlu diperhatikan dalam revisi UU Penyiaran adalah pembatasan lebih ketat kepemilikan media dengan mendefinisikan ulang batasan oligopoli maupun monopoli.
Di tempat yang sama, Direktur Remotivi Mohammad Heychael menyoroti lemahnya posisi KPI karena KPI tidak dibekali instrumen hukum yang memadai untuk memberi sanksi.
“Peran KPI dikerdilkan dengan hanya menjadi pengawas isi siaran, padahal jantung dari penyiaran adalah izin," ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta Nawawi Bahrudin sependapat bila kepemilikan media penyiaran harus diatur secara ketat.
Menurutnya, aturan-aturan turunan dari UU Penyiaran ditafsirkan sedemikian rupa sehingga memberi peluang adanya monopoli kepemilikan.
“Ini harus kita hentikan. Pelarangan monopoli kepemilikan harus diatur kebih ketat dan rinci," ucapnya.