Bisnis.com, JAKARTA--Kementerian Komunikasi dan Informatika diminta segera menyiapkan formula khusus baru dalam konvergensi digitalisasi penyiaran Indonesia.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Judhariksawan menyatakan Kemkominfo perlu membentuk tim digitalisasi penyiaran yang melibatkan seluruh stakeholder alias pemangku kepentingan dalam industri untuk menyiapkan formula khusus konvergensi digitalisasi penyiaran.
"Format yang telah disiapkan sebelumnya sangat semrawut dan berpotensi menciderai industri penyiaran. Maka pemerintah perlu menyusun grand design baru," ujarnya, Senin (6/1).
Menurutnya, Peraturan Menteri Kominfo 31/2014 Tentang Rencana Induk Frekuensi Radio Penyelenggaran Telekomunikasi khusus untuk Keperluan Televisi Siaran Analog pada Pita Ultra High Frequency yang disahkan September 2014 lalu, bertentangan dengan UU 32/2002 tentang Penyiaran serta Peraturan Pemerintah 50/2005 tentang Penyelenggaran Penyiaran Lembaga Swasta.
"Dalam Permen 31/2014, pemain industri diwajibkan melakukan penyesuaian paling lambat tiga tahun. Sementara pada UU 32/2002, izin penyelenggaran penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu sepuluh tahun."
Dia menjelaskan, Permen 31/2014 justru merupakan masalah baru yang dianggap antisipatif terhadap Permen 32/2013 yang kini dianulir.
Judhariksawan juga menjelaskan adanya kemungkinan frekuensi 700 megahertz akan dialihkan kepada industri telekomunikasi. "Sesungguhnya sah-sah saja bila pemerintah mengalihkan frekuensi tersebut untuk meraih penerimaan yang lebih besar, namun harus dikaji terlebih dahulu baik-buruknya mengingat 700 MHz merupakan karakter paling unggul untuk industri penyiaran."
Menurutnya, konvergensi digitalisasi penyiaran di seluruh dunia juga melibatkan pemain industri, tidak hanya pemerintah.
Ketua Umum Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) Bambang Santoso menyatakan Kemkominfo harus menyiapkan formula khusus baru menyongsong era digitalisasi penyiaran.
"Kalau dengan format yang sekarang, siapa yang berani menjamin pola tersebut menguntungkan?," tanyanya kembali kepada Bisnis, Senin.
Menurutnya dengan pola tumpang-tindih yang dianut pemerintah saat ini mengarah pada dua kemungkinan. Pertama, industri penyiaran digital yang dikuasai sebagian pihak untuk kepentingan komersil.
Kedua, pemerintah yang memonopoli dengan tarif biaya hak penggunaan (BHP) spektrum dalam kanal frekuensi yang mahal.
"Memang perlu diingat, digitalisasi itu keniscayaan. Namun untuk melangkah ke era tersebut, perlu langkah bijaksana yang tidak mengorbankan industri penyiaran yang telah dibangun selama puluhan tahun."
Perlu Formula Baru Digitalisasi Industri Penyiaran
Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:
Penulis : Sanjey Maltya
Editor : Rustam Agus