SEAPA: Kebebasan Pers di Asia Tenggara Diuji Liputan Pemilu

Anggi Oktarinda
Minggu, 4 Mei 2014 | 17:56 WIB
Di sejumlah kasus, pemilu juga menaikkan tensi ancaman dan serangan terhadap jurnalis. /seapa.org
Di sejumlah kasus, pemilu juga menaikkan tensi ancaman dan serangan terhadap jurnalis. /seapa.org
Bagikan

Bisnis.com, SINGAPURA - Aliansi Pers Asia Tenggara (Southeast Asian Press Alliance/SEAPA) menyebutkan kebebasan pers di negara-negara Asia Tenggara pada tahun ini menghadapi tantangan bersama terkait pelaksanaan pemilihan umum.

Pada 2013 dan awal 2014, empat negara Asia Tenggara mengadakan pemilu, yaitu Kamboja, Malaysia, Filiphina, dan Thailand. Pada pertengahan 2014, Indonesia juga menyelenggarakan pemilu dan menyiapkan pergantian presiden. Pada tahun depan, giliran Burma.

Direktur SEAPA Gayathry Venkiteswaran menyebutkan pemilu menjadi tantangan media massa di kawasan agar tetap dapat menjaga perannya saat mendokumentasikan peristiwa sejarah yang sedang berlangsung di negara masing-masing.

Di Indonesia, pekerja internal media juga menghadapi pengawasan ketat selama pemilu proses berlangsung. Hal itu lantaran kepemilikan media di Indonesia banyak terkait dengan tokoh-tokoh politik yang terjun dalam pemilu tahun ini.

Dibandingkan dengan data rekam jejak dan tingkah laku para politikus dan partai, propaganda politik justru mendominasi wacana pemilu.

Di sejumlah kasus, pemilu juga menaikkan tensi ancaman dan serangan terhadap jurnalis. SEAPA melansir bahwa di Kamboja, sejumlah jurnalis dan aktivis terluka saat otoritas menghentikan protes oposisi dan masyarakat terkait hasil Pemilu 2013. Krisis politik terjadi setelah sejumlah oposisi di negara itu menolak mengambil kursi parlemen mereka pasca pengumuman hasil pemilu.

Di Thailand, kesetiaan politik media massa dan para awaknya berkali-kali diuji dengan krisis politik terkait pemilu parlemen Februari 2014. Pengunjuk rasa memnuhi saluran televisi yang dimiliki oleh pemerintah agar dapat mempengaruhi pemberitaan dari kontrol pemerintah. Sementara itu, sejumlah jurnalis mendapatkan ancaman dan serangan saat meliput protes tersebut.

Di Filiphina lebih tragis lagi. Sebanyak 14 jurnalis dan 10 lainnya yang memiliki pekerjaan terkait media massa terbunuh selama 2013. Statistik ini merupakan yang tertinggi kedua pembunuhan terhadap awak media di negara itu sejak 1986.

Sementara tidak satu pun dari pembunuhan tersebut terlihat berkaitan dengan pemilu, namun Pusat Kebebasan dan Tanggungjawab Media (Center for Media Freedom and Responsibility) mencatat bahwa sebanyak 25 dari 68 insiden serangan dan ancaman terhadap media terkait dengan pemilu jangka pendek untuk anggota konres dan pejabat tingkat daerah.

“Kami melihat ketidakmampuan media untuk tetap berada dalam masalah ini,” ujarnya saat mengisi acara World Press Freedom Day Tea dalam rangka peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Singapura, Sabtu (3/5/2014)

SEAPA menyebutkan adanya tambahan tekanan atas pertaruhan politik meningkatkan kekhawatiran atas isu kebebasan, resiko keamanan dan kode etik profesi jurnalis. Di sisi lain, masih ada kekhawatiran atas keahlian para wartawan sehingga meningkatkan kebutuhan pelatihan meliput isu pemilu.

“Jadi ancaman terhadap kebebasan pers masih ada dalam peliputan pemilu. Mulai dari Thailand, Malaysia, Kamboja, Indonesia yang sekarang sedang melangsungkan pemilu, juga Filiphina. Bahkan di negara yang medianya cukup bebas seperti Indonesia, yang punya institusi lebih baik, tetap saja uang berbicara,” katanya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Anggi Oktarinda
Editor : Fatkhul Maskur
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper