Lulus pendidikan kedokteran, Luthfi Mardiansyah tidak pernah mimpi membuka praktik sendiri. Dia justru memilih menjadi seorang pemasar barang consumer. Dia pernah berjualan mi instan di Dubai, sebelum akhirnya bergelut di bisnis farmasi.
Pengalamannya telah membuat sosok CEO ini mampu membawa PT Novartis Indonesia bertumbuh di atas rata-rata industri. Dalam kesempatan wawancara dengan Bisnis Indonesia Luthfi mengungkapkan banyak hal, mulai dari perjalanan karier, pandangan industri, strategi bisnisnya. Berikut petikannya :
Bagaiamana perjalanan Anda hingga duduk sebagai CEO di Novartis Indonesia?
Saya lulus jurusan kedokteran, tetapi waktu itu saya tidak pernah mempunya mimpi membuka praktik dokter sendiri. Jadi, setelah selesai masa tugas pengabdian, saya justru masuk ke perusahaan yang bergerak di bidang consumer goods menjadi seorang marketing. Saya sempat melanjutkan pendidikanbidang manajemen, ternyata menjadi seorang businessman itu jauh lebih menarik.
Suatu saat, saya punya kesempatan dikirim ke Dubai menjadi manajer regional di wilayah tersebut. Ini pengalaman saya pertama kali ke luar negeri, sekitar 1992. Saya tinggal di Dubai sekitar 2 tahun. Merasa cukup dengan pengalaman di bidang consumer goods, saya masuk ke satu perusahaan farmasi sebagai sales director.
Kesempatan berikutnya saya diminta menjadi kepala pabrik, saya ambil itu. Tapi saya merasa, posisi kepala pabrik itu tidak gampang. Saya harus banyak duduk di kantor, sedangkan saat saya jadi seorang marketing lebih banyak beraktivitas di luar kantor.
Lalu, sekitar 2011 saya dikirim ke China untuk memegang perusahaan di sana. Saya tinggal di China selama 6 tahun. Baru awal Januari 2011 saya masuk ke Novartis.
Sepanjang karier, apa yang menurut Anda berkesan?
Pengalaman paling menarik bagi saya pribadi sewaktu berada di Dubai ketika dipercaya menjadi manajer regional dan memasarkan produk di sana. Kebetulan produk yang kami tawarkan mi instan.
Sepintas menjual produk mi instan di Dubai terlihat mudah, karena pa sarnya besar dan banyak orang Indonesia di sana. Namun, persepsi orang di sana terhadap Indonesia ternyata kurang menyenangkan. Mereka beranggapan, orang Indonesia di sana hanyalah sekumpulan orang yang mencari pe ker jaan. Kami buktikan, kami mau jualan bukan cari kerja.
Tantangan lain, selama di Dubai saya harus menghidupi operasional kantor. Caranya, saya jual arang, lemari plastik, buku tulis, dan macam-macam. Semua saya datangkan dari Indonesia. Hasilnya untuk menutup operasional kantor, biaya promosi, dan menghidupi karyawan di sana.
Terus terang itu mengasah jiwa wiraswasta saya, meski masih dalam lingkup perusahaan. Secara tidak langsung, selama di Dubai posisi saya jadi seorang marketing, trader, dan wiraswasta.
Anda memilih tidak berkarier sebagai dokter, lalu alasan apa yang membuat kembali berkecimpung di farmasi yang tak jauh dari ilmu yang dipelajari?
Waktu itu saya hanya berpikir bahwa saya sudah jauh lari dari teori-teori yang saya pelajari di bangku pendidikan.
Saya masuk industri farmasi pada 1997. Waktu itu juga tidak langsung berhubungan dengan dunia farmasi, karena kami menjual kapsul. Ketika itu, banyak banyak industri farmasi yang menjual produk dalam bentuk tablet. Saya tertantang mengubah itu.
Obat yang dikemas dalam kapsul sebenarnya lebih mudah diserap oleh tubuh. Tentu dengan latar belakang pendidikan kedokteran, lebih mudah bagi saya untuk masuk karena saya menggunakan pendekatan scientific, bukan sekadar jualan.
Apa yang tebersit pertama kali saat masuk kembali ke farmasi?
Visi meningkatkan layanan kesehatan dan akses obat-obatan di masyarakat. Terutama di Novartis, produknya cukup banyak. Banyak kegiatan yang bisa saya lakukan, termasuk member edukasi kepada masyarakat.
Anda melihat industri farmasi Indonesia seperti apa?
Industri farmasi kita masih seperti tukang jahit. Maksudnya, bahan baku semuanya masih impor, sedangkan kita hanya meracik, membuat formulasi, packing, dan dijual ke pasar.
Kalau mau bicara industri farmasi menyeluruh, semestinya dari hulu sampai hilir.
Selama ini kita Indonesia belum punya roadmap industri farmasi yang jelas. Saya punya ambisi ke sana. Menyiapkan roadmap yang jelas bagi industri farmasi nasional maupun multinasional sehingga industri berjalan secara sehat.
Peran pemerintah?
Selama ini pemerintah mungkin melihat industri farmasi sebagai cara memberi layanan sosial. Pemerintah ingin obat harus murah. Padahal bikin obat itu tidak semuanya bisa murah.
Suatu saat ini, industri farmasi memang harus mapan, bukan lagi sekadar industri sosial. Fungsi sosial tetap harus dijalankan dengan menyediakan obat murah, tetapi sebagai industry juga harus bisa meraup untung.
Permasalahannya bukan lagi pada harga obatnya, tetapi kepastian ketersediaan obat di seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan pemerintah juga harus saling dukung, bukan kontraproduktif.
Bagaimana perbandingan industry farmasi Indonesia dengan negara tetangga?
Pasar industri farmasi di Indonesia setiap tahun sekitar Rp43 triliun dengan penduduk lebih dari 230 juta jiwa. Pangsa pasar ini hampir sama dengan Filipina dan Malaysia yang jumlah penduduknya di bawah kita.
Kondisi ini menunjukkan bahwa konsumsi per kapita masyarakat Indonesia terhadap obat-obatan rendah, masih US$20 per orang per tahun. Di level Asean, kita mungkin lebih unggul dari Myanmar. Rakyat kita masih membeli sendiri obat yang dikonsumsi.
Selama 2 tahun memimpin Novartis Indonesia. Ada pertumbuhan yang sudah dicapai?
Secara pertumbuhan kami sudah di atas rata-rata. Paling gampang terlihat dari sisi ekspansi dan penambahan karyawan. Karyawan tenaga penjualan awalnya 230 orang, sekarang sudah 420 orang. Perusahaan yang menambah karyawan, tentu ingin terus tumbuh. Secara total, saya memimpin 3.000 orang karyawan, termasuk di Novartis Group.
Bagaimana gaya kepemimpinan yang Anda kembangkan?
Di Novartis saya lebih persuasif dibandingkan dengan perusahaan sebelumnya. Saya harus meyakinkan bahwa perusahaan ini bisa unggul dan menjadi nomor satu. Pendekatan pemasaran tidak lagi sekadar jualan, tetapi harus dengan cara scientific.
Saya ingin tim memiliki kualitas yang baik. Maka, saya lakukan sertifikasi. Awalnya banyak yang tidak lulus, lalu saya beri kesempatan lagi. Ini bagian dari meningkatkan profesionalisme.
Terobosan apa yang sudah dibuat?
Saya memperkuat tim medical representative yang awalnya empat orang menjadi 20 orang. Pada semua tim medical, saya bekali dengan perangkat teknologi Ipad, karena saya ingin membedakan mereka dengan yang lain. Saya ingin menciptakan kepercayaan diri dan kualitas mereka, terutama di depan para dokter.
Melihat banyak perusahaan yang disinggahi, apakah Anda sosok oportunis?
Tidak. Saya orang yang selalu melihat kesempatan dalam mengembangkan karier sesuai dengan ekspektasi saya. Kalau saya oportunis, tentu sejak dulu saya sudah mengambil tawaran yang jauh menarik. Namun, karena saya merasa itu bukan bidang saya, saya pikir buat apa harus saya jalani kalau saya sendiri tidak merasa sesuai dengan keinginan saya.
Keputusan apa yang pernah Anda sesali?
Mengalami gagal dalam berkarier merupakan hal wajar, karena semua orang pasti pernah merasa gagal. Saya sendiri punya prinsip, keputusan yang kita ambil tidak pernah ada benarnya. Mungkin sekarang kita mengambil keputusan yang benar, tetapi mungkin beberapa bulan lagi atau 2 tahun ke depan ternyata keputusan itu salah.
Satu yang penting bagaimana kita mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Kalaupun keputusan itu salah, kita evaluasi lagi. Pengalaman pekerjaan saya menempa saya mengambil langkah dengan hati-hati.
Siapa sosok yang menginspirasi Anda?
Ada dua orang. Pertama ibu saya, kedua ayah saya. Ibu saya sosok yang disiplin dan tidak mau membedakan anak-anaknya. Saya satu-satunya anak lelaki dalam keluarga, tetapi saya tidak pernah merasa diperlakukan istimewa. Sedangkan Ayah saya merupakan birokrat yang akhirnya berhasil dalam mem bangun bisnis dengan profesional.
Sepanjang karier, saya berusaha menjaga betul reputasi keluarga. Tokoh idola, saya kagum dengan sosok B.J. Habibie. Bagi saya, sosok Habibie mewakili kaum yang memiliki visi ke depan.
Saat senggang, kegiatan apa yang sering dijalankan?
Saya lebih banyak di rumah, berkumpul dengan keluarga. Sesekali keluar dengan istri atau anak-anak. Saya juga memaksa diri untuk olahraga, seperti bulu tangkis atau sekadar jogging. Saya juga masih sering nyuci mobil sendiri. Lumayan bisa keluar keringat.