Martin Minar Widjaja : Ratu di Negeri Sendiri

News Editor
Rabu, 12 Desember 2012 | 09:26 WIB
Bagikan

Dengan gaya kepemimpinan yang demokratis, Martin Minar Widjaja sukses membawa PT Sewu Segar Nusantara (SSN) menjadi perusahaan distributor dan pemasaran berbagai produk hortikultural khususnya buah lokal. Niatnya, ingin menjadikan buah lokal sebagai ratu di negeri sendiri.

Sejumlah langkah disiapkannya untuk go-international. Lebih jauh, dia bertekad entitas bisnis yang dikelolanya menghasilkan produk agribisnis yang bernilai tambah. Bagaimana perjalanan sang chief executive officer menata strategi? Berikut wawancara Bisnis dengannya untuk berbagi kunci sukses.

Bagaimana perjalanan PT Sewu Segar Nusantara?

Sewu Segar Group membuat joint venture dengan Delmonte Fresh me­­ngembangkan kebun pisang Caven­dish di Lampung seluas 3.500 hektare, untuk memenuhi pasar ekspor. Waktu itu namanya Nusantara Tropical Fruit.

Namun, setelah berjalan 2 tahun perkebunan kami terkena penyakit Fosarium. Tanaman kering daunnya dan mati. Tidak ada obatnya, sampai sekarang. Saat itu tinggal 400 hektare, dan terus menyusut. Kalau hanya 400 hektare, kami tidak bisa ekspor. Sete­lah 1,5 tahun Delmonte menyerah, kami bertahan.

Kami sudah punya karyawan banyak, dan ada ikatan dengan pemerintah setempat, kemudian ini ­akhirnya diteruskan. Dibentuklah SSN di Jakarta untuk memasarkan pisang yang tinggal sedikit ini ke pasar lokal. Kami tak menyangka dari usaha jualan pisang di pasar-pasar, karyawan 14 orang, [akan berkembang menjadi perusahaan semacam ini sekarang].

Penjualan susah. Masyarakat sih mau kalau pisang mas, pisang susu, pisang kepok, dan lainnya. Pisang Cavendish belum umum. Ini pisang kayak plastik, mulus, mereka merasa aneh. Acceptance masih rendah sekali. Itulah sejak 1995 orang, kenal pisang Cavendish.

Kenapa waktu itu mau bekerja sama dengan Delmonte untuk garap pisang?

Grup kami background-nya di agriculture nanas, umurnya sudah 40 tahun. Nanas itu tertua, dari 5.000 hektare se­karang 30.000 hektare. Potensi ekspor pisang untuk di Asia luar biasa, sudah sempat ekspor pisang ke Hong Kong dan Jepang. Pasarnya ada, Delmonte punya teknologi tanam. Dari nanas berkembang ke pisang, jadi itu background-nya.

Pada waktu itu standar ekspor, untuk masuk ke pasar modern, sudah dikemas rapi, buahnya bagus. Untuk masuk ke supermarket, buah harus disortir, yang masuk pakai keranjang, dipilih masuk 5 ton yang dibalikin mungkin 3,5 ton, yang diterima 30%-40%. Jadi kalau lihat barang kayak begini mereka suka, itu kita beruntung. Acceptance supermarket tinggi, tapi dari konsumen rendah.

Acceptance supermarket tidak berguna, kalau barang hanya duduk di supermarket lalu busuk, dan supermarket tidak akan terima lagi berikutnya. Karena tidak laku, akhirnya kami berjualan ke pasar becek, harga rendah yang penting laku. Banyak yang menyebutnya ini pisang Singa­pura, pisang Filipina, padahal pisang Indonesia.

Energi apa yang membuat bertahan waktu itu?

Saya pikir dari pendiri memang terjun langsung, keinginan bergerak di hortikultura sangar besar, seperti nanas, dan pisang, sekarang lebih dari 20 macam buah, termasuk yang ditanam sendiri seperti jambu tanpa biji, nanas honey, pisang cavendish, buah naga, itu semua inovasi terus. Ada yang diambil juga kerja sama dengan petani, pepaya solo, pepaya California, pisang mas, melon, itu kerja sama dengan petani.

Selain itu sudah ada sekitar 1.500 orang di Nusantara Tropical Fruit, sister company kami, yang fokus hanya nanam. SSN fokus distribusi dan pemasaran. Semua manajemen tahu, kalau ada masalah. Akhir­nya ada blessing, me­­mang menghilangkan penyakit tidak bisa, dengan membuat manajemen plantation yang terkendali maka sekarang penyakit Fusorium sudah di bawah 5%.

Bagaimana perjuangan pemasaran?

Karyawan 14 orang harus ke pasar, karena di pasar tidak ada pedagang yang mau berjualan pisang ini. Kami kemudian buka lapak, gantian berjaga, malam-malam. Baru 3 bulan mulai laku, akhirnya pedagang di pasar mau berjualan pisang ini. Waktu itu tidak bicara soal harga, yang penting jangan dibuang.

Kapan masuk ke buah lain?

Pada 2001 kami masih fokus pada buah pisang, tetapi sudah bikin brand kedua, Sunfresh. Orang lebih memilih buah yang ada brand-nya karena, me­­reka pikir ini ada yang punya, pasti tidak sembarangan kualitasmya. Merek pertama adalah Sunpride. Baru pada 2004 kami terpikir untuk distribusi buah lainnya. Mobil box sudah mulai banyak, satu mobil kapasitas 100 tapi terisi hanya 40%. Tidak efisien kalau pisang doang.

Dari situ mulai cari buah lain, seperti pisang mas, dan melon. Kami gunakan merek yang ada. Sunpride ini waktu ekspor. Sunpride itu kesegaran seperti matahari pagi, itulah makanya dikembangkan Sunpride, fresh every day, kesegaran setiap hari. Kalau makan buah jadi segar. Image merek kita, kesegaran pasti terjaga.

Hambatan lain di SSN?

Infrastruktur di Indonesia, karena jalan itu macet, rusak, buah rusak jadinya. Buah kan harus cepat, ka­­dang-kadang dari ke Lampung ke sini saja lama. Distribusi buah ini butuh coldstorage chain terpadu, artinya harus dingin terus, kalau putus buah akan rusak.

Bagaimana pengembangan jaringan distribusinya?

Itu investasi yang kami tanamkan. Awalnya menggarap yang dekat, terus merambah ke negara lain. perlahan harus investasi, kalau pemerintah belum menyediakan jalan yang bagus maka kita harus menyediakan mobil yang tahan lama, membangun gudang di berbagai daerah. Itu challenge yang utama. Kami hanya fokus pada distribusi, tidak pernah menanam [modal] ke perkebunan.

Kami mencari barang tidak hanya dari perkebunan sendiri, tetapi juga dari petani. Jadi perlu ada ilmu tanam pisang, melon, untuk diberikan kepada petani mitra. Buah dari kebun sendiri masih 60%, petani 20%, dan impor 20%.

Bagaimana dengan ekspansi?

Di SSN, kami mulai dari yang de­­kat, kemudian memperluas sedikit demi sedikit. Pertama di Jawa, lama–lama merambah ke Sumatra dan Bali. Perlahan-lahan kami harus investasi, terutama untuk infrastruktur dan cold chain.

Kalau pemerintah tidak bisa menyediakan jalan yang bagus, ya kami siapkan mobil yang bisa bertahan lama. Kami siapkan gudang–gudang, kami punyaa depo di Tegal, di Solo, dan di sepanjang jalan, karena mobil kami selama 7 hari tidak berhenti di sepanjang Jawa. Sumatra belum.

Bagaimana Anda mengoptimalkan karyawan di SSN?

Karyawan kami 500-an orang, termasuk di daerah. Brand manager punya anak buah, mengatur koordinasi, sistemnya matrik. 

Soal SDM, ini akan hot dalam 2 ta­­hun ke depan. Dengan pasar yang ber­gerak dan membaik, semua orang ingin masuk pasar Indonesia. akan terjadi perebutan human resources.

Tentunya, kalau ingin berkembang, ada hal-hal yang di luar kemampuan kita. Soal teknologi, misalnya, ba­­gai­mana mobil bisa mendukung tiga suhu udara. Itu kita harus hire dari luar.

Bagaimana mengatur logistik yang paling efisien, kami cari expert. Kami alokasikan untuk biaya SDM sekitar 3%-5% dari revenue. Untuk menjaga yang sudah ada sampai merekrut expert yang baru.

Seperti apa kondisi paling sulit yang pernah Anda hadapi?

Bagaimana menjaga kondisi agar kondusif. Untuk itu sebagai leader saya tidak boleh tidak otokratik, harus lebih demokratis, bahkan keputusan dibuat di level bawah.

Bagaimana Anda melihat hambatan di sektor agrinisnis?

Barrier of entry. Orang meng-handle buah itu langsung takut, karena sifatnya yang tidak tahan lama, takut bu­­suk, dan akhirnya rugi. Jadi, yang be­­sar–besar pun jarang untuk me­­nyen­tuh itu. Risikonya tinggi. Akan tetapi kalau kita tahu caranya, maka risiko itu bisa tertangani.

Bagaimana Anda melihat risiko tinggi di sektor pertanian?

Saya bisa bilang tidak dan iya. Sektor pertanian kalau sudah sangat paham, dan kita makin jeli risiko tidak tinggi, itu pengetahuan. Misal kita mengerti di logitisk agribisnis, tetapi kita disuruh masuk ke properti, kita akan bilang itu risiko tinggi, karena kita tidak tahu. Orang yang tidak tahu agribisnis maka akan bilang itu risikonya tinggi.

Demikian pula di manajemen, bergerak ke arah yang knowledge kita tahu. Sebelumnya kami memasarkan buah saja, selanjutnya bisa masuk ke logistik.

Bagaimana menangani risiko?

SSN bisa panjang sampai saat ini, karena awal kita sudah tetapkan mindset untuk buah yang standar ekspor. Pada saat mau masuk ke melon, maka kita tetapkan standar untuk me­­lon terlebih dahulu baru masuk ke melon.

Apakah akan lebih aman kalau dipasok dari kebun sendiri?

Sebenarnya tidak bener juga. Raha­sia­nya begini, perkebunan dengan kar­yawan biaya over head tinggi, ada panen tidak ada panen dia harus di­­bayar. Akan tetapi, kalau dengan petani, kita sekaligus memberdayakan de­­ngan petani. Petani di Indonesia pa­­ling suka padi, karena berat hanya di depan dan saat panen, sisanya antara itu nganggur santai.

Akan tetapi, karena semua orang menanam padi, maka value jadi rendah. Tanam melon setiap hari harus dira­wat tetapi value tinggi. Tugas Sun­pride memilihkan buah apa yang ni­­lai­nya tinggi.

Pandangan Anda soal branding?

Sangat penting. Merek-merek terkenal dunia, pengeluaran promosi bisa mencapai 40%. Branding penting un­­tuk mendorong willing to pay. Ke depan, kami melihat tren melihat TV makin menurun, tetapi generasi muda, generasi X, yang bergerak menggunakan internet makin banyak. Pegerakan branding kami ke social media sangat besar. Kita memberi perhatian khusus, meng-hire orang yang khusus mengamati hal itu.

Paling penting, kami membuat mapping. Misalnya sejauh mana pro­duk ini dibicarakan oleh orang, se­­hingga spending tidak dikeluarkan untuk hal yang salah. Respons yang diberikan tidak salah, dan sudah langsung tembak ke target.

Bagaimana Anda mengembangkan merek?

Cukup tiga, Sunpride, Sweety, dan Sunfresh. Positioning sudah jelas. Kami ingin merek kami menjadi simbol kualitas dan rasa yang enak.

Bagaimana rencana ke depan?

Logistik sudah terkonsolidasi, maka untuk menarik barang menjadi lebih murah kami berpikir visi ke depan, kalau infrastruktur itu terbentuk menjadi competitive advantage yang tidak dimiliki orang lain.

Kami bisa masuk ke produk-produk berpendingin tetapi bukan buah, misal sayur, daging sapi, walaupun ada treatment berbeda sedikit, Seka­rang sedang dipelajari, sayur dulu yang paling dekat. Itu peluang, saya pikir suatu hari kenapa tidak?.

Bagaimana tahapannya?

Dalam 2 tahun ke depan, kami siapkan infrastruktur dan sistem yang lebih kuat lagi di Indonesia. Kalau masih 30 truk distribusi itu masih bisa kita atur secara manual. tetapi kalau sudah 100 truk, dalam waktu 1 jam, sudah harus mulai dari sistem kompoterisasi, itu yang mulai kami investasikan.

Prinsipnya menjadi ratu di negara sendiri dulu. Buah–buah kita penuhi di Indonesia terlebih dulu.

Kalau soal pasar, saya tidak pernah khwatir dengan Indonesia, dari mana pun sudut pandangnya. Indonesia akan menjadi negara terbesar secara ekonomi pada 2030.

Malah, Bank du­­nia memprediksi, daya beli Indo­ne­sia akan double dalam 2 tahun ke depan. Tak usah jauh–jauh, UMR juga naik. Itu kami lihat sebagai peluang, karena daya beli masyarakat akan naik.

Apa kegiatan Anda di saat libur dan akhir pekan?

Banyak kumpul bersama keluarga, ke mal, nonton film. Kalau lagi sendiri lebih senang baca buku, browsing Internet. Saya belajar soal buah dan teknologi tidak dari buku tapi dari Internet. Kalau olah raga saya jogging.

Siapa tokoh idola Anda?

Tokoh idola saya Albert Einstein.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : News Editor
Editor : Sitta Husein
Sumber : Moh. Fatkhul Maskur & Sepudin Zuhri
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper