Hadi Kasim : Fokus dan menjadi mayoritas

News Editor
Rabu, 16 Mei 2012 | 09:42 WIB
Bagikan

Sebelum mulai masuk dunia kerja pada 1989, Hadi Kasim sempat menghabiskan waktu selama 10 tahun di Jerman untuk kuliah, menjadi asisten profesor, dan bekerja pada perusahaan kontraktor dalam rangka penyelesaian studi manajemen.

 

Dalam sebuah wawancara dengan Bisnis, sosok CEO Triputra Group ini banyak menceritakan perjalanan kariernya, dinamika membesarkan perusahaan, tentang keluarga, hingga obsesinya. Berikut petikannya:

 

Bagaimana pengalaman Anda berkarier di korporasi?

 

Saya mulai masuk dunia kerja pada 1989. Sebelumnya saya beruntung bisa kuliah di Jerman dan tinggal di sana kurang lebih 10 tahun. Saya kembali ke Indonesia setelah bekerja di perusahaan kontraktor di Jerman dalam rangka penyelesaian studi manajemen. Pada 1989 bisnis bangunan lagi buruk, saya berpikir melamar kerja di dua tempat yang prospek karier  nya baik. Astra lebih dulu menerima saya.

 

Hal apa yang Anda tangani ketika itu?

 

Saya mulai diberikan banyak project, karena saat itu pemerintah menganjurkan pengusaha besar untuk ekspor. Lalu Astra pun ikut membangun bisnis-bisnis ekspor. Saya diminta masuk ke bisnis furnitur, khususnya rotan. Baru berjalan 1,5 tahun ada krisis, perang Kuwait, yang menyebabkan permintaan terhadap rotan anjlok. Akhirnya kita berhenti.

 

Setelah itu?

 

Saya diminta menangani perusahaan lain, membuat panci, dan perlengkapan supermarket, kursi roda. Setelah 2,5 tahun, Pak Teddy Rachmat, Presiden Direktur Astra ketika itu, meminta saya menangani perusahaan lain dalam satu Grup Astra. Waktu itu kader yang punya talenta besar diputar.

 

Saya masuk di pabrik sepatu sampai 2,5 tahun, berkenalan dengan orang-orang Korea yang gila kerja, berani menaikkan kaki ke atas meja segala. Banyak pengalaman yang mendebarkan waktu itu.

 

Teman-teman Korea paling rajin, mereka datang paling pagi dan pulang paling malam, sampai pukul 21.00 pulang kerja masih juga mengajak karaoke. Sabtu mereka masuk, dan tak mengikuti sistem. Namun, karena kerja keras itu mereka bisa besar, seperti kita lihat Samsung.

 

Apa yang Anda nilai paling sulit dalam mengambil keputusan?

 

Saya punya prinsip, memimpin perusahaan tak boleh pakai perasaan. Kalau pakai perasaan, kita menjadi tidak rasional. Padahal dalam mengambil keputusan harus rasional. Karena kalau tidak, keputusannya lari dari seharusnya. Perasaan hanya bisa dipakai kalau untuk keluarga.

 

Pernahkah menghadapi dilemma dalam mengambil keputusan?

 

O, pernah, misalnya kalau harus menutup perusahaan karena bisnisnya tak bagus. Kita punya kompetensi tidak baik, mau bertahan berapa lama lagi setelah ekspansi 1,2 tahun? Kalau perusahaan tidak punya keunikan, mau teruskan atau bagaimana?

 

Yang penting akhirnya kami harus menyelaraskan, bagaimana karyawan kami carikan saluran yang sebaik-baiknya, bisa juga cari perusahaan yang baik untuk kami salurkan ke sana.

 

Berapa kali Anda menutup perusahaan?

 

Hanya sekali, waktu saya memimpin perusahaan sepatu. Tapi bukan tutup sebenarnya, kami jual ke mitra kerja. Sebenarnya kami tidak rela. Kami dulu dalam bisnis ekspor masih belum mahir, Astra kan tadinya bermain di bisnis-bisnis yang memiliki margin besar, seperti mobil dan motor.

 

Kenapa waktu itu marginnya besar? Karena masih diproteksi pemerintah, ingat nggak zaman dulu kan tidak boleh mobil masuk, komponen juga tidak bisa impor langsung dari luar. Jadi kalau bikin di dalam, kami bisa pasang harga sangat bagus.

 

Nah, beda sama ekspor. Pasarnya kualitas dunia, lalu benchmark-nya kelas dunia. Jadi harganya harus kompetitif. Waktu itu terus terang kami belum siap.  Saya jadi berpikir bahwa sejatinya setiap orang juga seharusnya masuk ke bisnis yang sulit agar menjadi tahu prosesnya, karena itu merupakan bigger test bagi perusahaan.

 

Setelah itu saya join venture dengan Tridarma Wisesa, membuat brake systems. Ini sangat tertata, karena Jepang itu sangat tertata, belok kiri dan kanannya sangat rapih, tidak boleh nyelonong-nyelonong, di sana belajar bagaimana membangun sesuatu dengan rapih sekali satu per satu. SOP-nya jelas.

 

Pernahkah Anda mengambil keputusan keliru?

 

Pasti pernah, di bisnis sepatu yang tidak kami kuasai. Karena kami mayoritas, kami beli material ke partner yang minoritas. Bikinnya kami masih dibantu mereka, karena mereka yang tahu design-nya, jualnya 50% ke mereka juga. Bisa dibayangkan, mereka yang atur harganya. Waktu itu kalau dipikir-pikir kami bodoh sekali yaa.

 

Pernahkah Anda mengambil keputusan dilematis?

 

Itu terjadi ketika mengalihkan atau menutup bisnis. Itu yaa di bisnis sepatu dan pabrik velg. Waktu krisis pada 1998, saya diminta Pak Teddy Rachmat untuk joint ke perusahaan yang kini menjadi Triputra Group, saya keluar dari Astra. Bayangkan perusahaan yang beromzet Rp15 miliar sebulan turun menjadi Rp2 miliar. Tapi sekarang menjadi sangat besar, hampir Rp40 triliun.

 

Kondisi saat itu, utang banyak, order sedikit, dan karyawan tidak termotivasi. Pertama yang kami lakukan adalah bikin program yang bisa survival. Kami keliling satu per satu ke bank kreditor, sampai ke Singapura. Setiap datang saya selalu dimarahin dulu.

 

Saya bilang ke mereka, kalau Bapak mau dengarkan program saya, yaa dengarkan. Kalau tidak mau silakan alternatif Anda apa, kalau tidak mau juga saya lebih baik pulang. Akhirnya mereka mau dengarkan, dan semua utang akhirnya solve, dengan cara recovering pastinya. Nilai utang kira-kira US$35 juta. Waktu itu kalau rupiahnya Rp10.000 per dolar AS, ngeri kan..

 

Saya member semangat pada karyawan. Kami senam sama-sama, dan hadir di tengah mereka. Kalau nggak diberikan contoh yang baik, mereka juga nggak mau ikut nanti. Akhir nya kami bisa survive, punya tiga pabrik baru di Karawang. Mungkin kalau di industri velg, Triputra menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan omzet tahun ini Rp1,6 triliun.

 

Peran Pak Teddy?

 

Kalau mau tahu ceritanya, Pak Teddy Rach mat sebagai founder Triputra itu masih bekerja di Astra sampai 2002. Lalu pada 2003 membangun Triputra secara serius. Nah mulai saat itulah dibangun bisnis-bisnis baru yang secara prospek lebih baik, yang marginnya tinggi, kami lihat persaingannya baik.

 

Kalau manufacturing kan lebih terasa, marginnya double digit itu jarang, ya rata-rata berkisar 5%-9%. Tapi juga kadang-kadang drop, kadang sampai hancur. Kecuali mempunyai teknologi khusus.

 

Apa rencana Triputra?

 

Ke depan kami mau fokus lebih dalam. Jadi begini, bisnisnya sudah benar belum? Prosesnya benar nggak? Orang-orangnya benar nggak? Kami punya prinsip bisnisnya benar, prosesnya benar, orangnya benar, dan menjadi mayoritas. Nah itu yang kami jaga terus walaupun tidak dominan.

 

Bagaimana Anda memosisikan pelanggan?

 

Kalau pelanggan itu nomor satu. Bagaimanapun juga pelanggan harus kita perlakukan dengan baik. Kalau tidak jadi masalah.

 

Bagaimana dengan pesaing?

 

Wah, kalau sama pesaing kita perhatikan habis-habisan. Kalau kompetitor yang cost-nya lebih murah, maka kami lakukan benchmarking, kami telusuri di mana mereka bisa lebih murah. Kami lakukan benchmarking setahun, kami mencontoh satu dua kali. Kalau ada perusahaan di grup yang sistem training-nya bagus, kami undang, yang lain diminta mencontoh.

 

Pernahkah Anda menghadapi bisnis bernuansa KKN?

 

Itu pasti ada, tidak kami tutup-tutupi. Bisnis kami tidak banyak yang bersentuhan dengan itu. Ada beberapa yang bersentuhan, pada proses recruitment. Itu kan banyak proyek pemerintahnya. Tapi kalau seperti itu kita cari mitra yang dapat membantu agar eksekutif kami tidak terlibat langsung masalah yang merusak citra.

 

Bagaimana mempersiapkan kader?

 

Itu adalah tugas utama saya saat ini, yaitu mempersiapkan kader-kader perusahaan masa depan. Saya mempunyai list yang bisa dijadikan leader. Ada kira-kira 100 kader besar, dan 25 kader yang harus di-fire test.

 

Karyawan kami sudah banyak. Dengan yang di kebun 30.000-an, di manufacturing saja 6.000-an, dan di garmen 4.000 orang.

 

Sekarang yang paling susah bukan create business, tapi menyiapkan orangnya. Lalu masih ada lagi didalamnya, yaitu Triputra Management System. Kami memakai istilah ini untuk menyamakan bahasa di perusahaan.

 

Apa impian yang belum tercapai?

 

Dalam hidup saya ingin melihat dunia dan melakukan sesuatu. Kira-kira mirip ekspedisi petualangan. Tapi saya merasa kekuatan badan sudah tidak memadai. Mungkin yang paling bisa saya lakukan ya membantu orang lain dengan kegiatan sosial.

 

Bagaimana dengan keluarga?

 

Sejak 2001 saya membiasakan Sabtu dan Minggu sebagai hari keluarga. Jadi saya jarang kerja, kecuali ada tamu penting. Saya tak main golf karena ini bukan olah raga saya. Saya selalu mengantar istri dan anak saya ke mana mereka mau. Tapi kalau hari kerja biar sampai jam 12 malam ya hayu…

 

Ada waktu untuk olahraga?

 

Tentu ada. Dalam seminggu saya treadmill 3 kali, kemudian Minggu saya main tenis 3 jam, tapi ya nggak terus-terusan. Kadang-kadang juga suka main pingpong.

 

Siapa yang paling Anda idolakan?

 

Saya mesti bilang sampai sekarang itu Pak Teddy masih jadi orang yang berpengaruh bagi saya. Kalau di keluarga saya berasal dari keluarga yang sederhana, kalau bapak saya itu orangnya jujur, dan ibu saya juga orang yang sangat sabar.

 

PEWAWANCARA:  Gloria Natalia Dolorosa, Djony Edward, Lahyanto Nadie, Endy Subiantoro

 

 

TOPIK AKTUAL:

ARTIKEL LAINNYA:

ENGLISH NEWS:

+ JANGAN LEWATKAN5 Kanal TERPOPULER Bisnis.com

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : News Editor
Editor : Sitta Husein
Sumber : Gloria Natalia Dolorosa, Djony Edward, Lahyanto Nadie, Endy Subiantoro
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper