SELEKSI BRTI: Anggota lama dinilai tak layak dipilih lagi

Lingga Sukatma Wiangga
Selasa, 28 Februari 2012 | 10:43 WIB
Bagikan

JAKARTA: Sejumlah kalangan menilai anggota komite regulasi telekomunikasi (KRT) Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) tak layak kembali dipilih dalam keanggotaan periode 2011-2013 karena terbukti tidak bisa menyelesaikan berbagai masalah seputar telekomunikasi.

 

Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pembinaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menilai anggota lama BRTI tidak bisa menyelesaikan kasus sedot pulsa, bahkan malah menghancurkan industri konten seiring terbitnya Surat Edaran No. 77/2011.

 

“Kenapa harus dimatikan semua sementara yang curang hanya segelintir content provider saja, ini tidak masuk akal. Yang mengherankan, kasusnya kenapa jadi berlarut-larut, selain industri terancam kolaps, masyarakat pengguna juga dirugikan dengan terhentinya konten yang bermanfaat,” ujarnya kepada Bisnis hari ini.

 

Selain itu, katanya, BRTI periode 2009-2011 juga tak pernah tegas terhadap vendor BlackBerry Research in Motion (RIM) yang terbukti terus menerus melanggar regulasi telekomunikasi dan lebih jauh lagi meremehkan pemerintah Indonesia.

 

Kamilov juga menyoroti soal BRTI yang lebih banyak melakukan kunjungan dan rapat-rapat pleno di luar kota yang dinilai kurang efektif dan memboroskan anggaran.

 

Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah memiliki hajatan cukup penting dan kurang penting, yaitu penjaringan sekaligus seleksi anggota Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang baru.

 

Namun, meski anggota baru, dari 18 nama yang sudah terjaring, lima diantaranya merupakan muka-muka lama BRTI. Mereka adalah M. Ridwan Effendi, Nonot Harsono, Danrivanto Budhijanto, Iwan Krisnadi, dan Nurul Budi Yakin.

 

Sementara satu anggota BRTI lainnya, yakni Heru Sutadi memang tak ikut seleksi lantaran telah dua periode menjabat, sesuai batas maksimalnya.

 

Anggota BRTI yang akan dipilih ini sendiri nantinya akan berjumlah 6 orang. Mereka hadir sebagai regulator telekomunikasi dari unsur masyarakat. Sementara 3 orang lainnya ditempatkan sebagai perwakilan pemerintah. Sehingga anggota BRTI seluruhnya nanti akan berjumlah 9 orang.

 

Susunan struktural BRTI di bawah Menkominfo dan Dirjen Postel (pada saat pendiriannya) menjadikan lembaga ini tak lebih hanya sekadar staf ahli Dirjen Postel.

 

Keanggotaan BRTI juga masih ada unsur pemerintahnya, sehingga untuk mencapai independensi, terutama dari kepentingan politik sekali pun, masih sangat jauh.

 

Pada BRTI periode 2009-2011, menurut Kamilov, BRTI gagal menyelesaikan persoalan regulasi mengenai QoS (quality of service) karena nyatanya pelanggan banyak yang kecewa dengan layanan operator yang memprihatinkan, baik layanan data maupun suara.

 

“Akses data bahkan di kota besar sekalipun sangat lambat, bahkan tidak jarang putus di tengah jalan. Ini sangat merugikan dan mengecewakan,” tegasnya.

 

Ada lagi persoalan sistem kliring trafik telekomunikasi (SKTT) yang hingga kini tak ada gemanya sama sekali pada periode BRTI tahun lalu.

 

Kasus SKTT merupakan satu contoh nyata betapa lemahnya regulator menghadapi tekanan operator besar, selain penetapan tarif interkoneksi yang penurunannya hampir tak terasa karena saking kecilnya.

 

Tak diam sampai disitu, keputusan regulator juga sering berbenturan dengan kepentingan politis pemerintah, seperti kasus satelit misalnya, di mana angkasa Indonesia yang dicabik-cabik dan puluhan satelit asing beroperasi tanpa bayar BHP di mana BRTI tak bisa berbuat apa-apa.

 

Kasus lainnya adalah obral lisensi tanpa melihat kebutuhan konsumen secara keseluruhan. Lisensi SLJJ, SLI, dan seluler di obral seperti jualan kacang goreng. Apa lagi masalah alokasi penggunaan frekuensi sekaligus penentuan teknologi di dalamnya.

 

Kamilov juga menilai BRTI tak punya daya melawan kehendak pemerintah untuk menggunakan teknologi A, dan besoknya diubah jadi teknologi B. Apalagi di kasus WiMax, dimana domain dipegang seluruhnya oleh pemerintah tanpa sedikit pun BRTI bisa ikut campur di dalamnya.

 

Wi Max yang katanya bertujuan mengembangkan vendor lokal justru berbalik arah setelah dua tahun pengumuman hasil tendernya. Sangat kentara sekali kalau BRTI tak independen dari pemerintah dan vendor.

 

Dalam kasus pemberian seluler dan SLI baru juga layak dipertanyakan, termasuk pelarangan SMS gratis yang penuh dengan nuansa kepentingan operator tertentu.

 

Dari periode ke periode, kualitas BRTI juga seakan makin menurun. Bertambahnya anggota bukannya lembaga tersebut makin solid, tetapi malah makin kurang lincah bergerak, karena banyak anggota dengan kepentingan masing-masing di dalamnya.

 

Kredibilitas anggota BRTI periode 2009-2011 yang diragukan Sekjen Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiadi juga bisa jadi catatan tersendiri.

 

“Susunannya bila dilihat dari representasi dan keahlian sih sudah memenuhi harapan, hanya personalianya saja yang belum, karena ada anggota yang suka ngobyek, jarang hadir, ada yang pernyataannya spekulatif, ada yang tak paham masalah, dan ada yang diragukan kompetensinya,” ujarnya.

 

Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo Gatot S. Dewa Broto sangat menghargai pendapat sejumlah pihak terkait keanggotaan BRTI.

 

“Saya kira hak mereka untuk memberikan penilaian. Ini siapapun yang akan terpilih kan belum ditetapkan definitif. Kita lihat saja perkembangannya nanti.”(api)

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper