Nanda Widya : Banyak obsesi makin menderita

News Editor
Kamis, 17 November 2011 | 11:00 WIB
Bagikan

Bagi Presiden Direktur PT Metropolitan Land Tbk Nanda Widya, poin penting dalam bekerja dan hidup adalah berpikir positif. Seorang pemimpin, katanya, harus selalu berpikir positif sehingga dapat memandang setiap masalah dengan bijak.

 

Kepada Bisnis, dia menjelaskan tentang falsafah hidupnya itu serta pengalamannya saat mempertahankan perusahaan yang nyaris kolaps saat krisis ekonomi 1998 hingga menjadi korporasi yang ekspansif sekarang, termasuk bagaimana kiatnya menghadapi tender proyek yang sering kali bernuansa kolusi. Berikut petikan wawancaranya:

 

Bagaimanakah perjalanan dan pasang surut Metropolitan Land? 

Metland didirikan pada 16 Februari 1994. Kami berha dapan dengan gelombang terbesar saat krisis moneter pada 1998. Setelah itu, terjadi gelom bang krisis agak kecil pada 2008. Saat gelombang besar 1998, usia Metland masih sangat muda sekitar 4 tahun.

 

Saya sebelumnya bergabung dengan Metro politan Development [induk perusahaan] pada 1991 dan masuk di Metland pada 1994. Kami mendirikan Metland bekerja sama dengan Government of Singapore Investment Corporation Private Limited [GIC] dan berkonsentrasi di bidang perumahan dan komersial.

 

Ketika terjadi gelombang krisis besar pada 1998, kami ternyata mampu survive.Tentu banyak cara yang tempuh seperti penyesuaian gaji. Sebagai contoh, pada saat itu Hotel Horisan di Bekasi yang kami kelola tingkat okupansinya hanya 28%. Akan tetapi, karena semua menggunakan operator lokal maka biaya operasi kami tidak begitu besar. Meski isian hotel hanya 28% kami bisa survive.

 

Metropolitan Mal yang kami miliki tetap bagus meski seluruh penjualan real estate-nya tinggal antara 0%-10%. Untuk survive, tidak ada pilihan, kami juga melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sejumlah pegawai.

 

Sedangkan pada krisis 2008, gelombangnya relatif kecil karena dampak terbesar bukan di Asia. Beda dengan 1998 yang dampaknya memang langsung ke Asia seperti Thailand, Malaysia, Korea.Namun Thailand lebih cepat pulih dibandingkan Indonesia. Indonesia paling lama. Oleh karena itu Metland baru dapat bernapas lega pada 2004, sebelumnya pada 1998-2004 tidak banyak yang dapat kami lakukan.

 

Untuk menghadapi krisis 1998, yang kami lakukan adalah bekerja bersama-sama dengan seluruh orang-orang yang ada di Metland maupun Metropolitan Group. Kalau ditangani sendirian saya kira tidak sanggup. Jadi semua bersedia untuk ikut menanggung bersama-sama, itu kebijakan yang paling penting.

 

Kalau perusahaan perlu modal opsi apa yang ditempuh?

 

Prioritas utama Metland jika membutuhkan modal sejauh ini masih pa da kredit bank karena bunganya se karang relatif rendah. Rencana kebutuhan modal tergantung pada proyek. BI Rate sedang turun menjadi 6% sehingga bunga bank akan lebih kompetitif.

 

Metland memiliki rasio utang terhadap aset hanya 0,25%. Kami juga pu nya pilihan rights issue dan menerbitkan obligasi, akan tetapi kredit bank merupakan opsi yang paling reasonal.

 

Apa aksi korporasi berikutnya?

 

Sekarang kami sedang mengembangkan real estate di enam lokasi. Kami berencana masuk ke beberapa daerah untuk mengembangkan hotel dengan branding @home seperti di Surabaya, Medan, Banjarmasin dan Balikpapan. Sekarang inilah peluangnya. Kami juga sedang membangun mal baru di Bekasi yang mana di lo kasi itu akan dibangun apartemen dan perkantoran.

 

Tim kami juga baru pulang dari Surabaya dan berencana membangun Hotel Horison atau @home, karena saya melihat bisnis hotel di Indonesia ini masih prospektif mengingat Indo nesia merupakan negara kepulauan sehingga travellingnya juga luar biasa. Untuk itu kebutuhan dana internal mencapai Rp1 triliun.

 

Apa keputusan yang monumental?

 

Keputusan IPO, saya kira salah satu keputusan penting. IPO perlu dilakukan perusahaan untuk mempercepat pertumbuhan. Akan tetapi, itu bukan keputusan monumental. Yang paling monumental adalah ketika kami kerja sama dengan pihak luar negeri. Kami memutuskan berpartner dengan GIC Singapura, pada 1996. Ini adalah in ves tor kelas dunia yang masuk lima besar.

 

Pernahkah Anda menghadapi situasi sulit dan dilematis?

 

Yang paling dilematis dan sulit adalah kondisi pada 1998, terutama saat bicara dengan karyawan. Sebab, mereka tentu berharap tidak ada PHK. Waktu kami ngomong kondisi krisis dan perusahan tidak boleh kolaps maka solusinya adalah menurunkan tingkat gaji. Akhirnya, kami sepakat untuk menurunkan gaji dan menanggungnya bersama-sama agar bisa survive.

 

Apakah Anda pernah membuat keputusan yang salah? 

Kalau buat kesalahan sih sering. Begini, kami tidak bisa bilang secara detail karena memang banyak. Problemnya, pada saat kami putuskan sekarang, hal itu merupakan keputusan yang betul. Yang penting adalah pada saat kami putuskan itu betul. Besok atau 1 jam kemudian bisa saja ternyata keputusan itu salah.

 

Contoh gampang sebelum krisis, kami mempunyai utang dalam rupiah yang dikonversi ke dolar AS. Ketika itu, putusan tersebut betul karena bunganya rendah. Akan tetapi pada saat krisis terjadi, keputusan tadi menjadi salah. Sebuah keputusan bisa menjadi salah karena beda waktu.

 

Jadi, kalau sudah diputuskan begini ya ndak apa-apa kalau nanti ternyata itu salah. Yang penting pada saat diputuskan harus berorientasi pada hasil yang terbaik. Bahkan ternyata hasilnya tidak baik, itu urusan kedua. Jadi, memutuskan itu butuh keberanian.

 

Kadang-kadang putusan untuk tidak memutuskan pun merupakan sebuah keputusan juga, yaitu memutuskan untuk tidak diputuskan. Akan tetapi pada saat memutuskan itu harus kita pikirkan yang terbaik pada saat itu.

 

Bagaimana sikap Anda jika ada karyawan yang menentang kebijakan perusahaan? 

Menentang dalam hal policy sih relatif tidak ada. Kalau menentang pun karyawan tidak akan frontal. Sebab, kalau memang sudah tidak cocok dengan kebijakan perusahaan, mereka boleh saja mengundurkan diri. Untuk itu, biasanya setiap kebijakan kami sosialisasikan terlebih dahulu agar persepsinya sama.

 

Namun, kami tetap membuka peluang untuk beda pendapat. Jadi, kalau ada yang menentang, silakan saja tidak apaapa. Opini mereka akan dimasukkan pada tahun depan, tetapi tidak tahun ini supaya tidak mengganggu kinerja.

 

Anda merasa sukses sekarang? 

Saya merasa belum sukses. Ini masih proses. Saya masuk Metropolitan pada 1981. Banyak guru-guru saya seperti Pak Ciputra, Pak Budi Brasali (alm), Pak Budiman Sofyan, dan Pak Sedja Bagja.

 

Bagaimana Anda mempersiapkan kaderisasi kepemimpinan? 

Kaderisasi sudah dilakukan. Di bawah saya ada enam hingga tujuh orang yang siap menggantikan karena saya suatu saat pasti pensiun. Di sini ada jenjang karier yang cukup baik. Metland rekrut banyak pegawai yang baru lulus kuliah. Kami berharap dalam 15 tahun kemudian mereka sudah berada di posisi direksi. Kami membina dengan ilmu yang diperlukan. Ilmunya adalah real estate.

 

Soal pensiun, apakah Anda sudah mempersiapkannya? 

Ya, batas usianya kan 60 tahun. Lebih baik siap sekarang supaya ketika pensiun lebih aman karena untuk Metland ada budaya regenerasi. Namun, di luar Metland saya berharap bisa mengembangkan hotel yang dioperasikan oleh MGM yang tentunya butuh penanganan juga. Selain itu, saya juga bisa mengerjakan bisnis lain yang bisa dikembangkan.

 

Bagaimana Anda mempersepsikan pelanggan dan pesaing ? 

Kami melihat pelanggan dari berbagai sudut pandang. Kalau dari sudat pandang perumahan, tentu beda dengan hotel dan mal. Pada konsumen perumahan yang diprioritaskan adalah bagaimana konsumen mendapatkan lingkungan yang baik dan kualitas rumah yang tinggi. Kami selalu mengejar kualitas. Ini untuk konsumen perumahan. Kualitas harus di atas rata-rata.

 

Untuk hotel, sentuhannya harus terasa sejak konsumen masuk hotel. Harus terasa seperti rumah sendiri dan dilayani dengan baik. Saat pelanggan masuk pasti dikasih senyum.

 

Sementara untuk mal, yang penting adalah faktor keamanan. Jadi, kami memasang CCTV dan itu sangat berguna sekali.

 

Seperti apa model kepemimpinan Anda? 

Ada beberapa poin penting yaitu pertama semua orang harus berpikir positif karena semua hal bisa dilihat positif dan negatif tergantung cara melihatnya. Bagi saya, melihat setiap kejadian harus dari sisi positif. Ini menjadi nilai poin penting. Pemimpin itu harus berpikir positif. Kalau pemimpin negative thinking , maka semua akan terlihat jeleknya saja.

 

Kedua, saya punya beberapa prinsip bahwa semangat itu adalah hal paling penting. Setelah itu, dia harus kerja keras, optimistis dan pantang menyerah. Pemimpin yang pantang menyerah memiliki kekuatan untuk bangun dari kejatuhan. Sukses orang diukur dari bagaimana jatuh dan bagaimana bangunnya, seperti bayi yang belajar jalan kan ratusan kali terjatuh sampai akhirnya bisa jalan. Poin yang kedua ini kami terjemahkan dalam corporate culture. Ini harus masuk dalam alam bawah sadar.

 

Bagaimana sikap Anda jika menghadapi tender proyek yang bernuansa korupsi? 

Ini memang susah-susah gampang, karena iklim di sini tidak mendukung untuk bersih 100%. Mungkin banyak orang yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), akan tetapi yang paling penting adalah kami dan seluruh karyawan Metland jangan melakukannya. Kami harap perusahaan lain juga seperti itu. Dengan demikian, semoga suatu saat nanti Indonesia bebas dari KKN.

 

Cita-cinta saat masih kecil? 

Sejak dulu, cita-cita saya cukup menjadi orang baik saja. Soalnya menjadi orang baik itu tidak gampang. Menjadi orang baik adalah obsesi pribadi saya.

 

Tokoh idola Anda? 

Saya tidak punya tokoh idola. Kalau ada yang bertanya, jawabannya adalah orangtua. Akan tetapi itu sekadar jawaban basa basi karena mau tidak mau orangtua itu pasti akan menjadi rujukan kita.

 

Soal kesehatan bagaimana? 

Saya melakukan Wai Tan Kung secara rutin sejak 1985 sampai saat ini. Wai Tan Kung menurut saya bagus untuk badan.

 

Obsesi yang belum tercapai? 

Ada dua obsesi, terkait dengan perusahaan dan pribadi. Kalau di perusahaan, saya punya banyak obsesi. Obsesi di perusahaan itu harus diobsesikan oleh seluruh orang yang ada di situ. Obsesi yang kami punya harus diterjemahkan supaya orang di perusahaan itu punya obsesi yang sama. Itu diterjemahkan menjadi visi. Kalau obsesi sendiri saja dan tidak diterjemahkan ke bawah ya tidak ada gunanya.

 

Obsesi saya terkait dengan perusahaan yakni dalam 5 tahun ke depan harus memiliki 50 hotel. Kalau obsesi pribadi, semakin banyak obsesi ya semakin menderita. Orang yang semakin memiliki banyak keinginan pribadi itu patut dikasihani karena dia akan semakin menderita...ha ha ha.

 

*Untuk membaca berita lainnya, silahkan kunjungi http://epaper.bisnis.com atau klik epaper Bisnis Indonesia jika Anda ingin berlangganan koran Bisnis Indonesia edisi digital.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : News Editor
Editor : Sitta Husein
Sumber : Siti Nuraisyah Dewi & M. Munir Haikal
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper