Author

M. Rivan Aulia Tanjung

Wakil Ketua Bidang Pengembangan Keanggotaan dan Perhumas Muda, Badan Pengurus Pusat Perhumas

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Literasi Digital: Pertahanan Nasional Baru Era Post-Truth

M. Rivan Aulia Tanjung
Rabu, 18 Juni 2025 | 08:35 WIB
Cloud computing dan internet of things/ilustrasi
Cloud computing dan internet of things/ilustrasi
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Saat ini, kekuatan sebuah bangsa tidak lagi hanya di­­­ukur dari jum­­­lah pasukan atau teknologi per­­­­­­­senjataannya, melain­kan dari daya tahan ma­­sya­­­rakatnya dalam menghadapi gelombang informasi yang masif, cepat, dan tak selalu benar. Literasi digital kini tak ubahnya benteng pertahanan nasional—bukan tambahan, tetapi keharusan.

Kini, kita hidup dalam era post-truth, di mana opini sering kali mengalahkan fakta, dan algoritma media sosial menciptakan gelembung informasi yang memperkuat prasangka, bukan pemahaman. Dunia maya menjadi ladang pertempuran narasi benar dan narasi “meyakinkan”.

Era post-truth menjadi lahan subur bagi kemunculan dis-informasi. Fenomena ini merupakan sebuah ancaman global yang memiliki dampak di skala lokal. Menurut Kementerian Komunikasi dan Digital, sepanjang tahun 2024, setidaknya lebih dari 1.900 konten hoaks tersebar di ruang publik, baik media massa maupun digital Indonesia, mulai dari penipuan, isu kesehatan, politik, hingga agama.

Di sisi lain, laporan Digital News Report 2023 dari Reuters Institute menunjukkan bahwa hanya 39% masyarakat Indonesia yang percaya pada berita yang mereka konsumsi—angka yang menunjukkan krisis kepercayaan.

Jika tidak ditangani serius, kondisi ini berpotensi menciptakan masyarakat yang mudah terprovokasi, kehilangan arah informasi, dan pada akhirnya menurunkan daya tahan bangsa terhadap manipulasi opini, baik dari dalam maupun luar negeri.

Teori komunikasi klasik dari Harold Lasswell mengajarkan kita untuk selalu bertanya: “Who says what, in which channel, to whom, with what effect?”. Namun, di era digital, pertanyaannya harus diperluas: “Bagaimana pesan dipersepsi, dibingkai, dan direproduksi oleh algoritma dan emosi?”

Di sinilah relevansi pemikiran Marshall McLuhan muncul: “The medium is the message.” Saluran digital bukan sekadar wadah, tapi ikut membentuk cara kita berpikir. Maka, literasi digital hari ini tak hanya soal mengetahui mana informasi yang menyesatkan, tapi memahami cara kerja media itu sendiri—dan dampaknya terhadap opini publik, kebijakan, dan lebih luas lagi; demokrasi.

Persoalan hari ini, komunikasi publik kita masih sering bersifat reaktif dan top-down. Banyak institusi masih menggunakan pendekatan “klarifikasi setelah viral,” bukan “edukasi sebelum gaduh.” Dalam kondisi ini, hubungan masyarakat (Public Relations/PR) perlu melakukan pergeseran paradigma dari pengendali citra menjadi fasilitator pemahaman atau edukator.

PERAN GENERASI MUDA

Di sisi lain, generasi muda sebagai mayoritas pengguna digital memainkan peran vital di era. Tapi sayangnya, kemampuan kritis mereka sering tidak tumbuh seiring dengan kemampuan teknisnya. Melihat hal ini, setidaknya ada tiga langkah konkret yang tidak hanya sekadar kampanye sesaat, tetapi strategi berkelanjutan dan terukur.

Pertama, membangun kurikulum literasi digital sejak dini. Literasi harus masuk ke dalam sistem pendidikan—bukan hanya dalam bentuk pelajaran TIK, tapi integrasi lintas mata pelajaran, mulai dari kemampuan verifikasi sumber, analisis media, hingga etika berkomunikasi digital.

Yang kedua, menekankan etika komunikasi bagi Institusi Publik dan Media. Pemerintah dan media harus menjadi teladan, bukan sekadar penyampai. Setiap narasi kebijakan publik harus diuji bukan hanya dari substansi, tapi juga implikasinya terhadap kohesi sosial dan persepsi publik. Etika bukan penghambat kecepatan, tapi penjaga kepercayaan.

Ketiga, pemerintah daerah, komunitas, dan sektor swasta harus bersinergi membangun ruang diskusi daring yang sehat, terverifikasi, dan melibatkan masyarakat. Forum warga digital, pelatihan fact-check­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­ing berbasis komunitas, hingga kampanye edukatif yang partisipatif bisa menjadi cara untuk memperkuat ketahanan informasi dari bawah.

Negara yang kuat bukan hanya yang memiliki senjata paling canggih, tapi yang memiliki rakyat paling kritis, paling sadar, dan paling tahan terhadap manipulasi. Literasi digital bukan urusan Kementerian saja, tapi urusan semua elemen bangsa. Dan jika kita benar-benar ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045, maka membangun komunikasi publik yang cerdas dan etis harus menjadi prioritas, karena di masa depan, perang terbesar bukan antar negara, tapi antara kebenaran dan informasi menyesatkan yang meyakinkan.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper