Bisnis.com, JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai alasan realisasi pajak digital, terutama yang dikenakan pada e-commerce jauh dari prediksi, disebabkan oleh transaksi yang mengalir ke luar negeri.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan tantangan tersebut adalah perusahaan digital yang tidak ada di Indonesia, adanya profit shifting, dan respons yang lambat dari pemerintah untuk menangkap peluang pergeseran ekonomi digital.
“Nah itu yang membuat potensi dengan realisasi penerimaan pajak digital perbedaannya sangat jauh gitu ya,” ujar Bhima kepada Bisnis, Selasa (23/1/2024).
Untuk diketahui, pemerintah gagal mengoptimalisasi potensi penerimaan pajak di sektor perdagangan elektronik dalam 4 tahun terakhir atau sejak pemerintah menetapkan PPN atas PPN PMSE atau e-commerce.
Pada tahun lalu pun realisasi penerimaan PPN PMSE hanya senilai hanya Rp6,76 triliun, sementara BI mencatat transaksi e-commerce pada tahun lalu menyentuh angka Rp453,75 triliun.
Dengan tarif PPN 11%, potensi penerimaan PPN PMSE tahun lalu tercatat mencapai Rp49,91 triliun. Artinya, ada potensi pajak yang tidak terpungut mencapai Rp43,15 triliun.
Bhima menjelaskan penyebab pertama pajak digital rendah karena perusahaan digital yang tidak ada di Indonesia. Bhima mengatakan hal tersebut yang membuat kepatuhan pajak dari para perusahaan masih diragukan.
Diketahui, masih banyak Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang belum membuka kantor cabang di Indonesia, seperti Meta, Google, Netflix, Twitter (X), dan lain-lain. Selain itu, PMSE yang belum berbadan Indonesia ada e-commerce Amazon dan Alibaba.
Kemudian, Bhima mengatakan alasan selanjutnya adalah profit shifting. Menurutnya, hal ini terjadi jika memang platform digitalnya beroperasi di Indonesia, tetapi transaksi dilakukan kepada induk usaha yang berada di luar negeri.
Kata Bhima, hal ini biasanya dilakukan untuk mencari negara dengan pajak yang lebih murah.
“Begitu transaksi mereka langsung transfer pendapatannya ke induk usaha yang ada di luar negeri atau di negara-negara yang menerapkan tingkat pajak yang lebih rendah, misalnya di Singapura, itu yang membuat potensi pajaknya, jadi sulit ya,” ujar Bhima.
Namun, Bhima mengatakan sebenarnya Indonesia dapat mengatasi ini, karena banyak negara sudah mengeluhkan hal yang sama, sehingga sudah diatur dalam regulasi OECD.
“Jadi kalau dia economic presence-nya, kehadiran kepentingan ekonominya dirasakan di Indonesia, meskipun induknya ada di luar negeri, dia tetap harus dipajaki berdasarkan regulasi yang ada di Indonesia. Artinya harus bayar PPH, PPN, dan lain-lain,” ujar Bhima.
Lalu, alasan selanjutnya adalah respons yang lambat dari pemerintah untuk menangkap peluang pergeseran ekonomi digital. Menurut Bhima, saat ini perusahaan yang banyak dimintakan pajak adalah bisnis bersifat business to customer (B2C), seperti e-commerce, retail, food delivery, dan lain-lain.
Namun, menurut Bhima, dengan perkembangan teknologi saat ini, muncul banyak sektor yang berpotensi dikenakan pajak, seperti machine learning, blockchain, atau platform digital yang bersifat business to business.
“Inovasinya lebih cepat daripada kemampuan dari petugas pajak untuk mengidentifikasi potensi pajak digital yang berkembang,” ujar Bhima.
Padahal, Bhima mengatakan garda terdepan dari pajak digital adalah pemerintah. Alhasil, pemerintah harus lebih cepat menangkap peluang dan jangan sampai momen ini kembali terlewat.
Sebagai informasi, dikutip dari Antara, pada 2023 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah memperoleh Rp6,76 triliun dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE). Padahal, nilai transaksi perdagangan digital sepanjang 2023 mencapai Rp453,75 triliun.