John Riady Ungkap Transformasi Multipolar, Menuju Ekosistem Digital Nasional yang Kuat

MG Noviarizal Fernandez
Selasa, 14 September 2021 | 20:07 WIB
Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady sedang memberikan paparan di kantor redaksi Bisnis Indonesia, Selasa 19 Maret 2019./Bisnis-Arif Budisusilo
Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady sedang memberikan paparan di kantor redaksi Bisnis Indonesia, Selasa 19 Maret 2019./Bisnis-Arif Budisusilo
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA- Kemajuan teknologi informasi membawa perubahan signifikan terhadap gaya hidup masyarakat, memberi imbas disrupsi kepada semua lini ekonomi. Jumlah transaksi digital pun semakin meningkat, peluang tersebut harus bisa menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain penting ekonomi digital secara global.

Pemikiran tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady. Sejak lama, John dengan jeli melihat gelagat pertumbuhan dan efek dari perkembangan industri teknologi informasi. Ledakan digital ini akan membawa dampak besar bagi lanskap perekonomian nasional maupun global.

Karena itu, sejak sewindu lalu, John Riady melalui Multipolar ikut menceburkan diri ke dalam gelombang ekonomi digital. Seperti diketahui, keluarga Mochtar Riady dari Grup Lippo, melalui PT Inti Anugrah Pratama (IAP) memborong sebanyak 1 juta saham PT Multipolar Tbk (MLPL) atau setara 0,007% saham perseroan. MLPL juga menjadi holding dari beberapa perusahaan Grup Lippo. IAP adalah pemegang saham pengendali.

John menjadi investor di banyak perusahaan rintisan yang kini semakin berkibar seperti Ruangguru, Zillingo, Sociola, bahkan Grab. Kejelian John terbukti benar. Kini, berbagai lembaga riset dan lembaga pemerintahan pun memproyeksikan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia akan meningkat berlipat dalam beberapa tahun ke depan. Saat ini, total transaksi digital yang terutama disumbang dari sektor e-commerce telah mencapai sekitar Rp1.600 triliun.

Pertumbuhan signifikan itu semakin dipicu dengan adanya pandemi Covid-19 yang memaksa segala macam aktivitas dilakukan secara digital. Ke depan, pertumbuhan semakin besar ditopang jumlah populasi serta penguatan infrastruktur digital yang dilakukan pemerintah. 

Pada fase ini, Indonesia memiliki potensi tidak sekadar menjadi sasaran pasar dari perusahaan teknologi asing. Padahal, Indonesia mempunyai basis kuat untuk merintis perusahaan teknologi yang menjawab kebutuhan domestik, serta kemampuan kolaborasi meliputi investasi ataupun strategi pengembangan.

“Kalau dulu tujuh tahun lalu, jumlah dari valuasi semua perusahaan teknologi di tanah air ini mencapai US$60 juta, sekarang itu US$60 miliar, naik 1000 kali lipat. Kami dulu di awal sekali investasi di Grab hanya US$50.000.” jelas John Riady dalam diskusi webinar yang bertajuk Investing In The Future Of Indonesia: Technology & Consumer, akhir pekan lalu.

John yang kini menjabat pucuk pimpinan Lippo Group pun menerapkan strategi digital. Dirinya telah merintis jalan tersebut sebagai pribadi hingga mendapat kepercayaan dari sang pendiri Mochtar Riady dan sang ayah James Riady untuk memulai transformasi bisnis secara grup.

Kini, strategi itupun dilakukan Lippo Group melalui PT Multipolar Tbk. (MLPL) yang sebelumnya menjalankan bisnis di sektor teknologi dan ritel. Di tangan John, Multipolar mengadopsi bisnis digital dengan melakukan investasi kepada sekitar 40 perusahaan teknologi. “Sejak 4 tahun ini kami melakukan reposisi,” tegas John.

John menilai kemajuan ekonomi digital di Indonesia masih dalam tahap permulaan. Secara valuasi, John bahkan berkeyakinan seluruh perusahaan teknologi itu harusnya mampu menyentuh angka Rp3.000 triliun dari saat ini sekitar Rp1.000 triliun.

“Kalau merujuk perkembangan teknologi yang besar seperti di China, kelahiran raksasa teknologi Alibaba dan Tencent itu memunculkan reinvestasi, sehingga kini bertumbuh pesat. Indonesia juga akan mengarah ke arah tren tersebut,” ujarnya.

Dengan mengandalkan kendaraan investasi Venture Capital di bawah MLPL, John menerapkan empat strategi yang bisa memberikan nilai lebih terhadap Lippo Group. Pertama, investasi dilakukan sejak awal perusahaan teknologi dibentuk dan membutuhkan pertolongan modal. “Dalam tahap ini, kami ingin sama-sama belajar, mengenal secara dalam para perancang teknologi tersebut,” kata John.

Kedua, strategi investasi terhadap perusahaan-perusahaan yang telah mapan dan besar, terutama entitas perusahaan terbuka atau pre-IPO. “Perusahaan ini seperti Bukalapak, Tokopedia, Gojek, karena mereka mendominasi pasar,” jelas John.

Sedangkan strategi ketiga yakni berperan sebagai mitra lokal strategis para perusahaan raksasa digital dari luar. Untuk yang satu ini, John telah terbukti dengan mengembangkan OVO sebagai alat pembayaran digital bersama Grab. Strategi keempat yaitu membangun networking dengan perusahaan-perusahaan digital. Seperti kerja sama sukses antara Tokopedia dengan jaringan ritel Matahari.

Pada lain sisi, transformasi Multipolar diikuti dengan rancangan pendanaan yang cukup kuat. John mengandalkan sumber investasi dari profit dan dividen dari internal MLPL. “Jadi bagi investor Multipolar, kami selalu terbuka dan berkomitmen memajukan perusahaan di tengah era digital,” kata John.

LANSKAP BISNIS DIGITAL

Lebih jauh, John mengungkapkan bahwa lanskap bisnis era digital tidak bisa dilakukan secara fragmentasi maupun parsial. Kemunculan perusahaan teknologi pun masih membutuhkan infrastruktur bisnis konvensional. “Inilah mengapa Alibaba membeli Department Store atau di sini Tokopedia bermitra dengan MPPA,” ungkap John.

Sedangkan kemunculan superapps dalam bisnis digital merupakan sebuah keniscayaan. Berbeda dengan perkembangan di Amerika Serikat, di mana tidak satupun raksasa teknologi di sana mencapai tingkat yang mendominasi secara ekstrim seperti WeChat di China.

“Di sana ada dua, Alibaba atau Tencent, semua mengikuti dua gajah tersebut, ada yang beruntung mendapatkan pendanaan dan kerja sama dari keduanya juga,” kata John.

Sedangkan untuk Indonesia, John menilai tidak lepas dari tiga kubu besar yakni Gojek (GoTo), Grab, dan Shopee. Namun pada prakteknya, MLPL ingin dan mampu berkolaborasi dengan semua grup bisnis digital tersebut.

“Kalau dari sisi operasional, selayaknya menerapkan omnichannel yang mengawinkan layanan digital dan fisik, karena biar bagaimanapun transaksi belanja misalnya, sekitar 60% dilakukan offline. Sedangkan untuk model pengembangan, yang terbaik adalah kolaborasi untuk membangun ekosistem yang kuat,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Editor : Kahfi
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper