Bisnis.com, JAKARTA – “Harga [kuota] internet saja masih mahal, kok sudah mau ke 5G?” ujar Cesar, wartawan salah satu media nasional, yang menilai bahwa Indonesia sebenarnya belum membutuhkan jaringan 5G dalam waktu dekat.
Hal tersebut mengingatkan kejadian di Nunukan, Kalimantan Utara yang dialami penulis, Cesar, dan tiga reporter media lokal lain dua tahun lalu. Waktu itu, kami terpaksa bermalam di Nunukan karena ketinggalan rombongan pesawat Kementerian Komunikasi dan Informatika yang meninjau jaringan internet di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
Kami kaget bukan main, karena baru kali pertama ini membeli kuota internet 1GB seharga Rp120.000. Padahal di Pulau Jawa, dengan Rp120.000 kami sudah dapat membeli paket data Telkomsel sebesar 12GB lebih. Bahkan, kami bisa mendapat puluhan GB jika dibelikan untuk kuota data provider lain seperti XL dan Indosat.
Usut punya usut, mahalnya harga kuota internet di sana karena kekosongan infrastruktur telekomunikasi atau jaringan konektivitas serat optik. Akses internet hanya diperoleh dari satelit, dengan kecepatan seadanya, latensi tinggi dan harga selangit. Padahal, masyarakat di sana sangat berharap dengan kehadiran internet.
Keberadaan kami di sana waktu itu dalam rangka mengikuti kegiatan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) periode 2014-2019, Rudiantara. Di sana, Kemenkominfo dan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) memperlihatkan kepada awak media bagaimana jaringan internet membantu dalam proses belajar mengajar di Nunukan.
Video yang memperlihatkan interaksi antara pengajar yang tinggal di Jakarta dengan pelajar sekolah dasar di Desa Krayan, Nunukan itu jadi kurang sempurna karena masih ada waktu tunda (time delay) dan bufferring.
Aktivitas ini menandakan bahwa konektivitas telekomunikasi yang dibangun oleh Bakti, bekerja sama dengan penyelenggara infrastruktur telekomunikasi, berhasil memangkas kesenjangan pendidikan. Hasilnya, warga yang tinggal di daerah perbatasan dapat merasakan kualitas pembelajaran seperti pelajar yang tinggal di Pulau Jawa.
Infrastruktur telekomunikasi membantu transformasi digital di dunia pendidikan, di mana tenaga pengajar bersama materi pelajaran tidak perlu dikirim jauh-jauh dari Jakarta ke daerah perbatasan, yang notabene butuh biaya besar dan waktu lama.
Tidak berhenti sampai di sana, pada November 2020, Bakti bekerja sama dengan penyedia jasa internet menghadirkan internet cepat di Rumah Sakit Apung (RSA) Nusa Waluya II dan RSA dr. Lie Dharmawan. Kedua RSA tersebut merupakan fasilitas kesehatan yang terdapat di 3T.
Dukungan akses internet untuk RSA tersebut memudahkan tenaga kesehatan untuk mengaplikasi sistem manajemen rumah sakit berbasis IT guna mendukung efektivitas dan efisiensi di lapangan dan membantu berkomunikasi dengan kolega dokter yang lain dalam melakukan intervensi medis.
“Dengan bantuan yang diberikan semoga pelayanan kesehatan yang dilakukan di RSA Nusa Waluya II & RSA dr. Lie Dharmawan menjadi lebih baik dan cepat,” kata Direktur Utama Bakti Anang Latif.
Saat ini, jumlah faskes yang telah difasilitasi akses internet Bakti, khususnya di wilayah 3T serta perbatasan sejak 2015, mencapai 1.986 lokasi dan 1.927 di antaranya terdiri dari rumah sakit dan puskesmas.
Jalan Terjal
Dari dua kasus tersebut, sebenarnya dapat disimpulkan jargon trasformasi digital baru akan terjadi setelah infrastruktur telekomunikasi hadir. Hanya saja, untuk membangun infrastruktur telekomunikasi tidak semudah membalikan telapak tangan. Butuh banyak dukungan dari berbagai pihak.
Dalam acara diskusi virtual Forum Media Sila BAKTI Kominfo, yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, Direktur Marketing and Solution Lintasarta Ginandjar menceritakan sekurangnya terdapat empat dukungan yang harus didapat oleh penyelenggara jaringan untuk membangun infrastruktur digital nasional.
Keempat dukungan itu, antara lain kehadiran sarana pendukung seperti ketersediaan listrik, BBM maupun akses jalan, dukungan industri yang menyokong perangkat, dukungan dunia akademisi yang melahirkan taleta digital berbakat di daerah-daerah, dan terakhir peran pemerintah yang menyusun peta jalan dan rencana pengimplementasiannya.
“Khususnya untuk menjangkau daerah-daerah seperti kecamatan dan desa yang sangat pelosok,” kata Ginandjar.
Sementara itu, Direktur Sumber Daya dan Administrasi Bakti Fadhilah Mathar mengatakan Bakti untuk mencapai misi percepatan transformasi digital membutuhkan lima lapisan kerangka kerja. Infrastruktur telekomunikasi hanyalah salah satu dari lima kerangka tersebut.
Saat ini, kata Fadhilah dari total 83.218 desa atau kelurahan di Indonesia masih terdapat 12.548 yang belum mendapatkan akses 4G. Dari jumlah tersebut sebanyak 9.113 desa atau kelurahan berada di kawasan 3T yang merupakan ranah Bakti untuk membangun, sementara itu 3.435 desa sisanya berada di luar 3T dan menjadi ranah operator seluler.
Seluruh pembangunan itu ditargetkan rampung pada 2022 atau 10 tahun lebih cepat dari waktu yang seharusnya kalau kata Menteri Komunikasi dan Informatikan 2020–2024, Johnny G. Plate.
Tentu membangun saja tidak cukup, namun juga harus merawatnya, terlebih di daerah-daerah Timur Indonesia seperti Papua, kerap terjadi perusakan jaringan infrastruktur telekomunikasi seperti base transceiver station (BTS) dan menara.
PT Palapa Timur Telematika, badan usaha yang membangun Palapa Ring Timur, mengungkapkan sejak Januari2019 hingga saat ini Januari 2021, telah terjadi 174 kasus vandalisme yang terjadi di proyek strategis nasional (PSN) Palapa Ring Timur.
Dari jumlah tersebut, mayoritas masuk dalam kategori sedang – seperti pemotongan kabel serat optik – dan kategori ringan seperti ancaman. Perbaikan dan pemulihan untuk kategori sedang membutuhkan waktu sekitar 1 bulan.
Adapun untuk aksi vandalisme kategori berat -berupa pembakaran perangkat hingga penebangan menara telekomunikasi – terdapat empat kasus dengan masa perbaikan mencapai sekitar 3–6 bulan.
“Kerugian bisa bersumber dari aset yang dirusak, bertambahnya beban dan modal untuk bangun kembali, dan kehilangan pendapatan. Secara detail masih dilihat, kasat mata bisa mencapai ratusan miliar,” kata Direktur Operasional Palapa Timur Telematika Eddy Siahaan.
Atas dasar keamanan dan akses yang sulit itu mungkin penyelenggara jaringan malas bangun infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T dan non-3T. Penyelenggara jaringan juga berhitung tentang daya beli masyarakat dan investasi yang digelontorkan.
Jumlah penyelenggara jaringan yang hadir di desa-desa pun sedikit, persaingan tidak terjadi. Alhasil, lahirlah harga internet selangit di tengah cita-cita Presiden Joko Widodo menghadirkan percepatan digitalisasi.
Ada dua cara untuk mengatasinya yaitu memberi insentif yang memudahkan operator membangun infrastruktur telekomunikasi di 3T dan non-3T atau mewajibkan penyelenggara jaringan untuk membangun, mengingat lisensi yang mereka pegang bersifat nasional.
Cara apapun yang diambil, intinya jika infrastruktur telah terbangun maka ekosistem digital akan terbentuk, operator seluler masuk, layanan membaik dan tentu tarifnya lebih ‘membumi’.
Penulis masih penasaran, harga kuota internet di Nunukan saat ini sudah turun atau belum. Bisa jadi malah semakin mahal karena tingkat kebutuhan masyarakat terhadap layanan digital meroket di era new normal. Boleh setuju, boleh tidak.