Bisnis.com, JAKARTA -- Putar waktu mundur satu tahun, kita masih mendapati orang-orang mendiskusikan disrupsi yang ditimbulkan oleh perkembangan ekonomi digital. Pandemi yang tengah berlangsung mengubah total pandangan tersebut. Teknologi yang awalnya menimbulkan berbagai disrupsi saat ini ditempatkan menjadi solusi bagi perekonomian di era pandemi.
Laporan Facebook dan Bain Company menunjukkan tahun ini di Asia Tenggara terdapat 310 juta konsumen digital, angka yang seharusnya baru dicapai 4 tahun lagi. Terungkap pula bahwa barang yang dikonsumsi oleh konsumen Indonesia meningkat 40% bila dibandingkan dengan 2019, sedangkan jumlah online shops yang dikunjungi meningkat 30%. Total, jumlah konsumen digital di Indonesia bertambah 35 juta dibandingkan dengan 2018.
Menariknya, untuk konteks Indonesia pertambahan konsumen digital selama masa pandemi sebagian besar berasal dari kota non-metropolitan. Berdasarkan riset dari Google, Temasek dan Bain & Company (2020), 56% dari tambahan konsumen digital berasal dari non-metro. Digital ekonomi Indonesia pada tahun ini diketahui melonjak tajam, tumbuh 11% dibandingkan dengan 2019 atau saat ini mencapai US$44 miliar. Pada 2025 diperkirakan tembus US$124 miliar.
Kebijakan PSBB memengaruhi pola konsumsi online masyarakat, di mana berdasarkan analisis Redseer pada April 2020, 69% dari konsumen menyatakan mengalami peningkatan konsumsi e-grocery, 41% mengalami peningkatan konsumsi e-health, dan 71% mengalami peningkatan konsumsi digital payment. Sebagaimana istilah ekonomi termahsyur ‘demand creates its own supply’, semakin banyak permintaan konsumen mendorong banyak orang untuk memasuki pasar untuk menjadi pengusaha.
Data dari IdEA (2020) menunjukkan pada periode 14 Mei—9 Juni 2020 tercatat ada 301.115 UMKM online baru. Betapa ekonomi digital dapat menjadi solusi di masa pandemi. Dunia menyambut 2021 dengan berbagai harapan, dari teratasinya pandemi hingga bangkitnya perekonomian dari resesi. Untuk menopang perekonomian, ekonomi digital akan berperan sentral. Ada dua peran pentingnya pada 2021.
Pertama, sebagai enablers transaksi. Untuk membangkitkan ekonomi dan transaksi dalam pasar, yang pada awalnya terhambat pandemi, perlu ditingkatkan. Ketika proses transaksi di pasar terhambat oleh minimnya mobilitas akibat pandemi, digitalisasi menjadi solusinya.
Berdasarkan riset Nielsen (2019), total belanja online masyarakat Indonesia Rp9,1 triliun, meningkat Rp2,1 triliun dibandingkan dengan 2018. Hal ini ditopang dengan semakin banyaknya produk lokal yang beredar pada e-commerce. Riset Nielsen memperkirakan terdapat Rp4,6 triliun dari total belanja online tersebut merupakan produk Indonesia.
Perkembangan pembayaran digital ini turut diikuti dengan cepatnya proses adaptasi masyarakat. Pada awal 2017, salah satu marketplace terbesar Indonesia mengeluarkan data di mana 57% dari pembayaran e-commerce masih dilakukan dengan transfer bank dan 28% dilakukan secara cash on delivery. Kedua metode pembayaran tersebut masih sangat manual, sehingga akhirnya menyebabkan high cancelation rate. Maju kurang lebih 3 tahun setelahnya, pola pembayaran transaksi telah berubah signifikan.
Kedua, mendorong ekspansi. Untuk mempercepat pemulihan ekonomi, ekspansi pasar mutlak diperlukan. Teknologi digital dapat membantu pelaku usaha untuk memperluas pasarnya hingga luar batas wilayah. Berdasarkan analisis AMTC (2018), digitalisasi dapat menghemat biaya ekspor UMKM di India, China, Korea Selatan, dan Thailand hingga sebesar US$339 miliar.
Peran ekonomi digital tersebut tentu perlu diimbangi dengan kebijakan yang tepat. Pertama, dari aspek kebijakan bidang perdagangan melalui sistem elektronik. Aturan perdagangan melalui sistem elektronik di Indonesia masih belum memperhatikan variasi model bisnis setiap e-commerce yang ada. Akibatnya, terjadi potensi mismatch antara kewajiban dan model bisnis yang dapat menyebabkan ketidapastian berusaha.
Berdasarkan kajian kami tahun ini, untuk e-commerce dengan model bisnis classified ads/s-Commerce (iklan baris), hanya 7 dari 20 kewajiban yang dapat dijalankan penuh. Untuk e-commerce dengan bisnis model marketplace, hanya 13 dari 20 kewajiban yang dapat dijalankan.
Kajian menunjukkan bahwa PP 80/2019 membebankan kewajiban yang dikenakan kepada Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik secara tidak proporsional dan tidak dapat diimplementasikan, karena tidak sesuai model bisnisnya. Alhasil perlu direvisi.
Kedua, kebijakan perlindungan data pribadi. Regulasi terkait data pribadi memegang peran penting dalam pengembangan ekonomi digital pada 2021. RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) sedang disusun. Perlu menjadi catatan bahwa aturan perlindungan data pribadi ketika tidak disusun secara optimal berpotensi berimplikasi negatif terhadap perekonomian. Misalnya, RUU PDP menjadikan data agregat, terenkripsi, dan pseudonim sebagai data pribadi, sehingga berpotensi mengurangi kemampuan analisis dari sebuah data.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (3/12/2020)