Batas Aman Mabuk Teknologi

Inria Zulfikar
Minggu, 27 September 2020 | 20:28 WIB
Warga lanjut usia (lansia) mengikuti pelatihan penggunaan teknologi komputer dan internet sehat di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (12/4)./Antara-Moch Asim
Warga lanjut usia (lansia) mengikuti pelatihan penggunaan teknologi komputer dan internet sehat di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (12/4)./Antara-Moch Asim
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Seberapa besar berkah pandemi Covid-19 terhadap dunia teknologi maya? Dan apakah mungkin bila orang justru menjauh, katakanlah, dari internet di era pagebluk saat ini?

Tak usah jauh-jauh. Jakarta sekarang memasuki PSBB jilid II lanjutan dari yang sudah berlanjut sekian lama dan terus berlanjut sampai hari ini. Protokol kesehatan diminta ditaati. Jaga jarak tetap berlaku. Apalagi pakai masker!

Adanya ketentuan untuk work from home (WFH) rasanya klop sekali dengan teknologi tadi. Tulang punggungnya adalah internet. Ngomong-ngomong, Anda sudah mulai jenuh dengan WFH atau malah merasa bersyukur?

Respons setiap orang pasti berbeda-beda. Kedua kemungkinan itu pasti ada atau bahkan banyak yang merasakan.

Sulit mengingkari bahwa di era pandemi ini membuat dunia virtual makin mendapat tempat. Bisa dibilang sebagian besar orang lebih merasakan manfaatnya daripada kerugiannya.

Untuk bisa ber-virtual tentu memerlukan dana, karena harus mendapatkan akses ke internet. Pendeknya, pandemi membawa berkah tersendiri terhadap dunia virtual dan sejenisnya. 

Namun saya langsung teringat dengan Damien Hirst dalam bukunya I Want to Spend the Rest of My Life Everywhere, with Everyone. One to One Always. Forever. Now. Unik memang. Judul bukunya panjang seperti kalimat.

Justru di situlah seniman Inggris itu berhasil mengungkap metafor yang nyaris sempurna untuk menggambarkan internet dan perasaan sebagian besar orang yang terhubung melalui gawai, email, dan modem.

Internet penuh dengan jutaan rumah maya pribadi, orang-orang berbagi kehidupan pribadinya dengan banyak orang, di setiap tempat, sekarang dan selamanya.

Internet dan gawai berjanji menghubungkan orang dengan dunia. Nah dalam kondisi pandemi seperti sekarang, bisa dinilai kapan keduanya dianggap bermanfaat dan kapan keduanya berubah menjadi gangguan?

Duduk sendirian di dalam ruangan sambil ‘mengobrol’ di sebuah chat room di Internet merupakan sebuah fenomena sosial yang sudah tidak asing lagi. Namun apakah itu bentuk keterasingan baru, karena tidak ada komunitas di dalamnya? Menurut John dan Nana Naisbitt serta Douglas Philips (1999) demikian.

Seiring perjalanan waktu, kondisi tersebut sudah jauh berubah. Pasalnya di dunia maya pun komunitas bisa terjalin dengan efektif. Persoalannya adalah sejauh mana seseorang ‘mengendalikan’ dan ‘mengelola’ teknologi.

Apakah dia mampu bertindak sebagai ‘manajer teknologi’ yang piawai atau justru tergilas dan hanyut oleh piranti? Pada titik ini seseorang dituntut bijak.

Sebuah laptop di masa liburan memang bisa tetap menghubungkan kita dengan pekerjaan. Sebaliknya justru membuat kita tidak bisa mengalami bagaimana rasanya tidak terganggu oleh pekerjaan.

Belanja daring membuat kita bisa membeli sesuatu tanpa harus berbicara dengan penjualnya. Praktis bukan?

Di sisi lain kebisingan teknologi ini, baik secara harfiah maupun kiasan, dapat benar-benar mengucilkan manusia dari sesamanya, dari alam, dan dari diri kita sendiri.

Persoalan ini yang disoroti oleh Naisbitt dan Philips yaitu bahwa teknologi dapat menciptakan jarak fisik dan jarak emosional serta merenggutkan orang dari kehidupannya sendiri.

“Apakah keterkucilan merupakan manfaat yang diberikan oleh teknologi,” kata mereka.

Apakah kondisi di Indonesia sudah seperti itu? Saya meragukannya karena meski jumlah pengguna internet di Tanah Air diklaim sudah tembus 175 juta (dari total penduduk sekitar 212 juta), kehadiran dunia maya masih sangat belum merata.

Lain halnya di Amerika Serikat (AS) sebagaimana objek penelitian Naisbitt dan Philips. Menjelang dekade akhir 1990-an saja para pakar tersebut berani menyimpulkan bahwa masyarakat AS sedang berada dalam ‘wilayah psikologis’ yang disebut zona mabuk teknologi.

Apa itu? Itulah zona yang ditunjukkan oleh adanya hubungan yang rumit dan sering kali bertentangan antara teknologi dan pencarian manusia akan makna.

Dua dari enam gejala zona mabuk itu adalah ketika orang lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, mulai dari masalah agama sampai masalah gizi.

Satu hal lagi yang menarik adalah bahwa manusia takut dan sekaligus memuja teknologi.

Apakah menurut Anda masyarakat Indonesia sudah dapat dikatakan menikmati kemewahan teknologi seperti yang dirasakan masyarakat negeri Paman Sam hampir empat dekade lalu?

Atau jangan-jangan jurus lompat katak (leap frog) dapat memperkecil kesenjangan tersebut, karena teknologi pada hakikatnya mirip uang atau investasi. Tidak mengenal bendera. Tidak mengenal negara.   

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper