Bisnis.com, JAKARTA – Turunnya jumlah pelanggan operator seluler akibat pembersihan data dapat diartikan bahwa operator tersebut sedang berusaha mempertahan nilai pendapatan operator per pelanggan (Average Revenue per User/ARPU).
Pengamat Telekomunikasi Nonot Harsono mengatakan bahwa saat ini tidak ada kewajiban bagi operator seluler untuk melakukan pembersihan data pelanggan yang tidak aktif atau pelanggan fiktif. Operator seluler tetap dapat mencantumkan jumlah pelanggan yang mereka miliki dalam laporan keuangan selama mereka bersedia menanggung risikonya yaitu rendahnya nilai ARPU.
"Dengan mempertahakan pelanggan fiktif, maka ARPU yang disumbangkan oleh pelanggan aktif akan terbagi dengan pelanggan fiktif yang tidak menyumbangkan pendapatan. Alhasil nilai ARPU yang tercatat bakal rendah," kata Nonot kepada Bisnis.com, Selasa (18/8/2020).
Dia menjelaskan ARPU adalah rerata pendapatan operator per pelanggan. Dalam menghitung ARPU, total pendapatan operator akan dibagi total pelanggan yang mereka miliki.
Misalnya, operator X mencatatkan pendapatan Rp100 juta dengan jumlah pelanggan yang dimiliki 50 juta. Dari jumlah pelanggan tersebut diketahui jumlah pelanggan aktif hanya 20 juta.
Seharusnya ARPU yang dibukukan adalah Rp5 juta. Namun yang terjadi, karena pelanggan fiktif dipertahankan, ARPU yang dibukuan sebesar Rp2 juta.
Nilai ARPU ini dapat dipertahankan jika operator seluler mencantumkan data pelanggan yang sebenarnya dengan melakukan pembersihan data pelanggan atau menerapkan cara yang benar dalam registrasi kartu prabayar.
“Adakah ARPU operator senilai Rp10.000 di Indonesia. Semiskin-miskinnya orang Indonesia tidak mungkin belanja pulsanya kurang dari Rp20.000 dalam sebulan,” ujarnya
Nonot mengakui tidak semua operator memiliki kepentingan terhadap nilai ARPU. Beberapa operator yang tetap berorientasi pada jumlah pelanggan, tidak akan menghapuskan daftar pelanggan fiktif, meskipun ARPU yang dibukukan kecil.