Bisnis.com, JAKARTA -- Pengambilan keputusan secara cepat dan tepat perlu dibuat berdasarkan bukti ilmiah dan penelitian yang membutuhkan pendanaan mandiri.
Penting untuk memastikan kebijakan tepat sasaran kepada kelompok yang paling membutuhkan dengan menggunakan basis sains. Namun, sains yang responsif dan relevan tidak terjadi begitu saja.
Demikian simpulan dari studi kebijakan bertajuk, “Membangun Penyelenggaraan Pendanaan Penelitian yang Berkelanjutan dan Mandiri” yang selesai disusun pada awal 2020 ini.
Studi tersebut dilakukan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).
Selain infrastruktur penelitian dan kemampuan ilmiah yang mumpuni, pendanaan sangat penting untuk mewujudkan penelitian.
Studi yang selesai disusun pada awal 2020 ini sudah diluncurkan secara resmi oleh Ketua AIPI Satryo Brodjonegoro, Sekretaris Jenderal ALMI Berry Juliandi, serta Direktur Komunikasi ALMI Inaya Rakhmani.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang P.S. Brodjonegoro menilai, isi rekomendasi-rekomendasi utama yang dihasilkan dari studi ini sudah sejalan dengan rencana Pemerintah untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi.
"Utamanya melalui pendanaan yang berkelanjutan, dikelola secara profesional di bawah Kemenristek/BRIN dan memiliki tingkat fleksibilitas yang sesuai agar peneliti tidak terbebani administrasi yang berlebihan," ungkap Bambang.
Ketua AIPI, Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro menambahkan, niat pemerintah membangun ekosistem riset yang lebih baik sudah terlihat dari terbitnya Undang-Undang 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan (UU Sisnas Iptek).
Pasal 59 dalam UU mengamanatkan dana abadi penelitian sebagai salah satu sumber pendanaan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi.
"Namun, implementasi saat ini serta pengelolaan belum terjadi. Maka, studi ini kami, AIPI dan ALMI, susun sebagai masukan bagi penyusunan Perpres Dana Abadi tersebut," sambung Satryo.
Berkaca dari data dari Bank Dunia dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2018 mengilustrasikan kenaikan 1 persen belanja penelitian dan pengembangan (litbang) mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen di negara-negara maju.
Sementara itu di negara-negara berkembang, kenaikan 1 persen, belanja litbang juga mendongkrak pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), meski dengan persentase lebih kecil, yaitu antara 0,3 persen dan 0,62 persen.
Berry Juliandi, Sekjen ALMI mengatakan, studi bersama dengan AIPI, mengidentifikasi bahwa setidaknya ada 6 masalah dalam pengelolaan pendanaan penelitian di Indonesia.
Permasalah pertama adalah kurangnya sinkronisasi data penghitungan belanja litbang nasional.
Dari Rp24,92 triliun dana riset pemerintah pusat pada 2016, hanya 43,74 persen yang digunakan sebagai dana untuk penelitian. Selebihnya pendanaan digunakan untuk operasional, jasa iptek, belanja modal, dan pendidikan dan pelatihan (diklat).
Kedua, belum ada mekanisme jelas untuk pengukuran kinerja lembaga penelitian. Sebagai ilustrasi, dana pemerintah pusat sebesar Rp24,92 triliun untuk riset tersebar di 81 Kementerian dan Lembaga (K/L), sementara hanya 13 K/L yang melakukan kegiatan litbang penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan iptek.
Ketiga, mekanisme pendanaan penelitian masih menggunakan sistem pengadaan barang dan jasa. Sistem tersebut tidak sesuai dengan sifat riset yang adaptif dan fleksibel.
Saat ini, pendanaan riset melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak dapat mengakomodasi penelitian tahun jamak.
“Pendanaan harus responsif dan relevan dengan tingkat fleksibilitas untuk memungkinkan penelitian yang baik,” lanjut Berry.
Keempat, belum ada lembaga independen yang fokus mengelola pendanaan penelitian. Lembaga pendanaan riset nasional yang ada saat ini memiliki keterbatasan dalam jumlah dan kualitas.
Hal tersebut disebabkan masih rendahnya faktor kemampuan fiskal negara dalam mengalokasikan dana untuk membiayai kegiatan litbang.
Kelima, selain karena keterbatasan ruang fiskal kendala juga terjadi karena riset belum merupakan prioritas dalam politik anggaran.
Keenam, masih rendahnya kontribusi industri atau swasta pada kegiatan penelitian di Indonesia.
Hal ini disebabkan lemahnya fondasi sektor riil Indonesia, serta mekanisme insentif riset yang belum terlihat bagi pengusaha.