Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan operator seluler dikatakan tengah melakukan penghitungan ulang keuangan perusahaan setelah Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2020 tentang Jatuh Tempo Pembayaran Kontribusi Layanan Pos Universal, Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi, Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal, dan Biaya Izin Penyelenggaraan Penyiaran dinilai tidak efektif.
Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengatakan dikeluarkannya Permen Kemenkominfo tersebut pada 6 Mei 2020 terlambat lantaran operator seluler telah melakukan pembayaran pada saat jatuh tempo 30 April 2020 lalu.
"Permen-nya tidak bisa dimanfaatkan karena hampir perusahaan operator seluler sudah pada bayar," ujar Marwan kepada Bisnis.com, Jumat (8/5/2020).
Marwan melanjutkan, ATSI berencana untuk melakukan pendekatan ke beberapa kementerian untuk membahas masalah penundaan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), antara lain Kemenkominfo, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Kementerian Sekretariat Negara.
Rencanya, perusahaan operator seluler akan kembali meminta penundaan kepada tiga kementerian tersebut agar kas yang dimiliki dapat dialokasikan untuk keperluan pembiayaan operasional seiring dengan terus bertambahnya pengeluaran bandwith.
Selain itu, penghitungan ulang dilakukan terkait dengan perubahan proyeksi setelah trafik pengguna yang diperkirakan tergerus akibat perubahan perilaku pengguna layanan operator seluler.
Menurut Marwan, trafik sudah mulai tergerus sejak pengguna aplikasi belajar daring beralih ke TVRI yang juga menyediakan metode pembelajaran. Meski demikian, perusahaan operator seluler belum dapat menginformasikan secara detil penurunan trafik yang terjadi.
"Saya menyayangkan pemahaman PNBP yang hanya dilihat dari pertumbuhan industri telekomunikasi berdasarkan pertumbuhan di kuartal I/2020. Padahal, proyeksi kuartal kedua dan ketiga akan berbeda karena terjadi penggerusan trafik akibat perubahan perilaku dan prioritas pengeluaran biaya oleh konsumen," tutur Marwan.
Selain itu, ATSI meminta Kemenkominfo memberikan penundaan untuk Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi yang nilai totalnyanya mencapai Rp16 triliun untuk seluruh operator seluler.
Permintaan tersebut, lanjut Marwan, juga tidak terlepas dari faktor menurunnya daya beli masyarakat.
Dihubungi secara terpisah, Group Head Corporate Communication XL Axiata Tri Wahyuningsih mengapresiasi kebijakan pemerintah mengabulkan permohonan insentif berupa penundaan pembayaran biaya BHP tanpa pengenaan denda tersebut.
"Karena perkembangan situasi dan kondisi merebaknya pandemik Covid-19 saat ini sangat mempengaruhi berbagai aktivitas kegiatan bisnis dan ekonomi berbagai bidang usaha termasuk bisnis telekomunikasi," ujar Tri.
Adapun, lanjutnya, untuk teknis jadwal penundaan pembayaran biaya BHP tanpa pengenaan denda tersebut, perusahaan akan mematuhi aturan dan ketentuan yang sudah ditetapkan pemerintah.
Sementara itu, Deputy CEO PT Smartfren Telecom Tbk. Djoko Tata Ibrahim mengatakan perusahaan masih menunggu aturan selanjutnya yang mengatur penundaan jatuh tempo BHP Frekuensi dan PNBP lainnya.
Pasalnya, untuk bidang telekomunikasi, PM tersebut baru mengatur BHP Telekomunikasi dan USO," ujarnya Djokmo.
Dalam surat balasan yang ditujukan ATSI kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (30/4/2020), penundaan diminta untuk diberlakukan terhadap BHP telekomunikasi, Kontribusi Dana USO, BHP Pita Frekuensi dan BHP ISR.
Bisnis.com telah menghubungi pihak Kemenkominfo terkait dengan perihal tersebut, tetapi hingga berita ini dituliskan belum ada respons dari pihak kementerian.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate mengungkapkan beberapa hal kunci yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam memberikan insentif kepada pelaku usaha di industri telekomunikasi.
Faktor kunci tersebut, antara lain, pertama, dipastikannya perlindungan hak dan kewajiban pekerja, dengan kata lain tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK); kedua, dana insentif diarahkan kepada sektor mikro dan ultramikro; ketiga insentif yang diminta berada di dalam koridor aturan perundang-undangan.