Pada 26 September di Hotel Borobodur Jakarta, para eksekutif dan pejabat teras dari beberapa lembaga negara, telah berkenan menyambut undangan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) untuk bergabung dalam sebuah kolaborasi bersejarah demi pemberdayaan lapisan terbawah masyarakat Indonesia secara digital.
Bahkan, perusahaan-perusahaan besar dalam kolaborasi ini mampu melupakan persaingan di pasar, demi penyatuan ide, data, keahlian, teknologi, serta investasi mereka bagi suatu inisiatif yang disebut Meaningful Broadband bagi 30 juta warga yang tersebar di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) dari 122 kabupaten.
Meaningful Broadband bukan baru kali ini diperkenalkan di Indonesia. Istilah ini mengacu pada kegiatan pembangunan ekosistem broadband yang bermanfaat serta terjangkau sehingga memberdayakan mereka yang berada di lapis terbawah piramida sosial.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan pada 2004 oleh seorang Profesor dari Universitas Harvard, Craig Warren Smith, yang saya temui dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Harvard Alumni Club di Jakarta.
Saat itu, Profesor Smith sudah menjadi ketua Digital Divide Institute, sebuah organisasi non-profit di Amerika yang menggulirkan gerakan internasional untuk menutup kesenjangan digital.
Profesor Smith waktu itu menyampaikan bahwa dirinya tidak puas hanya dengan berteori tentang topik ini dan sedang mencari satu negara untuk mengimplementasikan sebuah konsep yang disebutnya Meaningful Broadband.
Dia berharap Indonesia bisa menjadi negara tersebut. Idenya adalah membawa internet ke bagian-bagian terpencil serta tertinggal di negara ini. Namun, bukan sekadar membangun infrastruktur serat optik dan menara selular yang memberikan akses internet kepada penduduk, tetapi juga menciptakan Meaningful Demand, yaitu dengan mendorong penggunaan internet sampai ke segala sendi aktivitas masyarakat, seperti internet bagi pendidikan, kesehatan, penyediaan pekerjaan, perlindungan budaya, bahkan sampai dengan mengantisipasi perubahan iklim.
Konsep itu selaras dengan visi untuk Indonesia yang saya miliki. Walaupun berlatarbelakang insinyur teknologi kedirgantaraan, dan bukan teknologi digital, tetapi saya diwariskan visi demokratisasi melalui penggunaan sains dan teknologi.
Dengan demikian, pada era digital ini diperlukan metode untuk dapat melanjutkan gagasan tersebut dan menjembatani masyarakat di akar rumput ke digital society. Dalam konteks tersebut, Meaningful Broadband jelas memiliki potensi untuk melakukan hal itu. Setelah melewati upaya selama 15 tahun, akhirnya sampai ke suatu fase yang dimulai pada 26 September 2019 yang lalu bersama dengan para pemangku kepentingan.
Sebagai contoh, pada 2014, salah satu program Wantiknas sudah terarah kepada upaya pembentukan ekosistem Meaningful Broadband di 514 kabupaten/kota. Pada saat itu terjadi aliansi dari banyak Bupati dan Walikota yang membuka kesempatan untuk mengimplementasikan konsep tersebut di daerahnya.
Selanjutnya pada 2016, terbuka peluang untuk memformulasikan model finansial bagi pembiayaan Meaningful Broadband. Pada waktu itu, BAKTI Kominfo yang mengelola dana kewajiban pelayanan universal (Universal Service Obligation atau USO), yang di antaranya berkeinginan membawa internet ke wilayah yang belum terlayani sinyal selular.
Program yang difokuskan untuk menyediakan internet di seluruh daerah yang terkategori terluar, terdepan, tertinggal di seluruh Nusantara.
BAKTI Kominfo yang menyediakan dana penelitian untuk merumuskan model keuangan, bersinergi dengan Wantiknas bekerja sama dengan The Habibie Center (habibiecenter.or.id) dan Digital Divide Institute (digitaldivide.org), dan menghasilkan sebuah model yang disebut USOx8.
Model ini merumuskan cara untuk mencetuskan delapan bidang kepentingan terkait, guna mendorong peningkatan yang berpotensi delapan kali lipat efek dari suatu investasi di lokasi penerima program.
Pertumbuhan tersebut cukup untuk menghasilkan lapisan masyarakat yang baru dalam pembangunan ekonomi bangsa. Pasar baru akan tercipta di daerah yang sebelumnya tidak mampu mencapai skala ekonomi minimal untuk masuk ke dalam siklus ekonomi digital.
Kelompok Kerja
Fase yang dimulai pada 26 September yang lalu ini mulai membentuk Kelompok Kerja Meaningful Broadband (Meaningful Broadband Working Group atau MBWG) yang menjanjikan realisasi dari model tersebut.
Para pemangku kepentingan yang hadir memperlihatkan antusiasme untuk berpartisipasi dalam MBWG tersebut. Walaupun anggota formal kelompok kerja belum diresmikan, terlihat perwakilan dari beberapa Kementrian, beberapa BUMN, para operator telekomunikasi terbesar di Indonesia, sektor perbankan, dan perusahaan swasta nasional dan multinasional lainnya, termasuk beberapa unicorn serta perusahaan perintis lainnya hadir pada acara tersebut.
Optimisme yang tercipta akan semakin terlihat nyata dalam beberapa bulan ke depan, di mana akan dibuat proyek percontohan di delapan kabupaten sebagai validasi model. Masyarakat di daerah percontohan tersebut akan menikmati uji coba teknologi yang memfasilitasi terjadinya interaksi Government to Consumer (G2C), Business to Consumer (B2C), dan Consumer to Consumer (C2C), dan seterusnya.
Tugas Kelompok Kerja adalah membangun, mendampingi, serta mengevaluasi model yang berjalan di daerah percontohan. Model yang telah sukses diujicobakan akan diduplikasi dan diadopsi di daerah-daerah lain yang sejalan dengan arah penyebaran program BAKTI Kominfo di daerah 3T.
Pada 1999 telah diterbitkan UU nomor 22 tahun tentang Pemerintah Daerah, di mana daerah diberikan kewenangan yang otonom secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, meninggalkan wasiat berupa misi mendorong peran serta masyarakat yang merata dan berkeadilan untuk mengatur pembagian, serta pemanfaatan sumber daya nasional.
Mudah-mudahan momentum dan arah ke depan nasional pada saat ini tepat untuk mengembangkan wasiat tersebut melalui Kelompok Kerja Meaningful Broadband.
Ilham Akbar Habibie
Ketua Pelaksana Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional