Bisnis.com, JAKARTA –- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mendorong sejumlah lembaga penyiaran swasta (LPS) untuk hadir di perbatasan, salah satunya dengan skema penyelenggaraan pemancar siaran televisi analog dan digital pada saat bersamaan atau Simulcast.
Ketentuan mengenai simulcast tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika no.3/2019 tentang Pelaksanaan Simulcast Dalam Rangka Persiapan Migrasi Sistem Penyiaran Televisi Analog ke Sistem Penyiaran Televisi Digital.
Direktur Penyiaran Kemenkominfo, Geryantika Kurnia, mengatakan regulasi tersebut tidak bertujuan untuk menghentikan penyiaran TV analog, regulasi simulcast justru membantu LPS untuk menjalankan bisnis analog dan digital secara bersamaan.
Dia mengatakan meskipun perusahaan melakukan siaran secara analog dan digital, LPS hanya perlu membayar biaya perizinan untuk satu siaran.
Tidak hanya itu, bahkan bagi perusahaan tv analog yang ingin berpindah ke digital, akan dibebaskan membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi.
Diketahui saat ini para penyeleggara tv analog harus membayar dua BHP yaitu BHP frekuensi dan BHP penyelenggaraan untuk beroperasi di Indonesia.
“Simulcast intinya itu tidak memaksakan analog harus off, simulcast ini artinya digital switch on bukan off,” kata Gery, belum lama ini.
Gery menuturkan selain menggelar simulcast, opsi lain yang diberikan pemerintah kepada LPS untuk hadir di perbatasan adalah dengan menyewa multiplekser atau mux milik TVRI.
Dia mengatakan biaya sewa Mux TVRI lebih murah dibandingkan dengan mengeluakan modal untuk menggelar perangkat penyiaran sendiri.
“Jadinya insentif ada perizinan, ada sewa yang lebih murah,” kata Gery.
Sementara itu, Direktur Teknik TVRI, Supriyono mengatakan bahwa penentuan tarif sewa mux masih dibahas dengan Kemenkominfo.
Dia belum dapat menentukan apakah tarif sewa lebih murah atau setara dengan sewa mux milik lembaga penyiaran swasta lain, mengingat kapasitas pemancar yang dimiliki oleh TVRI lebih besar dibandingkan dengan milik lembaga penyiaran swasta lain.
“Karena kapasitas pemancar TVRI lebih besar dibandingkan milik lembaga penyiaran swasta, power-nya juga lebih kuat, karena harga sewa kan disesuaikan dengan nilai investasi dan aset,” kata Supriyono.
Supriyono menuturkan meskipun biaya sewa yang diberikan setara dengan LPS, TVRI tidak menjadikan penyewaan pemancar sebagai bisnis. Dia mengatakan untuk mendorong pemasukan TVRI masih mengandalkan pemasukan dari program tayangan.
“Penyewaan pemancar itu tujuannya bukan untuk mencari keuntungan tapi disesuaikan dengan investasi,” kata Supriyono.
Supriyono mengatakan TVRI memiliki 117 pemancar yang sudah siap digital dengan cakupan 360 lokasi di seluruh Indonesia, dari jumlah tersebut 64 pemancar berada di daerah tertinggal, terdepan dan terluar, dan 17 pemancar langsung berhadapan dengan daerah perbatasan.
“Sebanyak 17 lokasi di perbatasan sudah siap digital, power kami lebih dari yang lain,” kata Supriyono.
Supriyono mengatakan meskipun memiliki kualitas jaringan yang bagus, masih konten yang mereka miliki, sebab LPS tidak ada yang bergabung.
Dia mengatakan saat berdiskusi dengan masyarakat sekitar, mereka meminta konten yang lebih menarik lagi seperti yang terdapat di Jakarta. Oleh sebab itu, kehadiran LPS diperlukan di perbatasan.
Saat ini siaran TV yang hadir di daerah perbatasan mayoritas milik TVRI, dengan empat kanal yaitu olah raga, budaya, nasional dan lokal.
Sedikitnya konten tayangan di perbatasan memaksa penduduk di perbatasan untuk mengonsumsi tayangan dari negara tetangga atau mengeluarkan uang lebih untuk menyewa TV kabel agar mendapat konten tayangan yang lebih menarik. Padahal, berdasarkan undang-undang penyiaran no.32/2002 semua warga negara Indonesia berhak mendapat siaran yang layak.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio mengatakan dalam menghadirkan konten yang berkualitas di perbatasan, KPI telah melakukan segala cara, salah satunya dengan mempermudah perizinan.
Namun dengan kemudahan tersebut, tetap tidak ada LPS yang menggelar penyiaran di daerah perbatasan.
“Pokoknya kalau untuk [kegiatan penyiaran] di perbatasan KPI tutup mata, langsung dikasih, tidak perlu evaluasi dengar pendapat,” kata Agung.
Tidak hanya itu, lanjutnya, bahkan beberapa komisioner KPI periode sebelumnya sempat mengajak angkatan bersenjatan untuk menyediakan konten tayangan agar wilayah perbatasan mendapat tayangan yang layak