Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan tak ada tawar-menawar perihal nominal tunggakan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dari PT Internux kendati permohonan perdamaian atau homologasi telah disahkan.
Adapun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat mengesahkan perdamaian (homologasi) perusahaan itu atas putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) Internux, anak usaha PT First Media, Tbk. Dari voting yang dilakukan 100% kreditur separatis dan 79,88% kreditur konkuren mendukung proposal perdamaian.
Kreditur terdiri dari beberapa pihak seperti perusaaan penyedia menara, perusahaan penyedia peranti telekomunikasi, alih daya, agensi media, penyedia jaringan serat optik dan bandwidth.
Dalam keterangan resminya, Internux akan terus memberikan layanan kepada masyarakat yang kini melayani 4 juta pelanggan dengan realisasi lebih dari Rp8 triliun dalam lima tahun terakhir. Pihaknya pun menyebut akan menempatkan kepentingan pelanggan sebagai prioritas utama.
Tak Ada Negosiasi
Menanggapi hal tersebut Direktur Operasi Direktorat Jenderal Sumber Daya Perangkat, Pos dan Informatika, Dwi Handoko mengatakan tak ada lagi negosiasi terkait nominal tunggakan yang ditagihkan. Menurutnya, Internux pun tak mempermasalahkan nominal yang ditagihkan kendati perdamaian disahkan.
Proses homologasi, katanya, hanya membahas tentang masa pelunasan tunggakannya saja. Internux menungak pembayaran BHP Frekuensi sebesar Rp463 miliar dan telah jatuh tempo. Adapun, nilai itu terkumpul dari BHP frekuensi tertagih pada periode November 2016 hingga 2018. Internux menggunakan frekuensi di 2,3 GHz dengan lebar 15 GHz.
"Kalau nominal tidak ada perselisihan. Homologasi hanya membahas wawktu pelunasan saja," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (14/11/2018) malam.
Lebih lanjut, dia menyebut masih akan membahas tindak lanjut putusan PKPU. Kendati tenggat juga menjadi pokok pembahasan, dia tak menyebut bahwa akan dilakukan penyesuaian tenggat pembayaran. Intinya, pemerintah, katanya, akan berupaya agar tak terjadi kerugian negara. Pasalnya, BHP frekuensi yang harus dilunasi merupakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Peraturan Menteri No.9/2018 tentang Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Pada Pasal 15 ayat 1, izin berlaku selama 10 tahun. Namun, pada pasal 21 disebutkan bila tagihan belum dilunasi, pemerintah berhak mencabut izin penggunaan frekuensi.
Kewajiban pembayaran BHP frekuensi maksimal 24 bulan setelah jatuh tempo. Adapun, bila tak kunjung dilunasi pencabutan izin pita frekuensi radio dilakukan setelah sanksi administrasi dan pengenaan denda dilakukan.
'Untuk tindak lanjut setelah putusan PKPU masih akan dibahas. Intinya, pemerintah akan berusaha mencegah atau meminimalisir kerugian negara," katanya.
Tetap Ditagih
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan pihaknya terus menagih meskipun pihak First Media mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dia pun menuturkan telah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan dukungan hukum.
Rudi berujar masalah hukum yang menimpa First Media dengan para krediturnya tak akan memengaruhi penyelesaian tunggakan BHP frekuensi. Seperti diketahui, jumlah daftar piutang tetap kreditur mencapai Rp5,65 triliun dengan rincian 3 kreditur separatis memegang tagihan Rp274,22 miliar dan 282 kreditur memegang tagihan Rp5,38 triliun.
Begitu pula dengan perusahaan lain yakni PT Jasnita dimiliki oleh salah satu pejabat di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
"Justru kami ingin putusan sela. Tidak ada kaitannya antara putusan ini dengan pembayaran BHP frekuensi. Kami tidak membeda-bedakan kebetulan yang dulunya salah satu pendirinya, pejabat di Kominfo. Enggak ada cerita [pilih-pilih]. [Tetap cabut] frekuensinya," katanya.