Akademisi: Indonesia Butuh Penelitian Produk Antimalaria Baru

Choirul Anam
Senin, 14 November 2016 | 16:50 WIB
Parasit penyebab malaria/scitechdaily.com
Parasit penyebab malaria/scitechdaily.com
Bagikan

Bisnis.com, MALANG - Akademisi berpendapat penelitian baru untuk menghasilkan produk antimalaria baru yang tidak resisten itu perlu dilakukan, karena adanya penurunan efikasi dari Artemisinin.

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang Loeki Enggar Fitri mengatakan penelitian yang telah dilakukan salah satunya  bertujuan menghasilkan produk baru dalam diagnostik dan terapi malaria untuk menanggulangi masalah resistensi obat malaria.

Diagnosis malaria harus dilakukan dengan konfirmasi laboratorium mikroskopis atau tes diagnosis cepat (rapid diagnostic test /RDT), namun diagnosis mikroskopis tidak bisa membedakan morfologi beberapa spesies, sehingga pemeriksaan biomolekuler, seperti PCR mulai dipertimbangkan karena memberikan hasil yang lebih akurat.

“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa sensitivitas nested PCR lebih tinggi dibandingkan hapusan darah,” ujarnya di Malang, Senin (14/11/2016). Peran dan fungsi seorang dokter bidang parasitologi klinik terutama dalam bidang penelitian akan disampaikannya pada pengukuhannya sebagai guru besar  bidang ilmu  Parasitologi Klinik di Malang, Selasa (15/11/2016).

Loeki mengatakan,obat anti malaria lini pertama saat ini adalah Artemisinin. Beberapa laporan membuktikan adanya penurunan efikasi dari Artemisinin.

Dia telah melakukan roadmap penelitian sejak  1997. Saat ini tim peneliti Parasitologi Klinik FK UB sudah menguji beberapa herbal yang secara empiris telah dipakai sebagai terapi malaria oleh penduduk daerah endemis.

Di Papua, misalnya, menggunakan buah merah dan tumbuhan tali kuning. Tanaman herbal tersebut saat ini sedang diteliti tim FK UB dan sudah diuji coba secara in vivo pada hewan coba  dan secara in vitro.

Selain dua tanaman tersebut, tim juga telah melakukan pengujian terhadap tanaman brotowali serta mikroba bakteri Streptomyces hygroscopicus Hygroscopicus,yang ternyata terbukti mengandung kandungan anti malaria.

Menurut dia, menjadi seorang dokter di bidang Parasitologi Klinik tidak hanya dituntut untuk bisa mengobati pasien namun juga  pengembangan penelitian dan pelayanan/ pengabdian kepada masyarakat. 

Penelitiannya berfokus pada penyakit Malaria. Permasalahan yang terjadi pada penyakit malaria tidak boleh diremehkan. Penyakit Malaria menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia.

“Perlunya riset  antara lain untuk mengantisipasi terjadinya re-establishment dari penyakit malaria dan mendukung  program riset operasional malaria untuk mencapai eliminasi malaria secara nasional,”katanya. (k24)

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Choirul Anam
Editor : Fatkhul Maskur
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper