Bisnis.com, JAKARTA – Ekosistem pita lebar di Indonesia dipastikan semakin matang dengan peluncuran serentak 4G Long Term Evolution (LTE) pada Senin lalu.
Namun, layanan seluler generasi keempat itu tidak mungkin terwujud tanpa pasokan teknologi dari para vendor jaringan.
Raksasa jaringan pun berlomba-lomba menawarkan produk jaringan seperti stasiun pemancar dan penerima (BTS), serat optik, dan lainnya.
Para pemain jaringan global sebetulnya tidak terlalu banyak.
Mereka adalah Huawei dan ZTE asal China, ditambah produsen dari Eropa seperti Ericsson, Nokia Solutions and Network (NSN), serta Alcatel Lucent.
Presiden Direktur PT Internux (Bolt) Dicky Mochtar menuturkan vendor dan operator pada dasarnya saling membutuhkan satu sama lain.
Bila vendor berkepentingan untuk menjual produk maka operator ingin perangkat terbaik yang menghasilkan layanan prima.
“Kami tentu saja ingin produk yang tahan uji dan pemasangannya cepat,” katanya di Jakarta belum lama ini.
Walau pemain hanya sedikit, dia menyebutkan para vendor jaringan harus pintar-pintar otak juga untuk mendekati operator.
Kompetisi sendiri, Dicky bercerita, telah menghasilkan pola bisnis baru dalam beberapa tahun terakhir.
Pria berkepala plontos ini mencontohkan vendor China seperti Huawei dan ZTE kini tidak hanya menawarkan produk tetapi juga turut membawa paket pembiayaan dari perbankan China.
Dengan pola ini, ujar Dicky, operator bisa membayar 15% dari nilai kontrak jaringan kepada para vendor dan sisa kontrak akan disetor dalam bentuk belanja operasional.
Alhasil, operator tidak perlu kerepotan mencari peminjaman mandiri untuk belanja modal.
“Mengapa mereka mau begitu? Bukan karena mereka baik, tapi karena bank di China mau cari untung juga. Bank kan bisa dapat bunga. Trennya sekarang begitu,” kata pria yang juga Direktur PT First Media Tbk ini.
Sementara itu, tutur Dicky, para vendor dari Eropa masih mengandalkan kualitas produk. Dia mengakui bila kualitas itu berimplikasi pada harga yang lebih tinggi dibandingkan tawaran vendor asal China.
“Sejauh yang kami lihat harga dari vendor Eropa mahal bos! Tapi untuk barang-barang tertentu mereka bagus seperti serat optik. Itu karena riset dan pengembangan mereka lebih unggul,” ujarnya.
Bolt sendiri pada tahun ini berencana membangun 1.000 BTS. Jumlah itu akan menggenapi BTS entitas usaha Grup Lippo itu menjadi 4.000 unit.
Dengan model pembiayaan menarik, kali ini Bolt menggandeng Huawei sebagai penyedia BTS.
“Untuk membangun 1.000 BTS itu kami cukup mengalokasikan belanja modal US$30 juta. Dengan kata lain satu BTS butuh US$30.000,” kata Dicky.
Jika pembangunan itu terwujud, Bolt pun optimistis dapat menggaet 1 juta pelanggan tambahan selama 2015 sehingga total konsumennya menjadi 2,5 juta pada akhir tahun.
Perusahaan itu akan mengandalkan penjualan perangkat Mobile Wi-Fi dan ponsel 4G LTE di Jakarta dan Medan.
“Kami memang cuma punya lisensi untuk menggelar 4G LTE di zona Jabotabek-Banten dan Sumatera bagian utara,” katanya.