SITUS BERITA DIBLOKIR: Pemerintah Diingatkan Tidak Asal Blokir

Puput Ady Sukarno
Sabtu, 4 April 2015 | 01:07 WIB
BNPT disebut-sebut meminta 19 situs dengan konten Islam diblokir/Reuters
BNPT disebut-sebut meminta 19 situs dengan konten Islam diblokir/Reuters
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Publik tiba-tiba dikejutkan dengan tindakan pemerintah memblokir sejumlah situs berita yang ditengarai gencar melakukan propaganda ekstrimisme dan kekerasan dengan latar belakang agama.

Namun tindakan itu dinilai berbagai kalangan sebagai hal berlebihan dan membatasi kebebasan berpendapat serta mencederai kebebasan pers.

Peneliti Elsam Wahyudi Djafar mengatakan sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan yang jelas mengenai pengawasan terhadap konten internet beserta mekanisme pembatasannya.

"Tidak adanya aturan yang jelas mengenai prosedur serta akuntabilitas dalam prosesnya, berakibat pada kerapnya terjadi tindakan salah blokir (over blocking)," katanya dalam siaran pers yang diterima Bisnis.com, Jumat (3/4/2015).

Wahyudi mencontohkan kasus salah blokir yang pernah terjadi, seperti yang dialami situs International Gay Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC.org), Our Voice (ourvoice.or.id), Vimeo, Youtube, MySpace, Multiply, Rapidshare, dan Metacafe.

Menurutnya, teknik pemblokiran dilakukan dengan cara memblokir konten-konten internet berdasarkan kata-kata kunci yang dianggap mengandung muatan negatif.

"Alih-alih hanya memblokir konten yang bermuatan negatif, cara seperti tersebut justru mengakibatkan terblokirnya seluruh konten internet".

Dia mengemukakan pemblokiran terhadap konten internet memang boleh dilakukan oleh negara, sebagai bentuk pembatasan terhadap hak atas kemerdekaan berekspresi yang memang boleh dibatasi.

Namun demikian dalam pembatasannya, mesti mengacu pada kaidah dan prinsip pembatasan sebagaimana diatur oleh konstitusi maupun hukum internasional hak asasi manusia (HAM).

Saat ini setidaknya terdapat dua undang-undang yang secara eksplisit memberikan wewenang pemblokiran terhadap konten internet.

Pertama, UU No.44/2008 tentang Pornografi, khusus untuk konten-konten yang mengandung muatan pornografi. Kedua, UU No.28/2014 tentang Hak Cipta, khusus untuk konten yang dinilai melanggar hak cipta (HKI).

Namun, mengenai pengaturan prosedurnya, UU Pornografi sama sekali tidak mengatur mengenai prosedur, sementara UU Hak Cipta mensyaratkan prosesnya harus seizin pengadilan.

Sementara UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), meski mengatur perihal konten-konten yang dilarang, namun materinya justru tidak sedikit pun mengatur mengenai prosedur pemblokiran konten, kecuali yang terkait dengan penyitaan dalam rangka penyidikan proses pidana.

"Dalam praktiknya, semenjak beberapa tahun lalu, tanpa suatu landasan hukum yang jelas, pemerintah melalui Kemenkominfo telah mengembangkan program database Trust+ Positif, yang berisi daftar hitam situs layak blokir," ujarnya.

Program ini kemudian dilegalisasi dengan lahirnya Permen Kominfo No.19/2014 tentang Penanganan Situs-Situs Internet Bermuatan Negatif, yang saat ini tengah dalam proses pengujian di Mahkamah Agung.

 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Editor : Yusran Yunus
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper