OJK Jangan Buru-buru Seragamkan PSAK Perusahaan Menara

Jumat, 7 November 2014 | 09:46 WIB
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta tidak terburu-buru menyeragamkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi perusahaan menara karena isu tentang memperlakukan menara dalam pembukuan belum final di International Accounting Standard Board (IASB). 

“Isu ini tengah didiskusikan di level IASB pada Juli 2014 di London karena dewan interpretasi akuntansi internasional [IFRIC] merasa masalah ini perlu didiskusikan secara mendalam. Sebaiknya menunggu hasil kajian dari IFRIC,”  ungkap pengamat akuntansi Ersa Tri Wahyuni di Jakarta, Jumat (7/11/2014).

Untuk  diketahui, dari lima perusahaan menara yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, sebanyak empat emiten menggunakan Pencatatan Standar Akuntansi (PSAK) 13, sedangkan satu menggunakan PSAK 16 memilih model revaluasi. 

Perusahaan yang menggunakan PSAK 13 memandang menara  adalah bangunan dan  hanya menyewakan  ke operator seluler, tidak menggunakannya untuk menghasilkan jasa lainnya seperti jasa telekomunikasi atau internet. Adapun yang menggunakan PSAK 16 memandang menara sebagai properti investasi.  

Dia menjelaskan menara berbeda dengan harga sewa gedung perkantoran dan mal yang harga pasarnya relatif lebih mudah diketahui dan harganya cenderung meningkat, sedangkan menara bila perusahaan tidak ada tambahan site baru, nilainya cenderung sama atau malah menurun.

Perusahaan penyewaan menara tidak akan membangun menara di suatu tempat tertentu tanpa terlebih dahulu ada pesanan dari operator sehingga risikonya lebih kecil dibandingkan dengan pengembang properti yang, misalnya, harus membuka lahan baru dan memiliki visi jauh ke depan.

Ersa mengingatkan dalam pencatatan akuntasi hal yang perlu menjadi perhatian adalah selisih nilai wajar yang diakui sebagai laba bisa meningkatkan bottom line perusahaan secara signifikan, sehingga dividen bisa diminta oleh pemegang saham saat ini. 

Namun untuk pemegang saham di masa depan mereka kemungkinan tidak bisa menikmati kenaikan nilai wajar tersebut karena nilai wajar menara yang cenderung menurun.  

"Kedua bisnis model ini menjadi dasar argumen yang tidak ada habisnya. Dewan Standar Akuntansi Keuangan [DSAK] mengkaji masalah ini dan berkesimpulan bahwa perbedaan aplikasi dari standar ini dimungkinkan karena definisi properti memang kurang jelas pada PSAK 16 dan PSAK 13," katanya.

Dia menambahkan IFRIC dan IASB setuju dengan pendapat di Indonesia memang ada kelemahan dalam definisi properti yang mungkin bisa diperjelas.

“Pengukuran menggunakan nilai wajar menurut saya tidak salah dan bisa saja menjadi pilihan. Saat ini IASB sedang membahas masalah ini dan rasanya lebih bijaksana bila Indonesia menunggu analisa IASB beberapa bulan lagi dan tidak terburu-buru menyeragamkan akuntansi yang harus digunakan perusahaan menara," sarannya.

Secara terpisah, analis dari MNC Sekuritas Reza Nugraha menyarankan jika memang akan diseragamkan PSAK yang digunakan perusahaan menara dari sisi pasar lebih baik menara dianggap sebagai properti karena ada revaluasi nilai sesuai kondisi terkini. 

Apabila menara dicatatkan sebagai aset maka akan ada depresiasi. Padahal, misalnya, tanah tak mungkin berkurang harganya sebagai tempat berdirinya menara. Selain itu dengan munculnya depresiasi bisa membuat margin terkesan tertekan dalam pencatatan.

Adapun jika menara dianggap sebagai properti nilainya akan direvaluasi sesuai nilai pasar. "Dari sisi pasar ini akan bagus karena mencerminkan nilai menara. Kalau menurut saya lebih baik dianggap sebagai properti," kata Reza

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis :
Editor :
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper