Merger XL-Axis Sarat Kepentingan Asing?

Herdiyan
Senin, 30 Desember 2013 | 20:27 WIB
Bagikan

 

Bisnis.com, JAKARTA—Setelah menuai penolakan dari Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, rencana pengalihan langsung frekuensi 1800 MHz milik Axis kepada XL Axiata kembali mendapat kritikan.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan merger kedua operator tersebut, dikhawatirkan menimbulkan penguasaan lebih besar industri telekomunikasi oleh asing.

Menurut Marwan, seperti halnya sektor mineral dan batu bara (minerba), frekuensi merupakan sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian.

Belajar dari pengalaman mega skandal divestasi Indosat, yang membuat negara tak lagi mendapatkan bagian dividen, kepemilikan asing seharusnya dibatasi.

“Keberadaan operator asing di industri telekomunikasi cenderung pada akhirnya tidak menguntungkan negara,” ujarnya dalam keterangan pers, Senin (30/12/2013) malam.

Marwan mencontohkan dalam sistem pengadaan, seperti teknologi, perangkat, dan jaringan, vendor yang ditunjuk merupakan afiliasi dari operator bersangkutan.

Kebijakan tersebut tak lepas dari upaya untuk memperoleh pendapatan maksimal, tak peduli jika harus mengorbankan keberadaan vendor lokal.

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring menyetujui merger XL dan Axis, termasuk pengalihan frekuensi secara langsung.

Merger tersebut demi menyelamatkan pemasukan negara melalui biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang menjadi utang Axis senilai Rp1 trilun kepada negara.

Hal yang menjadi permasalahan adalah pengalihan frekuensi 1800 MHz milik Axis untuk XL Axiata tanpa proses tender yang sebenarnya berpotensi memberi keuntungan lebih besar kepada negara.

Dengan kata lain, kata Marwan, Kemenkominfo dinilai 'menggadaikan' aset negara hanya untuk menyelamatkan BHP Axis yang notabene adalah perusahaan milik asing.

Marwan berpendapat, kebijakan mengobral aset strategis, seperti frekuensi kepada pihak asing, justru membahayakan kepentingan strategis nasional. Apalagi frekuensi 1800 MHz yang pada dasarnya, bisa menjadi pintu untuk keterbukaan informasi dan komunikasi bagi masyarakat di pelosok nusantara.

“Pemerintah seharusnya mempunyai komitmen yang kuat untuk membendung masuknya investor asing yang ingin menguasai aset negara. Kalau semuanya diserahkan kepada pihak asing, Indonesia selamanya akan menjadi negara kuli,” tuturnya.

Marwan mengapresiasi keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menunda proses merger XL-Axis. Ini lantaran adanya indikasi memunculkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Herdiyan
Editor : Fatkhul Maskur
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper