Migrasi Siaran Digital: Dari Dulu Tak Kelar, KPI Merasa Ditinggalkan

Galih Kurniawan
Rabu, 4 September 2013 | 04:50 WIB
Bagikan


Bisnis.com, JAKARTA—Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebutkan masih banyak ganjalan dalam rencana digitalisasi siaran televisi di Indonesia.

Dalam pemaparannya di Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR, Selasa (3/8/2013), Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan telah terjadi penegasian peran KPI. Dia menilai KPI hanya dianggap sebagai pengawas dan tidak dilibatkan secara aktif dalam proses migrasi televisi digital tersebut.

Pihaknya juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang memisah lembaga penyiaran penyelenggara penyiaran multipleksing (LPPPM) dengan lembaga penyiaran penyelenggara program siaran (LPPPS). Menurutnya kondisi tersebut dapat memicu ketimpangan lantaran banyak pemilik IPP (izin penyelenggara penyiaran) yang belum BEP (break event point) dalam bisnisnya.

“Saya dengar sewa ke LPPPM tarifnya sampai Rp80 juta sampai Rp120 juta per bulan, apakah sangup televisi lokal membiayainya?” ujarnya.

Dia menambahkan hal itu juga akan memicu kecenderungan lembaga penyiaran untuk menjadi LPPPM lantaran lebih menguntungkan. “Kalau itu terjadi media akhirnya akan terpusat karena hanya mereka yang memiliki modal besar yang sanggup,”.

Menurutnya kondisi tersebut akan lebih rumit saat dilakukan perpanjangan izin lantaran sesuai konsep pemerintah setiap LPPPM akan menaungi stasiun televisi lain.

Judhariksawan mengatakan migrasi ke televisi digital juga berpotensi memberatkan lantaran skema yang belum jelas. Jika dilakukan melalui station trasmission link, kata dia, stasiun televisi harus membeli pemancar dan minta izin lagi serta membayar biaya hak penggunaan (BHP). “Jadinya sama saja dengan analog,” katanya.


Kondisi tidak menguntungkan juga terjadi manakala sistem fiber optic dan jaringan berbasis internet protocol (IP) yang dipilih. Kedua skema tersebut berpotensi menyulitkan stasiun televisi kecil yang belum memiliki jaringan yang baik.

Anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya mengatakan hal terpenting saat ini adalah payung hukum dari rencana digitalisasi tersebut yakni Undang-Undang Penyiaran yang kini tengah direvisi. Menurutnya semangat revisi UU tersebut akan mengacu pada digitalisasi.

Terkait dengan skema pemisahan antara LPPPM dan LPPPS Tantowi menyebutkan hal itu masih harus dibahas lebih lanjut lagi. Dia menilai konsep pemisahan maupun tidak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

“Mungkin bisa melihat ke negara lain yang sudah melakukannya, tapi yang jelas UU Penyiaran harus selesai dahulu,” katanya. Dia optimistis revisi UU tersebut sudah selesai keanggotaan DPR RI periode 2009-2014 selesai.

Ketua Umum Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) Imawan Mashuri mengatakan pihaknya saat ini masih menunggu salinan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permintaan uji materi Peraturan Menteri (PM) Kominfo No.22/2011 tentang Penyelenggaraan Televisi Digital.

“Kemungkinan besok [hari ini] keluar, kami sudah tanyakan itu kenapa lama sekali,” jelasnya.

Imawan mengatakan pemerintah sama sekali tidak melibatkan televisi lokal dalam kebijakan migrasi tersebut. “Tuntutan kami waktu itu adalah kenapa ada lembaga multiplekser yang justru tidak diamanatkan dalam Undang-Undang. Atas dasar apa juga pemerintah mematikan

televisi analog pada 2018, yang bisa itu hanya pengadilan,” tegasnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Galih Kurniawan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper