Kreativitas menjadi jargon perubahan yang dikembangkan Suhartono di FIFGroup, perusahaan pembiayaan kelompok Astra ini. Tujuannya mendukung ekspansi dan memenangkan kompetisi. Bagaimana manifestasi perubahan itu dan apa kiat sang chief executive officer ini dalam membangun the winning team? Berikut petikan wawancara Bisnis dengannya belum lama ini:
Bisa diuraikan tahapan transformasi di FIF?
Sebetulnya mulai 2 tahun yang lalu kami punya satu keinginan FIF harus bertransformasi. Kami membuat satu tema, transformation to be great. Nah, dengan usia yang ke-24 ini, dan dalam proses transformasi tadi kami terpikirkan mau kemana? dan besarnya mau di mana.
Kalau di kredit mau dikembangkan ya mesti sumbernya dari kredit. Akhirnya kami mencanangkan FIF ke beberapa prospek bisnis, yang mulainya dari sepeda motor. Jadi, kami buat satu survei kecil dalam beberapa wilayah. Apa sih yang menjadi kebutuhan dari masyarakat? Pemikiran kami, hampir 70% penduduk Indonesia, [biasanya] begitu mendapat pekerjaan atau usaha [sebagian pendapatannya] larinya ke sepeda motor. Nah, dari ini kami sudah benar dengan bisnis ini tapi setelah sepeda motor apa? Disini [diketahui] mulai bias. Biasnya itu ada yang butuh rumah, ada yang mobil dan ada yang elektronik.
Selanjutnya?
Kami melihat ini kalau ke [kredit] rumah rasanya FIF berat karena funding FIF itu paling panjang 4 tahun. Kalau 4 tahun mendanai rumah kayak-nya nggak mampu. Kami lihat ada dua sektor yang menarik, yaitu elektronik dan mobil. Kami punya ‘saudara’ di Astra Group yaitu PT Astra Credit Companies [ACC] yang ngerjain mobil. Jadi kami nggak bergerak dulu, sedangkan untuk elektronik, dengan survei customer kami kemudian membuat semacam program ke mereka. Kalau mau ambil elektronik, minatnya kayak apa. Ternyata berkembang luar biasa. Jadi dari 1-2 tahun itu membesar.
Akhirnya kami memberanikan diri. Pembeli sepeda motor tidak hanya di FIF saja kan? Kami mengembangkan ini ke customer-customer mereka [kompetitor], karena customer mereka itu punya satu sumber yaitu ke diler. [Sedangkan] diler kerja samanya tidak hanya dengan satu pembiayaan. Jadi informasinya kami dapat dari satu tempat sehingga bisa mengambil prospek pembeli sepeda motor di seluruh finance company.
Pengembangan berikutya?
Kami berkembang terus. Hasil survei menyebut adanya kebutuhan mobil dan rumah, maka kami juga bertanya kepada ‘saudara’ kami ACC. Eh kamu nggak ngerjain di mana? Misalnya Papua, Ambon dan sebagainya. Kami punya cabang, maka kami berani ke sana. Mei [2013] kami mulai menjalankan bisnis ini ke mobil [untuk non area ACC]. Karena satu grup.
Inilah yang kami harapkan di usia yang ke-24, sebagai titik balik bahwa FIF itu harus menjadi grup yang besar, yang punya satu value, yang punya benefit. Benefit itu pada siapa? ya, kami mengambil satu bentuk karena kami punya Astra. Jadi filosofinya adalah kembali kepada Astra.
Apa nilai-nilai yang dikembangkan perusahaan?
Buat saya segala sesuatu itu jadi simpel kalau ada empat pilar ini, yang harus kami punya. Pilar pertama adalah bagaimana seorang leader itu menjadi magnet. Zaman kecil saya, kebetulan ada orang desa yang kadang-kadang main di rel kereta api dan meletakkan paku untuk dilindas rel kereta api untuk dijadikan magnet.
Nah, saya selalu bilang kepada teman-teman di direksi, kalau kita mau jadi terbaik maka kita harus menjadi teladan. Perusahaan nggak akan maju kalau pimpinannya nggak jadi teladan.
Apa saja contoh teladan yang Anda maksud?
Ya teladan itu artinya ketika kita berbuat baik anak buah mengikuti, tapi ketika kita berbuat jelek anak buah juga mengikuti. Nah, pilihannya adalah si leader harus berbuat baik. Saya selalu menempatkannya pada posisi jarak, jangan sampai ada jarak. Jadi kepemimpinan itu adalah jarak sebetulnya. Untuk menjadi teladan jangan jaga jarak.
Bagaimana nilai-nilai ini diimplementasikan?
Basic-nya itu ada empat. Pertama, saya ingin setiap pimpinan, karyawan FIF itu beriman apapun agamanya. Dengan iman ketika ada proses minimal unsur subyektivitasnya jadi lebih kecil dan tidak takut masalah. Teladan harus selalu disebut di setiap meeting, atau setiap kesempatan bertemu karyawan.
Apa yang kedua?
Setiap karyawan termasuk pimpinan harus punya passion untuk knowledge karena dunia ini nggak ada yang pasti. Yang pasti adalah perubahan. Ini yang memaksa saya dan teman-teman untuk membuat perpustakaan, departemen training, karena ini harus didorong agar setiap karyawan itu punya passion untuk knowledge dan akan banyak berpikir. Ketiga, adalah passion to skills, dalam kerja perlu menghasilkan maka dia harus menguasai skills artinya menguasai pekerjaannya masing-masing. Misalnya, karyawan di akuntansi ya memang harus the best di accounting. Pilar keempat adalah passion to communicate, atau agar nggak ada jarak.
Filosofi Anda?
Kita itu harus rendah hati karena orang yang rendah hati itu ditinggikan. Itu yang saya selalu katakan, low profile, nggak usah bergaya seperti finance company yang kaya, sehingga kita akan banyak dapat komunikasi.
Pengalaman hidup yang berkesan bagi Anda ?
Saya [pernah] keliling ke beberapa negara maju, dari sini saya ketahui orang yang hidupnya happy adalah orang yang melayani. Orang Jepang, Korea dan Swiss hidupnya happy itu ketika ketemu orang. Mereka mau melayani, untuk menjadi pelayan dibutuhkan spiritual. Sehingga passion saya coba improve menjadi tiga kreativitas yaitu mental kreativitas, strategi kreativitas, lalu komitmen kreativitas.
Perubahan harus timbul dari kreativitas. Ketika bersaing dalam bisnis masalah akan lebih banyak, ketika kemudian kita menyalahkan terus mental kita, menyalahkan pimpinan kita, dan sebagainya mental kita ini akhirnya jadi negatif. Ketika negatif, kita nggak bisa apa-apa. Itu yang saya sebut kreativitas mental. Kreativitas strategi contohnya dalam bisnis seperti Samsung yang strateginya kreatif dengan knowledge dan keberanian. Nah, di sinilah kami membentuk apa yang disebut the winning team.
Apa target the winning team dan siapa saja mereka?
Winning team itu terdiri dari yang muda-muda, yang berada dibawah departement head dengan usia 30 ke bawah, yang masih liar. Kami mengambil per departemen, kami tanyakan pada divisinya “kamu punya anak buah hebat? Kasih saya dua, tapi saya ambil satu. Saya ambil 12 orang dari seluruh departemen dibawah mentor yang saya tunjuk di kelas yang lebih senior, mereka harus menggarap ide-ide liar. Ke-12 orang ini berkumpul hampir sebulan 2-3 kali untuk mencari ide.
Ide ini masuk ke business development untuk digodok, benar nggak sih ide liar ini, sesuaikah dengan minat customer. Baru kalau ini sudah oke ini dibuat. Dijual ke marketing. Yang menciptakan ini adalah the winning team bersama business development. Jadi produksi menjadi bagian dari support marketing.
Apa saja produk yang dihasilkan the winning team FIF?
Dengan membuat satu riset, produk baru ini kami teruskan ke mitra kerja seperti diler. Sebagai konsultan. Karena strateginya yang tahu FIF, programnya yang tahu FIF maka si diler akan ikut, nah begitu dia jualnya bagus, terus dia loyal nggak ke FIF? Loyal, nah loyalitasnya menjadi bagian atau salah satu tujuan FIF.
Apa rencana bisnis ke depan?
Dari sisi planning ke depan kami akan tetap pada basic yaitu microfinancing. Secara bisnis ini luar biasa, 60% populasi penduduk adalah usia produktif. Saya bersama direksi dan karyawan di CSR memprioritaskan CSR di bidang pendidikan. Ini meliputi pendidikan ke guru, pendidikan ke anak, dan support untuk sekolah.
Untuk bea siswa, FIF tidak juga harus memberi beasiswa ranking pertama, ranking kedua, [yang sudah dijaring CSR perusahaan lain]. Kami cari mereka yang tidak dikasih bea siswa tapi masih termasuk orang pintar.
Selama ini dialokasikan ke sana?
Iya. Setiap saya ngajar di universitas atau sekolah, kami kasih doorprize, doorprize-nya beasiswa tetapi dengan catatan dia harus menulis. Misalnya menulis dream-nya apa, kami pilih 10 orang, jadi nggak dengan melihat yang ranking satu yang ranking dua, tapi dream-nya orang itu. Begitu dream-nya baik untuk bangsa dan negara, punya spirit, kita kasih. Dan saya bilang ke direksi untuk mengajar di universitas yang ndeso-ndeso saja ha-ha-ha ini, supaya ada keseimbangan. Jadi FIF itu mempunyai satu kreativitas dalam CSR, termasuk pengobatan, bus peduli untuk anak-anak yang yatim piatu dan orang jompo, safety riding.
Apa saja prioritas setelah 24 tahun?
Prioritasnya menjadi besar. Harus punya mindset FIFGroup itu besar. Larinya akan lebih giant. Lalu kami [mengkaji] satu produk baru, namun ini bisa terjadi jika ada regulasi pemerintah. Contohnya microfinancing, microfinancing itu di dunia dimana, salah satu adalah koperasi misalnya.
Kapan untuk produk baru ini?
Belum, karena regulasinya belum membolehkan. Contoh begini, kalau pemerintah mengizinkan membuka pegadaian oleh swasta. FIF sudah belajar, dan sudah siap. Ada tim FIF yang sudah ikut kursus pegadaian. Contoh lainnya finance company boleh punya koperasi, FIF sudah harus siap. Ketika orang finance company ribut syariah, FIF juga sudah ‘lari’, karena apa? 6 tahun yang lalu kami sudah menjalankan syariah. Tapi kami belajar.
Untuk produk/jasa baru ini, kemana FIF mencari benchmark?
Kami benchmark ke India, karena secara [demografis] karakter penduduknya sama. Di India itu kelebihannya adalah ketika orang minta kredit itu sudah by data. Ketika orang mau bikin di India DP 0%. Finance company sudah bisa mendeteksi bahwa orang ini pada posisi layak untuk diberi kredit atau tidak, di kita belum bisa. e-KTP saja baru jadi.
Apa dibalik perubahan logo FIF?
Logo FIF sidik jari, maknanya komitmen. Jadi sidik jari itu kan sesuatu yang kayak tanda tangan, komitmen. Jadi ada komitmen dari perusahaan untuk menjadi terbaik baik internal maupun eksternal.
Boleh diulas perjalanan karier Anda secara singkat?
Saya tidak pernah punya cita-cita menjadi direktur. Dulu saya cuma kepala cabang di Semarang. Jadi cita-cita saya hanya sampai kepala wilayah. Filosofi hidup saya adalah orang yang ingin selalu mendengar, dan selalu belajar dengan investasi. Setiap 10% gaji saya saya belikan buku dan saya belajar. Saya suka baca. Dari situ akhirnya saya menjadi narasumber di head office. Jadi kalau lagi rapat kepala wilayah itu banyak hal-hal baru dari saya, ini rupaya, akhirnya satu hari perjalanan sampai jadi kepala wilayah Jawa Tengah, saya dikasih juga tugas Jawa Timur.
Tiba-tiba saat krisis 1997, di tengah persoalan kredit macet, pertanyaan direksi Astra waktu itu kenapa Jawa Timur dan Jawa Tengah tetap untung [tidak macet] gitu lho. Akhirnya saya dipanggil Pak Michael [alm]. Dia minta tolong saya untuk membereskan [wilayah kerja nasional] Indonesia.
Anda terima tawaran tersebut?
Saya bilang “Ok”, asalkan komitmen Pak Michael adalah seminggu 2-3 hari. Jadi selama setahun saya itu cuma masuk Senin bahkan kadang Selasa, Rabu. Kamis saya sudah pulang ke Semarang. Dan saya statusnya tetap kepala wilayah, dalam perjalanan itu saya mengubah struktur organisasi dan sumber daya manusianya. Ide ini saya sampaikan ke Pak Michael untuk dilakukan perubahan organisasi.
Kemudian Pak Michael membujuk saya ke Jakarta, untuk dipercaya sebagai direktur. Saya bilang, “Ok Pak saya GM, nanti 1-2 tahun Pak Michael lihat, kalau memang saya cocok jadi direktur”. Jadi per Januari saya jadi GM Marketing, struktur organisasinya berubah lagi.
Setahun setengah saya dipanggil lagi untuk jadi direktur karena dalam proses setahun itu mendapat pertolongan Tuhan sehingga saya mampu memperbaiki cabang yang hancur. Waktu saya masuk itu minus Rp25 miliar, dalam setahun akhirnya profit Rp125 miliar. Akhirnya saya menjadi direktur terus proses 2-3 tahun saya jadi wakil presiden direktur, lalu jadi presiden direktur. Perjalanan saya itu kayak naik kereta ha-ha-ha.
Apakah Anda memberi motivasi khusus?
Saya tidak bisa berdiri sendiri. Kalau saya sendiri tidak cukup waktu dan tempatnya [berkoordinasi dengan tim]. Kami bicara dengan berbagai konsultan akhirnya keluarlah yang disebut e-learning dengan modul untuk belajar dan ini syarat kelulusannya untuk naik pangkat. Jadi semua karyawan di seluruh Indonesia bisa belajar dari situ, dan modulnya itu kita teruskan.
Bisa dijelaskan isi modul tersebut?
Knowledge, skill, motivasi, karena dia mau naik golongan mereka harus ikuti salah satu tes.
Dengan 24.000 karyawan, apakah ini sudah ideal?
Di multifinance itu benchmarknya susah terutama FIF. Kami buat semacam teknologi untuk menambah produktivitas, misal orang survei kalau dulu mereka datang tanya sekarang tidak perlu interview hanya scoring, dia datang hanya bawa BB, dia foto, bahwa orang itu betul rumahnya di situ, verfikasi data saja, jadi cepat mengunjungi customer tidak berlama-lama, karena dia tidak perlu interview.
Boleh dideskripsikan gaya manajerial yang sesuai dengan Anda?
Saya itu orangnya tidak bisa hidup sendiri, gila ide dari orang ain, kedua saya itu tidak bisa berdiri sendiri. Ketiga saya yakin bahwa tim saya itu lebih hebat dari saya, ketika berkumpul.
Cuma balik lagi ide itu magnet buat saya.
Bila dikerucutkan menjadi tiga, siapa saja orang berjasa dalam karier Anda?
Kalau saya bilang gini semua orang sangat penting, ketergantungan saya itu sangat tinggi terhadap orang lain, orang tua, istri, sahabat. Buat saya yang paling penting adalah satu ketika diri saya mempunyai motivasi untuk membuat orang lain itu hidup bahagia. Itu siapa? Jadi kalau saya disuruh milih tiga saya nggak bisa karena susah.
Terkait dengan ekspansi, bagaimana rencana sumber pendanaannya?
Setiap tahun kita mempersiapkan pendanaan, tahun ini mempersiapkan hampir Rp17 triliun dalam bentuk plafon, artinya komitmen yang sudah kita tanda tandangani antara FIF dengan partner. Kami baru dapat dari Jepang kurang lebih Rp2,5 triliun, sudah positif terdiri dari beberapa bank Jepang, obligasi Rp2,4 triliun, dari equity hampir Rp4 triliun, sisanya dari lain-lain, kira-kira tahun ini plafon Rp17 triliun aman.
Pewawancara: T. Naufalty Tsani & Roni Yunianto
Biodata
Nama: Suhartono
Tempat/Tgl Lahir/Usia: 56 Tahun
Pendidikan: Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, 1982.
Pengalaman Karier:
Presiden Direktur PT Federal International Finance, 2007
Vice President Director FIF, Grup Astra 2001-2007
Direktur FIF, 1998-2001
General Manager Marketing FIF, 1997-1998
Region Head FIF Jateng, DIY, dan Jatim, 1993-1997