Eddy Ganefo : Bisnis Membahagiakan Orang Lain

Sitta Husein
Rabu, 27 Maret 2013 | 08:12 WIB
Bagikan

Menapaki tangga bisnis satu demi satu hingga meraih sukses. Itulah yang dijalani oleh Eddy Ganefo. Kini dia bukan saja berhasil sebagai pebisnis, melainkan juga sebagai organisatoris. Dia menjadi Preskom PT Delima Engineering dan Presdir PT Dinamisator yang menggeluti pembangunan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Sejalan dengan bisnisnya, dia juga dipercaya sebagai Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi). Bisnis Indonesia berkesempatan berbincang dengannya. Berikut petikannya:

Sebagai salah seorang tokoh organisasi properti, tentu Anda berkontribusi untuk mengatasi masalah permukiman khususnya di Jakarta? Bagaimana pandangan Anda?

Permukiman kumuh diakibatkan urbanisasi. Permukiman kumuh ada yang liar, tapi juga ada yang legal. Langkah Gubernur DKI Joko Widodo ingin merumahkan masyarakat di daerah kumuh ini sejalan dengan Apersi.

Walaupun pemerintah membangun hunian itu pakai APBD, tidak menyertakan investor, itu bukan masalah bagi Apersi. Kami memberi pemikiran, bukan berarti mau masuk dan menikmati APBD. Pengembang tidak mungkin masuk melalui APBD, beda dengan kontraktor.

Pengentasan permukiman kumuh tidak mudah, karena mereka mencari nafkah di sekitar kediamannya. Selama ini pengentasan kawasan kumuh seperti memencet balon. 

Kawasan kumuh digusur, lalu dibangunkan area bisnis, tetapi warganya diusir ke tempat lain, sehingga muncul persoalan baru. Untuk mengentaskan kawasan kumuh, harus disediakan dulu tempat tinggal sementara.

Walaupun mereka ilegal?

Ya, terlepas dari mereka legal ataupun ilegal. Kalaupun mereka ilegal, kan tidak mungkin diusir dari Jakarta.

Hunian sementara itu jangan terlalu jauh dari lokasi tempat tinggal mereka semula. Setelah ditempatkan di hunian sementara, barulah kawasan kumuh itu ditata. Dilihat apakah di situ bisa dibangunkan hunian vertikal. Perlu dibuatkan juga pengelompokan hunian, karena tidak semua mereka mampu membeli hunian itu nantinya.

Bagi mereka yang benar-benar tidak mampu, yang untuk makan pun susah, ini pun harus punya tempat tinggal. Kalau tidak, mereka akan membuat kekumuhan lagi. Artinya, mereka harus dibuatkan hunian singgah secara gratis yang berlaku 2 sampai 5 tahun. Harus secara gratis. Disuruh sewa tidak mampu, apalagi beli.

Bagaimana biaya pemeliharaannya?

Ini tanggung jawab pemerintah pusat ataupun daerah sesuai dengan UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Selain diberikan hunian singgah secara gratis, mereka [warga dari permukiman kumuh] diberikan pelatihan atau dibagikan pengalaman untuk meningkatkan perekonomian mereka. Kalau perlu diberi pinjaman lunak untuk modal.

Bagi mereka yang kemudian mencapai tahap telah mampu, mereka diharuskan menyewa. Dilihat lagi kalau mereka benar-benar mampu, wajibkan membeli agar hunian itu menjadi miliknya. Lokasi diusahakan sedekat mungkin dengan tempat tinggal awal. Jika pun agak jauh, kemudahan akses transportasi harus disiapkan.

Rencana dukungan Apersi?

Asal diajak bicara, kami bisa mendukung dengan membuatkan hunian berikut pasarnya. Kalau disediakan lahan kosong, kami bantu pembangunannya dengan menerapkan subsidi dari hunian yang dijual dengan harga komersial terhadap hunian bersubsidi. Bisa dibuatkan di lantai berbeda kalau berupa hunian vertikal. Bisa juga di lahan sebelahnya dibuatkan hunian komersial.

Soal penyediaan lahan, bisa memanfaatkan lahan tidur milik BUMN. Tinggal tergantung pada Pak Dahlan Iskan [Menteri BUMN].

 

Kenapa memilih bisnis properti terutama membangun rumah murah?

Daerah asal saya daerah kopi. Saya jualan kopi dari 1984, begitu tamat SMA. Saya jualan sampai ke Lampung, memasukkannya ke beberapa hotel. Hasil menjual kopi termasuk yang membiayai sekolah.

Jadi, sebenarnya tidak bisa disebutkan sebagai memilih apa yang saya jalani sekarang. Saya sempat jadi kar¬yawan juga. Dulu saya ikut pemborong listrik swasta, lalu kerja di PT Bukit Asam (Persero) Tbk.

Maka, setelah itu saya masuk ke PT Wijaya Karya (Persero) Tbk bidang koordinator pemasaran ditempatkan di Kalimantan sampai 2000.

Pada 2000 saya berpikir sebagai karyawan lebih tergantung pada atasan. Akhirnya buka usaha sendiri, kembali ke Palembang. PT Dinamisator. Mulai 10 tahun lalu mulai main perumahan di Bekasi dan Tangerang sebagai kontraktor. Di sini saya mulai tertarik dengan rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Di daerah biasa lihat rumah besar, saya sempat tidak sampai hati membangun rumah kecil. Tapi saat ada seorang ibu mau akad kredit, dia menangis ketika melihat saya. Saya pikir ibu itu pasti menangis karena marah dibangunkan rumah kecil.

Tapi ternyata dia menangis karena berterima kasih, karena dengan dibangunnya rumah itu maka dia bisa punya rumah. Dia menangis terharu, senang.

Ini momentum yang membuat saya menekuni bisnis penyediaan untuk MBR. Ternyata bisnis ini bukan hanya kita mendapat keuntungan, lebih dari itu kita bisa membahagiakan orang lain. Jadi, berbisnis itu bukan sekadar untuk cari untung. Kita bisa membahagiakan orang lain dan itulah yang membuat kita lebih bahagia lagi.

Bagaimana dengan keluarga?

Keluarga adalah orang-orang yang paling dekat dengan kita. Mereka harus tahu dan merestui langkah apapun yang kita lakukan termasuk pekerjaan.

Memang sempat ada beberapa kelompok masyarakat Palembang yang menginginkan saya untuk maju dalam pemilihan wali kota. Sosialisasi sudah sempat kami lakukan.

Dalam perjalanan ternyata istri saya hamil lagi padahal usianya sudah 43 tahun dan September 2012 saya dianugerahi putra pertama setelah kedua kakaknya putri yang sudah berusia 21 tahun dan 19 tahun. Ini benar-benar tidak kami rencanakan.

Saya konsultasi dengan istri, dia ingin saya mengutamakan keluarga setelah ada momongan baru. Saya putuskan untuk menarik diri dari pencalonan wali kota.

Sebagai pengusaha, apa yang paling berkesan?

Saat saya melihat ibu yang menangis tadi. Kita bisa membantu MBR untuk mendapatkan hak mereka. Rumah merupakan hak manusia paling mendasar.

Bagaimana mengenai kebijakan perumahan?

Pembangunan perumahan sempat tidak maksimal karena terjadi perubahan regulasi yang tidak memiliki masa transisi yang memadai. Pada 2009 ke 2010 terjadi penurunan pembangunan rumah MBR.

Hal ini terutama disebabkan oleh pembatasan subsidi hanya untuk hunian dengan luas 36 m2 seperti tertuang pada UU No. 1/2011. Untung sekarang kebijakan itu sudah diubah karena judicial review yang diajukan Apersi ke Mahkamah Konstitusi.

Untung ketentuan itu diubah. Kalau tidak, bisa terjadi penggusuran rumah-rumah kecil yang luasnya di bawah 36 m2 dan itu mendorong munculnya pelanggaran hak asasi manusia.

Pembatasan subsidi itu bukan hanya menyulitkan masyarakat kecil untuk punya rumah, tapi juga memukul pengembang kecil yang membangun rumah dengan luas kurang dari 36 m2.

Apa peran Tuhan bagi Anda?

Allah luar biasa berperan dalam kehidupan kita. Dengan semakin menjalankan perintah-Nya, maka akan semakin terasa pula apa yang diturunkan-Nya kepada kita.

Banyak sekali kejadian yang menunjukkan bahwa kalau kita mendekati-Nya, maka Allah semakin mendekat pula kepada kita. Contoh besar antara lain saya diberi momongan baru. Padahal sebenarnya saya sudah merasa puas diberikan dua putri yang sudah dewasa.

Hal lainnya, siapa yang menyangka saya akan menjadi Ketua Umum Apersi. Dalam diri saya juga tidak pernah menjanjikan untuk menjadi developer.

Saya berpegang kepada surah Al-‘Ashr yang mengingatkan bahwa setiap orang sebenarnya dalam kerugian kecuali yang tolong-menolong dalam kebaikan dan mengingatkan dalam kesabaran.

Jadi, prinsipnya kita tidak boleh merugikan diri sendiri, jangan pula merugikan orang lain, juga jangan sampai merugikan alam. Kalau setiap orang Indonesia menjalankan Indonesia, kita semua akan sejahtera, karena memang alam kita sudah sangat kaya.

Adakah cita-cita yang sampai saat ini belum tercapai dan masih terus diperjuangkan?

Klise. Saya ingin negara dan masyarakatnya sejahtera. Karena saya main perumahan, maka salah satu tolok ukur utama kesejahteraan bila satu keluarga telah punya rumah.

Idealnya harus memiliki, bukan menyewa yang setiap saat bisa saja diusir oleh pemiliknya. Ini hak dasar. Dalam agama pun disebutkan “rumahku adalah surgaku”.

Saya tidak bangga kalau ada menteri yang menggadang-gadang pembangunan rumah yang cukup banyak, tetapi ternyata itu adalah rumah menengah atau mewah.

Membangun rumah menengah dan mewah tidak membantu dalam proses pengentasan orang-orang yang tidak punya rumah, karena pembelinya rata-rata sudah punya rumah.

Tetapi, kalau developer yang membangun rumah-rumah murah, saya senang, karena pembelinya memang membutuhkan sebagai rumah pertama.

Saya juga punya pemikiran bagaimana menyenangkan orang lain agar kita juga semakin senang. Saya ingin menciptakan developer-developer baru dengan cara melatih mereka. Mereka magang di perusahaan saya. Kalau mereka bisa sharing di permodalan, ya mereka juga ikut punya saham.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Sitta Husein
Editor : Others
Sumber : M. Syahran W. Lubis
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper