JAKARTA: Sukses seseorang dalam meniti karier, tak bisa dilepaskan dari perjalanan masa lalu. Segetir apa pun masa lalu yang dilakoninya, pengalaman tersebut telah mampu menempa diri seseorang untuk tampil lebih baik dan kuat.
Tentu dengan catatan orang tersebut berani bangkit, berusaha terus maju, dan memaafkanmasa lalunya itu. Saat berada di titik sukses, pun sesekali boleh saja kita menilik kisah silamdemi sekadar mengingatkan dan merefleksikan diri.
Dari situlah tersadar bahwa kesuksesan yang diraih saat ini merupakan buah perjalanan panjang, bukan capaian sesaat yang bisa diraih dalam waktu singkat. Sukses bukan hanya milik mereka yang berasal dari kasta Brahmana dalam lakon pewayangan Mahabharata.
Sukses bisa lahir dari mana pun dengan talenta apa pun. Pesan inilah yang tertangkap kuat dari sosok Yuliasiane Sulistiyawati, Presiden Direktur PT Pazia Pillar Mercycom sebuah perusahaan yang bergerak dalam penjualan produk teknologi informasi.
“Boro-boro mikir punya cita-cita. Waktu saya kecil yang ada mikir uang buat makan sama sekolah,” ujarnya saat ditanya mimpi kecilnya.
Sianne, begitu biasa dirinya disapa merupakan anak ke-5 dari tujuh bersaudara. Saat selesai menempuh pendidikan di bangku sekolah menengah atas (SMA), semangat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi menyala kuat.
Hanya saja, keinginan tersebut terbentur dengan kondisi keluarga. Meski demikian, Sianne tak kurang akal mencari perguruan tinggi yang memiliki biaya terjangkau dan mampu memberinya jaminan beasiswa.
Lulus dari SMA Bernardus di tanah kelahirannya Pekalongan pada 1991, Sianne memperoleh kesempatan masuk ke Univeritas Bina Nusantara dengan mengambil jurusan Teknologi Komputer dan Manajemen Informasi.
“Waktu itu Binus merupakan kampus yang biayanya paling murah. Kalau nggak salah cuma Rp500.000. Beberapa bulan setelah masuk, saya sembari nyambi kerja. Pernah jadi asisten dosen dibayar Rp125.000. Merasa tidak cukup, jadi programmer di WRI [Widya Rahardjo Informatika] dengan gaji Rp400.000,” kenangnya.
Pengalaman ini bukanlah yang pertama kali dilakoni Sianne. Menurutnya, sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dirinya sudah terbiasa bekerja. Mengajar anak sekolah dasar (SD) menyulam atau membuat taplak meja, merupakan cara dirinya membantu keuangan keluarga kala itu.
Selesai dengan kuliahnya pada 1996, tak butuh waktu lama bagi ibu dua anak ini merengkuh pekerjaan sebagai tenaga profesional. Mulai Januari 1996, Sianne berlabuh di Digiland Indonesia, Pte. Ltd sebagai seorang General Manager.
Profesional & Fokus
Digiland merupakan distributor komputer dan aksesori sejumlah merek terkenal. Selama 8 tahun lamanya, Sianne bekerja di Digiland. Belajar dari pengalaman keluarga yang berlatar belakang pedagang, dia memutuskan mengambil jalan menjadi seorang entrepreneur.
Alhasil, mulai Juni 2004, Sianne mendirikan bisnis sendiri dengan label usaha pazia yang berarti emas dalam bahasa Italia. Sejumlah gerainya di Jakarta hadir antara lain di Grand Indonesia dan FX Lifestyle mall.
Kiat sukses, dalam sudut pandangnya merupakan sebuah ikhtiar pekerjaan dengan profesional dan fokus. Setiap manusia, menurutnya pada dasarnya memiliki kesamaan. “Tinggal bagaimana cara melihat peluang,” katanya.
Melihat peluang ini, dibutuhkan keterampilan, talenta, keberuntungan, kegigihan, konsisten, dan kesabaran dalam menjalankan pekerjaan serta kehidupan.
“Kadang yang orang lihat hanya suksesnya saja, tidak lihat prosesnya. Misalnya gagal, seolah dirinya yang paling gagal, terpuruk terus-menerus tidak mau bangkit. Padahal bisa saja di sekitar dia ada yang lebih terpuruk,” jelasnya.
Satu yang menarik, Sianne mengaitkan gayanya dalam memimpin perusahaan dengan hobi berkudanya. Terlihat aneh memang, tetapi kegemaran ini terbukti jitu menempa dirinya dalam memimpin bisnis yang digelutinya.
Menurut dia saat berada di atas kuda alias joki mengajarkan dirinya terhadap banyak hal, terutama menjadi seorang leader dan mengajarkan cara bekerja sama.
“Saat di atas punggung kuda, kitalah yang harus mengendalikan kuda. Kita juga harus fokus. Sepintas mungkin terlihat cuma duduk, tetapi tangan, punggung, badan kita bergerak. Sedikit saja mengirim instruksi yang salah ke kuda, gerakan kuda juga berbeda, tidak sesuai yangdiinginkan,” paparnya.
Itu sebabnya, Sianne menanggalkan gaya kepemimpinan ‘one man show’. Dia lebih memilih manajerial yang dibangun atas dasar kebersamaan dan team work. Dia tak menginginkan seluruh keputusan yang diambil harus berasal dari dirinya, karena perusahaan berjalan atas dasar kesatuan tim.
Share, care, and love, inilah yang menjadi tapa laku Sianne dalam menjalankan hidupnya kini. Prinsip tersebut menggambarkan, ketika kita bisa mulai berbagi dengan orang lain, maka kita bisa peduli. Begitu pula, saat kita biasa berbagi dan peduli atau perhatian kepada orang lain, kita bisa mencintai orang lain.
Bagi dirinya, kehidupan ini tak bisa berdiri sendiri. Perlu ada tenggang rasa dan sikap saling membantu satu dengan yang lainnya.
Masihkah dia memiliki obsesi di tengah sukses yang telah digenggamnya? Pasti. Hanya saja, dia masih enggan mewujudkannya.
Sewaktu kecil, dia punya tiga keinginan di antaranya pergi ke Alaska AS, membantu orang lain, dan menunggangi Kuda Jingkrak alias mobil Ferrari.
Dua obsesi awalnya tercapai, menginjakkan kaki di tanah Alaska dan membantu orang lain lewat program tanggung jawab sosial perusahaannya.
Obsesi terakhir, membeli Ferarri masih dipendamnya. “Kalau saya beli, berarti semua obsesisaya terwujud,” katanya. Bener juga sih, nggak ada tantangan hidup kalau semua keinginan tergapai. Bukan demikian…? ([email protected]) (sut)
*) Artikel ini disadur dari edisi cetak Bisnis Indonesia Weekend terbitan Minggu 29 Juli 2012