Richard Budihadianto : Tidak mau ambil keputusan saat kepepet

News Editor
Rabu, 11 Januari 2012 | 10:19 WIB
Bagikan

Kariernya sebagai ‘perawat' pesawat terbang ternyata tidak terlalu jauh dari cita-cita Richard Budihadianto semasa kecil yang ingin jadi pilot pesawat tempur.

 

Sebagai Direktur Utama PT GMF AeroAsia, anak usaha dari maskapai Garuda Indonesia, dia mampu meraih kepercayaan maskapai asing untuk memercayakan perawatan pesawat segera setelah dilakukan spin off dari induk usahanya.

 

Kepada Bisnis, dia mengungkapkan bagaimana sepak terjang dan kiat bisnisnya dalam memperkuat posisi perusahaan dan strategi dalam menangani krisis. Berikut petikan wawancaranya:

 

Bagaimana perjalanan bisnis GMF AeroAsia?

 

Garuda Maintenance Facility (GMF) pada awalnya merupakan direktorat teknik Garuda Indonesia. Pada1990an, utilisasi GMF jauh di bawah kapasitas terpasang, yakni ketika bisnis Garuda merosot terus akibat krisis moneter dan hanya punya sekitar 50 unit pesawat. Padahal GMF didesain untuk merawat 200-300 pesawat Garuda. Untuk itu, diambil langkah spin off [pemisahan] dari Garuda Indonesia, dengan tujuan untuk mencari pelanggan lain. Pada 2002, GMF akhirnya di-spin off dari Garuda Indonesia.

 

Sebelum spin off, kami berusaha mendapat approval dari otoritas penerbangan sipil Amerika Serikat [FAA] pada 1995 dan dari Eropa [EASA]. Syarat bengkel pesawat itu yang mengerjakan perawatan, perbaikan and MRO [overhaul] harus mendapat approval dari FAA dan EASA agar dapat diterima dunia internasional. Perusahaan leasing pesawat terbang juga minta persyaratan itu, sehingga kami berjuang untuk memperoleh pengakuan itu.

 

Kondisi sekarang?

 

Sekarang jumlah karyawan GMF sekitar 3.000 orang. Kami menerapkan marketing strategy khusus agar meraih investor internasional yang memang agak beda dengan perusahaan domestik. Kita tidak hanya sekadar menawarkan jasa, tetapi juga partner yang melayani pelanggan. Strategi ini memberi nilai tambah bagi pelanggan.

 

Contohnya dengan Garuda, GMF turut menjamin OTP [on time performance/tingkat ketepatan waktu terbang], yang hal ini terkait dengan kepuasan penumpang Garuda. Misalnya, delay akibat masalah teknis ditargetkan maksimal 1,8%. Kalau lebih tinggi dari yang kami bersedia dikenai penalti atau denda. Tidak semua bengkel pesawat mengambil langkah seperti itu.

 

GMF juga aktif memasarkan jasa di luar negeri seperti Dubai yang pernah dilakukan saat pameran pada 2011. Ketika itu kami mendapat kontrak senilai US$173 juta dengan sembilan perusahaan, di mana delapan di antaranya perusahaan asing dan hanya satu maskapai lokal yakni Sriwijaya Air untuk perawatan mesin pesawat.

 

Sekarang, sekitar 80% pelanggan GMF berasal dari luar negeri, namun kontribusi pendapatannya masih berkisar 25%, mayoritas berasal dari Garuda Indonesia. Garuda sekarang menyumbang revenue sekitar 70%. Untuk itu, kami terus mengembangkan bisnis untuk mendapatkan revenue dari pihak ketiga.

 

Apa kondisi tersulit yang pernah Anda dialami?

 

Pasca-spin off pada 2003-2006, waktunya bagi kami untuk konsolidasi. Pada saat itu kondisi Garuda Indonesia, induk perusahaan kami, belum baik. Namun pada 2007, akhirnya GMF sudah mampu menghasilkan pendapatan yang baik dan sejak itu kami sudah untung.

 

Pada 2008 akhir, perekonomian dunia kembali mengalami krisis, tetapi dampaknya baru terasa pada 20092010. Biasanya, kalau terjadi krisis ekonomi, maskapai tidak langsung terkena dampaknya. Baru 1,5 tahun kemudian penumpang maskapai mulai berkurang hingga terpaksa grounded pesawat terutama pesawat kargo. Pelanggan GMF kebanyakan perusahaan freighter atau kargo. Pesawat kargo ini merupakan yang paling sensitif terhadap krisis ekonomi, begitu ekonomi down, langsung terasa imbasnya. Penurunan pendapatan pernah GMF alami pada 2010 hingga 20% pada 2010, tetapi demikian kami masih untung.

 

Pada 2010 kami mulai investasi lagi dengan merekrut karyawan baru untuk persiapan menyongsong 2015. Pada 2008 kami merekrut 420 orang, dan pada 2009 sebanyak 400 orang, sedangkan 2010 sebanyak 200 orang.

 

Masalah lain yang mengharuskan dilakukan perekrutan adalah pertumbuhan pasar. Saat Garuda kesulitan pada1996-2008, GMF menghentikan perekrutan sehingga timbul gap besar karena banyak karyawan yang mulai pensiun. Kalau tidak merekrut pegawai baru, pada 2012 akan banyak lagi yang pensiun. Padahal untuk membangun sumber daya manusia butuh waktu 5 tahun.

 

Meskipun terjadi krisis ekonomi global, pada 2009 industri penerbangan terus berkembang. Krisis 2008 ternyata tidak lama. Industri penerbangan domestik tetap jalan, dan penumpang terus bertambah.

 

Pernahkah Anda mengambil keputusan yang keliru?

 

Sejauh ini tidak ada yang signifikan karena keputusan diambil tidak sendirian. Yang jelas, kalau mau mengambil keputusan harus ada waktu yang cukup. Saya tidak mau ambil keputusan saat kepepet ataupun saat terpojok.

 

Kita harus bisa mengaturnya untuk mengurangi kesalahan dalam mengambil keputusan. Dalam mengambil keputusan saya tidak pernah punya konflik apalagi menyesal. Keputusan nonbisnis, misalnya, melakukan PHK [pemutusan hubungan kerja], saya melakukannya dengan objektif. Saya pernah pecat teman sendiri. Ini sangat berat. Namun, aturan harus dipakai, kalau tidak dipecat dampaknya akan buruk ke karyawan lain. Kalau keputusan bisnis, tentu dilakukan bersama-sama direksi lain.

 

Adakah keputusan yang monumental?

 

Kalau dibilang monumental, mungkin ya keputusan spin off GMF dari Garuda Indonesia. Dengan spin Indonesia. Dengan spin off, kinerja Garuda tidak terbebani lagi. Saat itu saya masih menjabat direktur teknik Garuda dengan dirutnya Pak Abdul Gani. Setelah spin off, saya menjadi wakil pemegang saham untuk duduk sebagai presiden komisaris. Memperjuangkan untuk spin off tidak mudah.

 

Jika terjadi situasi krisis apa yang Anda lakukan?

 

Pertama yang saya lakukan adalah efisiensi yang efektif. Akan bentuk tim khusus untuk menekan biaya secara hatihati, dengan tetap menjaga pertumbuhan. Intinya cost effectiveness yakni mengurangi biaya tanpa menurunkan kinerja. Buat kami, krisis itu ternyata diperlukan. Adanya krisis membuat kita lebih kuat karena sistem menjadi lebih tepat sesuai kemampuan kita. Saat berlangsung krisis ekonomi di Eropa sekarang ini, kami sudah berpengalaman menghadapinya.

Apa aksi korporasi berikutnya?

 

Kami akan meningkatkan kapasitas, dan kini sedang meminta persetujuan ke pemegang saham untuk menambah satu hanggar di Cengkareng sehingga seluruhnya menjadi empat hanggar. Saya ingin ekspansi ke wilayah Indonesia timur. Di sana seharusnya ada satu bengkel perawatan, ini yang sedang saya pikirkan.

 

Pembicaraan dengan PT Angkasa Pura I selaku pengelola bandara sudah dilakukan. Rencananya dibangun di Makassar dan Denpasar. Untuk bagian barat Indonesia, kemungkinan di Bandara Kuala Namu Medan. Anggaran yang sudah dibicarakan sekitar Rp110 miliar untuk menambah peralatan dan penggantian alat di satu hanggar. Skemanya, akan dilakukan lewat leasing bangun hanggar, di mana investor lain yang membangun hanggar, GMF bayar dengan konsesi 20 tahun yang kemudian dimiliki.

 

Untuk membangun hanggar baru di Cengkareng diperkirakan butuh dana sekitar US$40 juta yang ditargetkan selesai pada kuartal III/2012, sehingga nantinya dapat menampung 16 pesawat Naero Body.

 

Pembangunan bengkel ini sangat perlu, karena bengkel pesawat di Tanah Air hanya mampu menyerap 30% dari total kebutuhan perawatan pesawat nasional. Sisanya 70% terpaksa dirawat di bengkel luar negeri. Apalagi nantinya maskapai Lion Air yang sudah memesan ratusan pesawat baru, membutuhkan bengkel perawatan. Belum lagi dengan adanya Open Sky pada 2015, industri penerbangan harus siap termasuk bengkel dan bandaranya.

 

Kami juga ada rencana melakukan pencatatan saham perdana atau initial public offering [IPO] di Bursa Efek Indonesia.

 

Sekarang kami masih mengevaluasi kapan akan go public. Mungkin tidak keseluruhan GMF yang go public, tetapi bisa saja spin off satu divisi, misalnya, bidang overhaul pesawat berbadan besar.

 

Bagaimana penyiapan kader pemimpin di GMF?

 

Tentu sudah kita siapkan. Pembi naan staf ada di setiap layer. Kadang kala, saat raw materialnya harus diisi, belum tentu ada orang yang 100% siap menggan tikan. Orang berhasil memegang jabatan kalau sudah mencoba.  Untuk itu, saya memberi ke sempatan setiap direksi untuk menggantikan saya saat tidak dinas. Dari situ bisa saya nilai kapasitas mereka. kapasitas mereka.

 

Apa cita-cita Anda saat kecil?

 

Dulu cita-citanya saya menjadi pilot pesawat tempur. Dulu saya tinggal di kompleks AURI [Angkatan Udara Republik Indonesia]. Saya suka sekali main di lapangan terbang. Kalau tidak masuk jadi pegawai negeri, ya saya masuk Akabri. Namun sekarang malah kerja di bengkel pesawat.

 

Siapa tokoh idola Anda?

 

Sejak 1989 saya kenal nama Jack Welch, Chief Exe cutive Officer General Electric.Buat saya, Jack Welch sangat agresif dan bersemangat. Kebetulan saya pernah bertemu di Jakarta dua kali dan di Amerika Serikat satu kali. Dia begitu bersemangat. Karyanya mem bawa GE menjadi perusahaan terbaik di dunia.

 

Siapa yang paling berperan mendukung karier Anda?

 

Keluarga tentunya. Mereka sejauh ini mengerti pekerjaan saya. Makanya saya bisa bekerja dengan tenang. Untuk itu saya perlu menjaga keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan.  Keseimbangan itu relatif. Ming gu saya alokasikan khusus untuk keluarga, Sabtu separuh bekerja, separuh untuk keluarga. Cuti saya sudah jadwalkan pas anak-anak libur sekolah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : News Editor
Editor : Sitta Husein
Sumber : Berliana Elisabeth S.
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper