Bisnis.com, JAKARTA -- Sebagai negara terbesar kedua di Asia Pasifik, Indonesia kini tengah berhadapan dengan besarnya potensi kerugian akibat penipuan periklanan.
Menurut Mobile Marketing Association (MMA), total kerugian akibat penipuan periklanan di Indonesia pada 2019 bisa mencapai US$120 juta, dengan sektor-sektor industri yang menjadi target adalah dagang-el, teknologi finansial, fast moving consumer goods (FMCG), dan industri gim.
Country Manager MMA Indonesia, Shanti Tolani, mengatakan, tingginya penetrasi ponsel mobile, pesatnya pertambahan jumlah penggunaan metode e-payment, serta pengeluaran yang besar di ranah digital dan market daring, menjadi penyebab tingginya potensi penipuan periklanan di Indonesia.
"Kurangnya kesadaran dan pengetahuan digital juga berkontribusi terhadap maraknya penipuan periklanan. Oleh karena itu, sangat peting bagi setiap orang di dalam ekosistem periklanan untuk mengedukasi diri sendiri dan industri serta saling berbagi pengalaman," ujarnya dalam acara pemaparan masalah penipuan periklanan di Jakarta akhir pekan lalu.
Hal yang juga menjadi masalah, yakni pola dari tindakan penipuan selalu berubah-ubah. Namun, penipuan berbasis kesan-kesan dan berkedok atribusi menjadi cara yang paling umum digunakan oleh pelaku.
"Dan sulit untuk menentukan otentisitas ataupun mendeteksi hal-hal mencurigakan dari keduanya," imbuh Shanti.
Penipuan dikatakan lebih cenderung mengacu pada hal-hal tertentu di dalam trafik sebuah situs. Pola yang digunakan bisa saja dengan melakukan penipuan di satu situs selama satu pekan dan di situs lain pada pekan berikutnya.
Adapun, terdapat tiga dampak utama akibat penipuan periklanan; pertama, hal tersebut merugikan para pengiklan yang mengeluarkan biaya besar; kedua, merugikan publisher dengan menodai reputasi serta memengaruhi pendapatan; ketiga, penipuan menyebabkan adanya pergeseran di dalam ekosistem periklanan yang berakibat kepada terjadinya perselisihan dan kebingungan.
Leader Digital, Mindshare, Maneesheel Gautam, menambahkan, instalasi dan iklan bodong, klik bot, serta trafik yang tidak valid saat ini menjadi kekhawatiran utama bagi para pelaku pasar digital.
"Industri periklanan layak mendapatkan situasi yang akuntabel guna meyakinkan bahwa praktik penipuan tersebut benar-benar telah dihilangkan," ujar Gautam.
Dalam praktiknya, penipuan periklanan melibatkan banyak pihak, mulai dari peretas, black market yang menjual perangkat lunak, makelar trafik, dan publisher yang dalam tingkatan tertentu sadar atas praktik penipuan yang berlangsung.
Namun, tidak seluruh aspek di dalam penipuan periklanan berstatus ilegal, dan aspek-aspek tersebut biasanya dimanfaatkan oleh pelaku penipuan di negara yang acuh tidak acuh serta memiliki aturan siber yang pelaksanaannya tidak efektif.
Adapun, pada 2017 penipuan periklanan dilaporkan telah menyebabkan kerugian senilai US$16,4 miliar secara global.
Presiden Direktur PT Unilever Indonesia Tbk., Hemant Bakshi, menambahkan click fraud telah memberikan keuntungan lebih dari US$20 juta setiap bulan kepada para pelaku, di mana bot dikatakan bisa mencapai 90% dari jumlah klik di periklanan digital.
"Perusahaan besar harus lebih mampu mengontrol serta meningkatkan visibilitas tempat mereka beriklan," ujarnya.
Agar dapat mengatasi penipuan periklanan dengan efektif, studi MMA mengatakan perlu dibangun teknik-teknik canggih dengan pemanfaatan data science, serta melakukan pengembangan terhadap situs yang digunakan untuk beriklan.
Dengan memanfaatkan teknik-teknik tersebut sebagai pondasi, maka teknologi yang diterapkan pun akan memberikan pembelajaran kepada pelaku pasar mengenai penipuan periklanan, serta membantu para pelaku pasar dalam membuat keputusan ketika berhadapan dengan penipuan.