OPINI: Inovasi Digital dan Diplomasi Ekonomi Mikro

Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - “Sari-sari”, yang dalam bahasa Tagalog berarti beragam atau bervariasi, adalah toko barang kebutuhan sehari-hari (convenience store) yang dikelola para wanita pengusaha mikro (nanay) di rumah mereka.

Sejak berdiri pada 2007 lalu, Hapinoy memberdayakan lebih dari 12.000 pengusaha mikro wanita pengelola “sari-sari” yang belakangan dikenal dengan nama Hapinoy Negosyantes.

Satu tahun setelah mendirikan Hapinoy, tepatnya pada 2008, saya berkesempatan bertemu dan berkeliling bersama Mark Joaquin Ruiz, pendiri Hapinoy dan mengamati aktivitas pengelolaan toko “sari-sari” yang menjadi mitra mereka.

Di wilayah yang hanya berjarak sekitar dua jam dari Manila, saya mendapati budaya dan aktivitas ekonomi yang mirip dengan Indonesia. Filipina dan Indonesia punya banyak kesamaan. Mulai dari perilaku jual-beli konsumen, pengelolaan keuangan, penetrasi digital hingga fondasi ekonomi.

Untuk fondasi ekonomi, keduanya adalah negara di Asia Tenggara yang membuktikan perekonomian mampu tumbuh dari bawah atas dorongan kreativitas para wirausahawan mikro. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa UMKM menyumbang hingga 60% Produk Domestik Bruto dan menyerap 97% tenaga kerja di Indonesia. Adapun UMKM di Filipina mencakup 99,56% dari total perusahaan dengan menciptakan 62,9% dari total lapangan kerja.

Soal pengelolaan keuangan, laporan Global Financial Inclusion Index (Findex) Bank Dunia 2017 menyebutkan lebih dari 70% masyarakat Indonesia dan Filipina menyukai pembayaran upah secara tunai. Terkait dengan penetrasi digital, mengutip WeAreSocial 2018, cakupan pengguna telepon genggam di kedua negara juga melampaui rata-rata dunia, sehingga menjadi potensi besar dalam membangun ekonomi digital.

Data Bank Sentral Filipina mencatat pada 2017 sekitar 77% masyarakat di negara ini unbanked, 60% melakukan transaksi secara tunai, dan 80% melakukan remitansi melalui counter yang menciptakan antrian luar biasa. Belum lagi ongkos remitansi yang tidak murah.

Masalah inilah yang berusaha dipecahkan oleh Coins.ph. Tahun lalu saya bertemu dengan Ron Hose, pendiri dari Coins.ph. Dia bercerita mengenai banyaknya tenaga kerja Filipina yang setiap tahunnya menghabiskan satu bulan gaji hanya untuk biasa transfer dana. Ron dan timnya juga memiliki passion yang sama untuk membantu UMKM di Filipina agar bisa naik derajatnya.

Tidak lama kemudian, kami ajak Ron dan timnya untuk bergabung dan Go-Jek mengakuisisi mayoritas saham Coins.ph. Kesamaan visi memperluas inklusi keuangan dan menciptakan ekosistem digital inilah yang membuat Go-PaY dan Coins.ph berkolaborasi.

Pengalaman dan model bisnis kedua perusahaan diharapkan menjadi modal mengakselerasi ekonomi digital dan inklusi keuangan berbasis UMKM di Asia Tenggara.

Selama ini, Coins.ph memberikan berbagai layanan seperti transaksi pengisian saldo, remittance (transfer valuta asing), dan pembayaran tagihan langsung melalui telepon seluler. Memang mirip seperti yang dilakukan Go-Pay di Indonesia.

Remitansi menjadi sebuah layanan keuangan sangat krusial di Filipina. Data Bank Dunia menyebut Filipina menjadi negara ketiga terbesar di dunia dengan nilai remittance pada 2018 mencapai US$34 miliar setelah India (US$80 miliar) dan China (US$67 miliar).

Hal ini wajar karena 1 dari 10 masyarakat Filipina bekerja di luar negeri, yang biasa disebut dengan OFW atau Overseas Filipino Workers. Akan tetapi remitansi memiliki masalah sendiri dimana penerima dolar hasil kerja keras OFW belum memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan formal di Filipina (unbanked).

Di Indonesia, Go-Pay terus berupaya mendorong transaksi nontunai. Dari 300.000 rekan usaha yang menerima pembayaran melalui Go-Pay, 40% di antaranya adalah UMKM. Go-Pay juga bekerjasama dengan 28 institusi keuangan untuk memberikan layanan keuangan bagi komunitas unbanked.

Sejak Go-Pay diluncurkan pada 2016, uang elektronik di Tanah Air tumbuh pesat. Data Bank Indonesia mencatat bahwa dalam dua tahun uang elektronik tumbuh 300% dan sepanjang 2018 jumlah transaksinya sudah melampaui kartu kredit dan kartu debit. Go-Pay sendiri telah memproses lebih dari sepertiga jumlah transaksi uang elektronik di Indonesia.

Dalam konteks diplomasi, kolaborasi Go-Pay dan Coins.ph adalah momentum yang tepat untuk membuktikan bahwa perusahaan lokal dari Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara-negara di Asia Tenggara. Betapa pemanfaatan teknologi yang dipadukan nilai-nilai asli Indonesia bisa bersaing di tingkat regional maupun global.

Geliat ekonomi Indonesia yang lekat dengan eksistensi ojek, usaha mikro, dan arisan nyatanya mampu berbicara banyak di negara lain. Dengan kolaborasi, kedua wilayah akan memiliki kekuatan keuangan digital berbasis ekonomi mikro yang sangat besar menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean di sektor keuangan tahun 2020.

Di sisi yang lain, kerja sama ini menjadi bukti bahwa proses ekspansi tidak hanya menjadi ‘hak’ perusahaan multinasional berbasis waralaba dari negara besar. Melalui berbagai inovasi digital yang dipadukan dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti ojek dan arisan, perusahaan berbasis UMKM dari negara berkembang seperti Indonesia juga mampu bersaing.

Pantas kiranya Bung Hatta mengingatkan kita agar pengembangan ekonomi dan ekspansi tak boleh tercerabut dari budaya lokal, karena inilah sesungguhnya diferensiasi kita dengan bangsa lain.

Dengan segenap keunggulan lokal serta dukungan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan, percayalah kita akan memenangkan persaingan.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (10/5/2019)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper