Bisnis.com, JAKARTA - President Director & CEO Indosat Ooredoo Chris Kanter menilai harga yang dipasang PT Tower Bersama Infrastructure (TBIH) Tbk. untuk menggelar perangkat pasif di jalur operasional Mass Rapid Transit (MRT) fase I terlalu mahal.
Dia mengatakan, tidak seharusnya harga pemasangan perangkat pasif di jalur MRT senilai Rp600 juta per bulan. Menurutnya, harga pemasangan perangkat pasif dibawah angka tersebut.
"Bukan kemahalan [lagi], tapi sangat mahal. Jelas tidak bisa lah, ini kan pelayanan publik. Bahwa ada investasi, masa dirugikan mesti sama-sama untung," kata Chris di Jakarta, Senin (25/3/2019).
Chris juga menyarankan agar pihak TBIG mempertimbangkan kembali tarif yang ditawarkan kepada operator seluler, mengingat jumlah stasiun yang dilewati hanya enam stasiun dibagian terowongan saja.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara berharap agar penumpang MRT dapat mengakses jaringan telekomunikasi dari seluruh operator seperti di Singapura.
Rudiantara menerangkan di Singapura penumpang MRT bisa menikmati jaringan seluler dari seluruh operator, meskipun kereta sedang berada di dalam terowongan.
"Masyarakat awam termasuk seperti saya berharap bisa komunikasi di terowongan MRT atau stasiun-stasiun. Jadi tidak beda di Singapura, mereka sudah bisa," kata Rudiantara.
Dia menerangkan, tidak adanya jaringan di dalam terowongan MRT disebabkan tidak banyak operator seluler yang berivenstasi di kawasan operasional MRT fase I.
Rudi mengatakan idealnya seluruh operator seluler memiliki jaringan di terowongan MRT. Pasalnya, hingga saat ini baru Telkomsel yang jaringannya menjangkau hingga terowongan MRT.
"Yang paling bagus yang ada semua (operator). Kalau nanti siapa yang memakai silakan bicara ke pasar. Kalau nanti operator tidak investasi di sana yaitu konsekuensi dari MRT tidak bisa menyediakan layanan masyarakat," kata Rudiantara.
Meski demikian, lanjutnya, Kemkominfo tidak dapat mencampuri ketersediaan jaringan seluler di kawasan MRT fase I. Alasannya, pengadaan jaringan berkaitan dengan pembicaraan business to business (B2B) antara pengelola MRT, penyelenggara infrastruktur telekomunikasi dengan para operator seluler.
"Sebetulnya itu B2B dasarnya antara pengelola MRT dengan operator seluler. Balik lagi MRT ada mau coverage tidak di dalamnya. Kecuali kalau mereka minta saya fasilitasi, ya saya fasilitasi," kata Rudiantara.