Bisnis.com, JAKARTA—Anggaran belanja teknologi informasi (TI) pemerintah diperkirakan mencapai Rp45 triliun per tahun. Namun, efektifitas pemanfaatannya hanya 25%.
Vice Executive Chairman Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Detiknas) Zainal Hasibuan mengatakan dengan anggaran sebesar itu seharusnya pemanfaatan TI di Indonesia bisa lebih masif. Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah belum ada koordinasi satu atap antar berbagai instansi untuk memanfaatkan TI.
“Kualitas TI kita sekarang hanya senilai Rp10 triliun saja,” tuturnya saat ditemui di Kantor Detiknas, Rabu (11/12/2013).
Dia melanjutkan Indonesa saat ini belum punya visi TI yang jelas. Selama ini TI hanya diposisikan sebagai pelengkap bukan dijadikan senjata strategis untuk membangun bangsa. Padahal, Indonesia merupakan pangsa pasar potensial bagi penetrasi TI.
Detiknas sebenarnya sudah membuat kerangka kerja di sepuluh sektor seperti e-education, e-health, e-agriculture, National Single Window, Single Identity Number, e-procurement, e-budgeting, legal software, palapa ring, dan e-cultural heritage. Sayangnya, implementasinya masih belum sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Zainal, di negara maju anggaran belanja TI dikonsolidaskan di satu titik, sehingga bisa melihat secara garis besar keperluannya. Di Indonesia, hal itu tidak dilakukan karena anggaran TI masih terpecah-terpecah bahkan di dalam instansi pemerintah. Selama ini, anggaran belanja masih didominasi untuk pembelian perangkat keras. Namun, pemanfaatannya juga belum maksimal. Zainal mencontohkan, pembelian server misalnya hanya mampu dimanfaatkan 25% saja.
Dalam konteks Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Detiknas berperan dalam NSW. Zainal menyoroti peran TI dalam proses bisnis di berbagai koridor agar lebih efisien dan produktif. Secara spesifik, dia mengaku TI belum mendapat tempat di MP3EI. Menariknya, dalam megaproyek ini juga ada visi Indonesia Connected yang sayangnya masih dipersepsikan untuk membangun infrastruktur fisik seperti jalan dan jembatan.
“Padahal Indonesia Connected bisa digerakkan lewat telekomunikasi,” tambahnya.
Dia melanjutkan, potensi besar industri TI Indonesia sebenarnya ada di konten. Dari segi perangkat, industri di Indonesia mungkin sulit mengejar raksasa hardware yang sudah lebih dulu eksis. Menurutnya, industri digital kreatif menjanjikan potensi tinggi karena relatif lebih mudah digarap dan belum banyak pesaing.
Hal senada juga diperkuat oleh pernyataan M. Andy Zaky, Direktur Eksekutif Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI), yang mengatakan konten kreatif terus menunjukkan pertumbuhan pesat dari tahun ke tahun.
“Selama ini yang menunjukkan pertumbuhan pesat adalah sektor industri software, terutama software edukasi,” ujarnya saat dihubungi bisnis, Kamis (12/12/2013).
Kendati demikian, Zaky mengatakan pertumbuhan ini tidak ditunjang oleh ekosistem yang memadai. Dari segi konsumen, mereka belum terbiasa membeli konten kreatif. Selain itu sistem pembayaran juga belum terkonsolidasi rapi. Terakhir, Zaky menyoroti soal inkubator bisnis yang dinilai masih belum maksimal membesarkan perusahaan startup.