Meskipun terlahir bukan dari keluarga konglomerat dan berada di luar lingkaran keluarga Eka Tjipta Widjaja, Gandi Sulistiyanto dipercaya untuk mengemban tugas penting di Sinar Mas. Bukan saja sukses, sepak terjangnya dalam mengambil keputusan bahkan turut menyelamatkan bisnis yang dinakhodainya. Berikut petikan wawancara Bisnis dengannya, baru-baru ini.
Bagaimana kisah perjalanan karier Anda?
Selesai sekolah saya melamar kerja. Saya sempat diterima di Pupuk Kaltim. Tapi, ditempatkan di Bontang. Itu pada tahun 1982, tapi batal. Akhirnya saya langsung datang ke Jakarta.
Dengan berbekal ijazah teknik mesin [Universitas Diponegoro] saya datang ke Jakarta, naik bus kota. Saya melamar ke Astra. Waktu melihat gedung Astra di Sunter saya kagum, padahal hanya lima lantai. Saya datang ke sana dalam kondisi basah kuyub. Akhirnya saya mengeringkan baju di situ.
Setelah dipanggil saya dinyatakan lulus. Kemudian saya ditanya ‘apakah punya SIM?’ Saya sempat GR [gede rasa], saya kira mau langsung dikasih mobil. Eh, ternyata disuruh antar dan ambil spare part kendaraan. Jadi pertama kali saya bawa mobil box di Astra.
Akhirnya saya dapat mobil itu setelah kerja selama 3 tahun. Waktu itu, Daihatsu Hijet. Saat itu mobil seperti itu bagus banget. Saya pasangi AC sendiri, mereknya Denso. Kalau kedinginan, AC harus dimatikan total. Waktu itu saya sudah menikah.
Lalu, bagaimana ceritanya bisa sampai di Sinar Mas?
Posisi saya terakhir di Astra itu Marketing Manager di BMW. Saya sering main golf untuk menjaring pembeli. Nah, saat itu saya kenal Pak Indra [Indra Widjaja, anak Eka Tjipta Widjaja] saat main golf. Saya mendekatinya agar mau beli BMW, karena waktu itu [beliau] masih naik Jaguar.
Waktu itu Pak Indra adalah Dirut [anak usaha Sinar Mas di bidang keuangan]. Sama sekali saya nggak ngerti kenapa Pak Indra menawarkan saya kerja di Sinar Mas. Saya ya mau saja, karena gajinya lebih tinggi.
Tapi, di situ saya membaca bahwa Pak Indra punya visi. Orang tidak perlu pengetahuan penjualan, yang penting bisa me-manage orang. Sepertinya Pak Indra melihat saya bisa bergaul mulai dari lapisan bawah sampai atas. Akhirnya saya bergabung di sini [Sinar Mas] 1992.
Pada 1992 sebagai CEO asuransi jiwa EkaLife. Kemudian pada 1992 sampai 1997 saya mendirikan asuransi kerugian, LG Simas.
Pada 1999, saya diberi tugas tambahan dan diangkat menjadi komisaris di BII. Waktu itu masih punya Sinar Mas. Pada 1999, saat gejolak krisis saya men dapatkan tugas restrukturisasi perusahaan. Karena pada waktu itu masih berat. Pada 2000 saya ditarik corporate Sinar Mas.
Setelah menyelesaikan kasus BII, yakni pengalihan aset ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional [BPPN] dan kerja sama dengan BPPN, saya ditarik ke corporate sebagai managing director. Tugas utamanya restrukturisasi!
Menurut Anda apa perbedaannya dengan Astra?
Sebenarnya waktu itu sama-sama perusahaan keluarga. Saya semula di bidang keuangan. Baru pada 2000 menemani Pak Franky [Franky Widjaja] sebagai wakil ketua restrukturisasi. Kemudian saya masuk semua lini. Semua CEO Sinar Mas saya masuk ke sana.
Kalau di Astra, jenjang pendidikan sangat diperhatikan. Untuk menjadi supervisor ke manager harus ada jenjang, melalui Astra Management Program. Kalau di Sinar Mas akan dipacu menjadi entrepreneur. Untuk mengatasi masalah dengan cepat. Kalau sudah belajar di sini seolah-olah perusahaan sendiri.
Jadi, di sini kesempatan berkarier juga tinggi. Silsilah keluarga tidak menjadi ukuran. Banyak family Pak Eka Tjipta ada di bawah saya. Saya tidak ada hubungan sama sekali. Tapi saya dianggap seperti keluarga. Saya sendiri sudah 20 tahun di sini.
Sebelumnya apakah sempat ada bayangan ingin menjadi CEO perusahaan besar?
Tidak pernah terbayang sama sekali. Saya hanya ingin menjadi orang sukses. Punya keluarga baik.
Di Sinar Mas, siapa yang sangat berpengaruh bagi Anda?
Pak Eka Tjipta. Beliau, orang yang membentuk nothing menjadi something. Karena kegigihannya pula Sinar Mas menjadi seperti sekarang ini.
Ada pengalaman yang berharga bagi Anda?
Saat krisis 1999, waktu itu merupakan momentum yang sangat penting. Ini adalah nilai profesionalisme seorang eksekutif untuk menyelamatkan perusahaan. Waktu itu, utang Sinar Mas mencapai US$13,5 miliar. Menurut saya, itu tidak bisa diperoleh di bangku mana pun.
Saat krisis moneter 1998 sejumlah korporasi di Indonesia kolaps karena didera utang yang banyak didominasi valuta asing. Nilai tukar rupiah sempat melemah hingga menembus Rp20.000 per dolar AS.
Sinar Mas merupakan salah satu kelompok usaha yang terimbas krisis moneter, sehingga memaksa pemiliknya untuk melepaskan salah satu aset berharga, yakni PT Bank Internasional Indonesia Tbk kepada BPPN.
Bagaimana cerita penyelamatan perusahaan?
Kami menyelamatkan korporasi yang menaungi ratusan ribu karyawan. Ini bukan hanya sekedar perusahaan, tapi nafkah karyawan yang bernaung di sini. Kami harus bersyukur dengan adanya restrukturisasi itu. Aset Sinar Mas kini sudah bertambah sebelum restrukturisasi.
Kalau saat itu menyerah APP [Asia Pulp and Paper] sudah milik asing. Waktu itu restrukturisasi utang dari 2001 sampai 2003. Kemudian payment dan masalah administrasi sampai 2005. Itu lebih cepat dari grup lain.
Bagaimana bisa lepas dari utang?
Komitmen dari founding father, karena mereka berpesan namanya utang harus dibayar. Tidak boleh se-sen pun tidak dibayar. Tidak ada kita itu diskon. Hanya reschedule saja. Kami tetap bayar. Akhirnya kami bisa bertahan. Bahkan tahun depan mencapai 75 tahun Sinar Mas.
Bagaimana bisa bertahan sampai generasi ketiga?
Kuncinya satu, kekompakan. Kerukunan dalam mengelola. Ada satu pengarah yang mempunyai visi yang kuat yang diikuti anak cucu, yaitu figur Pak Eka Tjipta. Tentu saja dengan profesionalisme ini tidak mungkin terjadi.
Selain itu?
Nilai luhur dari pendiri. Landasan bisnis Sinar Mas dibutuhkan rakyat banyak. Terutama dalam industri makanan dihasilkan bagi rakyat banyak. Walau tahun 50-an [Pak Eka Tjipta] punya visi penduduk Indonesia tergantung pada security food. Bagaimana mengamankan makanan.
Selain itu, orientasi pendiri customer oriented. Orang akan berkembang dan bertumbuh untuk pendidikan. Tidak akan menurun, pasti meningkat. Itu direfleksikan pabrik kertas. Walaupun sekarang era paperless kebutuhan dunia tak menurun. Ke depan makin tinggi, masih terus.
Ketiga pendiri Sinar Mas memikirkan pondokan atau perumahan. Tak ada orang tak butuh berlindung atau berteduh. Kemudian untuk men-support semua itu dibutuhkan jasa keuangan. Ini membantu semua transaksi di dunia. Ini pengarahan untuk bisnis itu.
Keputusan yang Anda nilai penting?
Keputusan untuk mempertahankan Sinar Mas di bumi pertiwi. Di situ ada petunjuk atau pengarahan Pak Eka agar tetap mempertahankan aset yang bermanfaat bagi bumi pertiwi. Yang menguasai hajat hidup orang banyak. Akhirnya kami lepas BII. Aset hanya menampung ratusan orang, tetapi perkebuna n harus dipertahankan.
Hambatan mempertahankan aset itu?
Asing. Karena mereka terus mencoba menguasai aset ini. Sekarang ini kami sudah menampung 300.000 karyawan langsung dan tidak langsung 500.000, seperti supplier, petani, usaha kecil, hingga kontraktor.
Setelah melalui kesibukan, apa hobi Anda di waktu luang?
Hobi saya mempertemukan kawan lama. Reuni kawan lama memberikan inspirasi zaman dulu. Tapi saya yakin silahturahim bertemu orang lain atau orang lama akan menambah wawasan dan menambah umur. Saya pernah baca di Alquran silahturahim akan menambah umur dan rezeki.
Itu hobi saya, kalau diundang reuni saya datang agar menambah inspirasi. Kalau olahraga saya hobi golf. Dulu sempat badminton. Tapi, takut sekarang melakukan olahraga itu. Teman saya otot kakinya pernah putus karena fasilitasnya kurang bagus.
Bagaimana Anda mengatur waktu dengan keluarga?
Kuncinya satu, harus dapat pasangan hidup penuh pengertian. Kalau nggak dapat pasangan hidup pengertian, profesi kita akan terganggu. Kalau istri cemburuan di mana pun ditelepon terus. Istri selalu monitor terus. Kalau bisa ada GPS dipasang.
Itu kuncinya. Istri saya sangat pengertian. Bayangkan tiap hari pulang di atas jam 10 malam, berangkat jam 8 pagi. Pernah tidur 3 hari tiga malam di BPPN. Saya selalu memanfaatkan waktu yang ada buat keluarga, seperti hari libur.
Bagaimana Sinar Mas ke depan?
Semakin besar akan semakin banyak tantangan, terutama dari banyak trade war. Perang dagang unggulan ekspor akan diserang ditentang segala cara. Baik tariff barrier maupun non tariff barrier.
Yang paling banyak isu lingkungan. Dulu sempat didera isu kesehatan, misalnya crude palm oil [CPO], apabila mengonsumsi akan kena serangan jantung. Tapi, kemudian hilang, sekarang lingkungan mengenai deforest, hutan alam, carbon trade dan segala macam. Tapi, itu harus dijelaskan kepada dunia, bahwa kami sudah memikirkan sustainability negeri ini.