Kemenkominfo Izinkan Perusahaan Bangun 5G Secara Mandiri?

Leo Dwi Jatmiko
Senin, 17 Januari 2022 | 06:27 WIB
 Bus nirawak berteknologi 5G diuji coba di Chongqing, wilayah baratdaya China. /Antara-People's Daily
Bus nirawak berteknologi 5G diuji coba di Chongqing, wilayah baratdaya China. /Antara-People's Daily
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memperbolehkan mikro operator 5G beroperasi di Indonesia selama dalam kondisi darurat. 

Dirjen SDPPI Kemenkominfo Ismail berpendapat mikro operator seperti operator jaringan yang bergerak secara virtual atau perusahaan tertentu yang membangun 5G secara mandiri. 

Jaringan yang digelar termasuk dalam kategori telekomunikasi khusus yang digunakan untuk kebutuhan perusahaan saja. 

Pemerintah memiliki regulasi mengenai telekomunikasi khusus, yang intinya perusahaan diperbolehkan membangun jaringan telekomunikasi sendiri selama digunakan untuk kebutuhan perusahaan. 

“Bukan untuk komersial, tetapi untuk digunakan sendiri,” kata Ismail kepada Bisnis, Sabtu (15/1/2022). 

Dia menambahkan filosofi telekomunikasi khusus di Indonesia adalah pintu darurat. Pemerintah membuka pintu telekomunikasi khusus, jika operator seluler tidak memungkinkan untuk hadir di kawasan perusahaan tersebut. 

Sebagai contoh kerja sama Telkomsel dengan Freeport Indonesia. Freeport bisa membangun sendiri dan mungkin punya kemampuan finansial dan orang-orang untuk membangun jaringan sehingga Freeport memiliki jaringan telekomunikasi sendiri, termasuk 5G. 

Ismail menuturkan meskipun Freeport memiliki kemampuan sendiri, jauh lebih baik bekerja sama dengan operator seluler yang telah memiliki pengalaman dan jaringan yang tersebar di berbagai daerah. 

Dengan jaringan yang tersebar, maka layanan 5G dapat terhubung ke mana pun dan tidak bersifat lokal. Selain itu, penggunaan spektrum frekuensi juga lebih optimal karena tidak terbagi-bagi atau tidak hanya untuk melayani satu perusahaan saja. 

“Operator seluler pun terdorong untuk membangun layanan yang sejenis ke teman-teman pertambangan yang lain,” kata Ismail. 

Selain itu, Ismail juga khawatir jika izin telekomunikasi khusus terlalu banyak, perkembangan bisnis telekomunikasi dan implementasi nasional akan terganggu. 

Ismail mengatakan perusahaan-perusahaan besar di Eropa, seperti Mercedes- Benz dan BMW, membangun jaringan telekomunikasi khusus untuk melayani kebutuhan mereka.  

Alasan perusahaan tersebut membangun jaringan sendiri karena tidak sabar jika harus menunggu operator menggelar jaringan. Kedua, spesifikasi perangkat operator di sana berbeda dengan yang dibutuhkan. 

Dengan kondisi tersebut, kata Ismail,  pemerintah Jerman memberikan ruang bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk menggelar jaringan telekomunikasi secara langsung. Adapun di Indonesia masih akan dikaji, walaupun regulasi telah memperbolehkannya. 

“Jadi secara aturan diperbolehkan, namun secara kebijakan kami perlu kaji kapan waktu yang tepat untuk membuka layanan-layanan itu,” kata Ismail. 

Sebelumnya, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai penggelaran 5G di Indonesia berpeluang menghadirkan mikro operator. 

Terdapat banyak konsep mengenai mikro operator, yang intinya adalah penggelaran layanan 5G di luar dari operator telekomunikasi selaku penyelenggara seluler pemilik lisensi. 

Pasar 5G Indonesia

Sementara itu Cisco dan A.T Kearney Analysis melaporkan Implementasi teknologi 5G oleh korporasi diperkirakan mendongkrak pendapatan operator seluler di Asia Tenggara hingga 12 persen per tahun pada 2025.

Hasil studi yang berjudul 5G in ASEAN: Reigniting Growth in Enterprise and Consumer Markets yang dirilis oleh Cisco dan A.T Kearney Analysis, Indonesia adalah negara di Asia Tenggara dengan potensi pendapatan tertinggi saat 5G diterapkan. 

Pada 2025, atau saat 5G diperkirakan mulai beroperasi di Indonesia, pendapatan operator seluler di Indonesia diprediksi menyentuh US$1,4 miliar—US$1,83 miliar. Mayoritas pendapatan tersebut disumbangkan oleh implementasi 5G pada segmen business to business (B2B). 

Segmen B2B diperkirakan berkontribusi hingga US$620 juta—US$780 juta terhadap pendapatan industri telekomunikasi seluler. 

Segmen business to customer (B2C) untuk layanan internet bergerak (mobile broadband) berbasis ponsel, yang selama ini menjadi mesin pendapatan operator seluler hanya berkontribusi, US$310 juta—US$460 juta.  

Sementara itu laporan 5G Business Potential from Industry Digitalization yang dikeluarkan oleh ITU-D menyebutkan sektor manufaktur, sektor energi - utilitas dan sektor keamanan publik, menjadi tiga sektor teratas dengan potensi pendapatan tertinggi ketika 5G diimplementasikan di sektor tersebut. 

Potensi pendapatan yang bisa diraup operator telekomunikasi di sektor manufaktur mencapai US$113 miliar, sektor energi dan utilitas mencapai US$101 miliar, dan sektor keamanan publik mencapai US$38 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper