Bisnis.com, JAKARTA – Pangsa pasar ritel yang lebih luas dibandingkan pasar korporasi, menjadi salah satu alasan perusahaan rintisan (startup) dengan model bisnis ke konsumen (B2C) lebih cepat berkembang menjadi unikorn.
Berbeda dengan upaya mendorong produk ke pasar korporasi (B2B) yang membutuhkan banyak negosiasi, B2C terbilang lebih mudah dan cepat karena menyentuh masyarakat sebagai konsumen secara langsung.
Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta Dianta Sebayang mengatakan bahwa kekuatan startup Indonesia berada di segmen konsumen.
Indonesia merupakan pasar yang besar, dengan 202,6 juta masyarakat yang telah terhubung dengan internet atau lebih dari 70 persen dari total populasi.
Permasalahan di masyarakat juga banyak yang bakal terbantu dengan teknologi ke depannya, sehingga startup yang mengincar pasar konsumen mengalami pertumbuhan pesat dan mampu menjadi unikorn.
“Saya rasa tren B2C sebagai unikorn masih akan dominan, karena masih banyak ruang untuk memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang ada di masyarakat,” kata Dianta, Rabu (13/10/2021).
Alasan lain pertumbuhan perusahaan rintisan dengan model bisnis B2C lebih cepat tumbuh, sambungnya, karena untuk masuk dan memasarkan produk ke pasar ritel lebih mudah dan cepat, serta tidak membutuhkan negosiasi seperti saat memasarkan produk di pasar korporasi.
Perusahaan-perusahaan besar juga cenderung mengelola secara mandiri proses digitalisasi dan teknologi informasinya dibandingkan dengan bekerja sama dengan perusahaan rintisan.
“Startup B2B harus lebih intens berpromosi kepada sesama korporasi, karena banyak bisnis yang mapan, lebih suka melakukan digitalisasi di perusahaannya secara mandiri,” kata Dianta.
Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R. Sirait mengatakan bahwa B2B akan sangat baik buat permulaan di awal bagi kerja sama dengan perusahaan rintisan.
Namun ke depannya, antara korporasi dan perusahaan rintisan itu sendiri ujungnya akan saling berkompetisi juga.
“Potensi pasar yang ada di ritel juga jauh lebih besar dari konsumsi,” kata Jefri.
Sebelumnya, Credit Suisse, salah satu bank dan manajemen investasi global asal Swiss, mengeluarkan laporan yang menyebut jumlah unikorn di Asia Tenggara pada 2021 telah mencapai 35 unikorn.
Sebanyak 11 unikorn atau 31 persen dari jumlah tersebut berasal dari Indonesia. Tidak hanya itu, Credit Suisse juga menyatakan bahwa mayoritas perusahaan rintisan yang menjadi unikorn merupakan startup yang bergerak menyasar pasar ritel.
Dalam hal pembagian sektoral, sektor fintek paling banyak menyumbang unikorn yang mencakup 26 persen dari total unikorn di Asia Tenggara, sedangkan sektor dagang el sebesar 20 persen, dan logistik 11 persen.