Bisnis.com, JAKARTA - Tantangan keamanan siber perlu menjadi prioritas karena terjadi peningkatan serangan di tengah pandemi Covid-19.
Cisco Indonesia melaporkan bahwa perusahaan di Indonesia mengalami tantangan keamanan siber selama pandemi. Pasalnya, berdasarkan hasil studi, 78 persen perusahaan menyebut ada peningkatan ancaman sebesar 25 persen atau lebih sejak dimulainya pandemi. Jumlah ini terus meningkat karena sebagian besar perusahaan tidak siap mendukung sistem kerja jarak jauh secara aman.
Kendati begitu, keamanan siber dinilai telah menjadi prioritas utama banyak perusahaan Indonesia, di mana, 59 persen menyebut, keamanan jadi sangat penting. 26 persennya menyebut, keamanan lebih penting dibanding sebelum Covid-19.
Ilustrasi kejahatan siber
Tantangan-tantangan siber yang dirasakan perusahaan, terbanyak adalah akses yang aman (70 persen) dan perlindungan data pribadi (70 persen), perlindungan terhadap malware (63 persen).
Lebih dari setengah (63 persen) perusahaan percaya, mereka akan meningkatkan investasi keamanan siber. Bahkan 40 persen di antaranya yakin bahwa investasi akan lebih dari 30 persen.
Studi ini pun mengungkap, 95 persen perusahaan di Indonesia mengakui, bahwa kesiapan dalam mempercepat transisi ke lingkungan kerja jarak jauh cukup beragam, mulai dari sangat siap hingga cukup siap. Hanya 22 persen perusahaan yang mengatakan, lebih dari 50 persen tenaga kerja mereka bekerja dari jarak jauh sebelum pandemi. Jumlah itu diperkirakan meningkat jadi 32 persen ketika membahas situasi ketenagakerjaan setelah pandemi selesai.
Yusuf Setiadji, akademisi dari Politeknik Siber dan Sandi Negara, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengatakan bahwa serangan siber dapat dilakukan oleh siapa saja, baik dari luar maupun dalam negeri, dengan berbagai motivasi mulai dari ajang pembuktian diri atau tindak kriminalitas.
Karena itu, tuturnya, satu-satunya cara untuk mengantisipasi serangan itu dengan meningkatkan kewaspadaan kala menerima pesan dari berbagai media social, serta tidak mudah menekan tautan dalam pesan itu.
“Kalau dulu ada fasilitas spam email yang mengkarantina email-email tidak dikenal. Tapi sekarang bisa beredar luar menggunakan media sosial lain dan kadang orang yang kita percaya, bisa saja menyebarkan tautan yang disertai dengan iming-iming tertentu. Padahal tanpa disadari itu merupakan upaya serangan siber,” terangnya.
Ilustrasi kejahatan siber
Pemerintah Inggris sangat serius dalam mengantisipasi dan melindungi masyarakatnnya dari serangan siber dengan membangun National Cyber Security Center (NCSC). Diluncurkan pada Oktober 2016, NCSC memiliki kantor pusat di London dan telah mengumpulkan para ahli dari CESG (Communications-Electronics Security Group, cabang jaminan informasi Government Communication Headquarters atau GCHQ), Center for Cyber Assessment, CERT-UK (Computer Emergency Response Team nasional Inggris), dan Pusat Perlindungan Infrastruktur Nasional.
Selama pandemi Covid-19, serangan siber di Inggris pun mengalami peningkatan. BBC melaporkan, selama periode September 2019-Agustus 2020, ada 723 insiden dari semua jenis, mendekati kenaikan 10 persen dari periode sebelumnya. Lebih dari seperempat insiden yang ditanggapi Pusat Keamanan Siber Nasional (NCSC) Inggris adalah terkait Covid, menurut laporan tahunan terbarunya.
Lima tahun sejak NCSC diluncurkan, NCSC telah menangani lebih dari 2.000 insiden ancaman dunia maya yang signifikan dari seluruh dunia, mulai dari serangan rahasia yang disponsori negara, hingga serangan kriminal dengan dampak publik yang besar. Lebih dari 5% situs berbahaya dihosting di Inggris saat organisasi dimulai, tetapi jumlah itu sekarang telah dikurangi menjadi 2%. Pada tahun 2020, ratusan ribu alamat web URL berbahaya dihapus.
Pusat keamanan siber Negeri Union Jack itu juga kemudian membuat semacam panduan untuk mengantisipasi atau melakukan langkah tertentu jika merasa telah dirugikan atas kejadian pencurian data tersebut.
Informasi lebih lanjut tentang bagaimana Inggris membangun kekuatan ketahanan siber dapat diakses melalui tautan berikut https://bit.ly/3mLwUEx
Di Indonesia, Pemerintah Inggris melalui Kedutaan Besar Inggris di Jakarta turut memberikan kontribusi berbasis teknologi informasi yang bekerja sama dengan SAFEnet dan Get Safe Online UK. Kolaborasi itu menghasilkan pengembangan platform Awas KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online).
Platform yang dikembangkan SAFEnet ini dan didukung oleh Digital Access Programme Pemerintah Inggris bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu Kekerasan Berbasis Gender Online, serta memberikan dukungan terhadap penanganan kasus KBGO melalui kampanye media sosial dan buku panduan untuk aspek hukum.
Patut diketahui, Get Safe Online (GSO) Inggris dengan dukungan dari Pemerintah Inggris, telah meluncurkan situs web Get Safe Online di Indonesia berikut menyediakan konsultasi tentang kesadaran dan pendidikan keamanan siber dengan menggunakan sumber yang universal.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jenkins mengatakan bahwa internet harus menjadi sarana yang aman dan terjamin untuk mengakses pengetahuan. Maraknya Kekerasan Berbasis Gender Online tentunya sangat mengkhwatirkan karena semakin banyak aktivitas yang berpindah ke online.
“Hal ini tentunya menjadikan generasi muda menjadi kaum yang paling rentan dikarenakan mereka dipaksa untuk belajar di rumah selama pandemi. Perilaku mengancam dan mengintimidasi tentu tidak dapat diterima - baik itu di jalan atau daring,” pungkasnya.
Get Safe Online (GSO) Inggris dapat diakses pada tautan berikut: https://bit.ly/3dUBDkC.