Merger Tri dan Indosat (ISAT), Tak Pengaruhi Persaingan Sehat

Leo Dwi Jatmiko
Selasa, 2 Maret 2021 | 21:21 WIB
Merger/Ilustrasi
Merger/Ilustrasi
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA- Pengamat telekomunikasi menilai merger PT Hutchison 3 Indonesia dengan PT Indosat Tbk (ISAT) masih dalam koridor persaingan usaha sehat.

Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia-ITB Ian Yosef M. Edward menilai Indosat dan Tri tidak akan melakukan pengalihan spektrum frekuensi dengan skema merger, mengingat banyak prosedur yang harus dilakukan. Keduanya, kemungkinan hanya akan melakukan kerja sama spektrum frekuensi, sehingga masing-masing perusahaan tidak perlu melebur jadi satu.

“Kalau menurut saya bukan merger, tetapi kerja sama [spektrum frekuensi],” kata Ian kepada Bisnis.com, Selasa (2/3/2021).

Adapun jika kedua perusahaan tetap bergabung, kata Ian, dari sisi pelanggan dan frekuensi belum dapat melebihi pemain dominan dalam hal ini PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), sehingga merger keduanya masih dalam koridor persaingan usaha sehat.

Saat ini Tri menggunakan frekuensi sebesar 25 MHz yang tersebar di 1800 (10 MHz) dan 2100 MHz (15MHz). Adapun Indosat menggunakan frekuensi sebesar 47,5 MHz yang tersebar di 850 (2,5 MHz), 900 (10 MHz), 1800 (20 MHz) dan 2100 MHz (15 MHz).

Jika frekuensi tetap dikelola oleh entitas gabungan kedua perusahaan maka frekuensi yang dikantongi menjadi 72,5 MHz, dengan jumlah pelanggan sekitar 96 juta pelanggan. Jumlah frekuensi dan pelanggan yang dimiliki masih berada di bawah jumlah pelanggan dan frekuensi Telkomsel, yang masing –masing berjumlah 170 juta dan 82,5 MHz pada kuartal III/2020.

Menurutnya, salah satu indikator persaingan tidak sehat adalah ketika dua perusahaan yang bergabung melahirkan sebuah perusahaan yang mengalahkan perusahaan mayoritas dan menyebabkan pengaturan harga.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan untuk mengetahui persaingan usaha yang sehat, sejumlah pemangku kepentingan yang ingin mengalihkan spektrum frekuensi harus merujuk pada undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

“Yang layak menentukan apakah ada potensi persaingan usaha yang tidak sehat adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha [KPPU] dan sebelum dibubarkan adalah juga Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia [BRTI]” kata Heru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper