Pemerintah Diminta Lakukan Spectrum Sharing 5G Nasional

Feni Freycinetia Fitriani
Minggu, 27 Desember 2020 | 17:32 WIB
Ilustrasi teknologi atau jaringan 5G / istimewa
Ilustrasi teknologi atau jaringan 5G / istimewa
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah sudah memberikan 'lampu hijau' untuk kerja sama penggunaan spektrum radio pada teknologi baru sesuai Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Direktur Rumah Reformasi Kebijakan Riant Nugroho mengatakan agar masyarakat bisa mendapatkan layanan 5G seutuhnya (true 5G), maka setiap operator membutuhkan bandwidth minimal 100 Mhz dan contiguous.

Permasalahannya, dia menuturkan saat ini tidak tersedia spektrum frekuensi 100 MHz yang bersifat contiguous. Kecuali di frekuensi 2600Mhz yang saat ini masih belum optimal untuk mendukung transformasi digital. Padahal ekosistem 5G di dunia untuk frekuensi 2600Mhz sudah terbentuk.

“UU Cipta Kerja membuka spectrum sharing terbatas untuk penerapan teknologi baru. Seluruh sumber daya frekuensi yang ada harus dioptimalkan untuk mendukung penerapan teknologi baru guna mendukung transformasi digital," katanya seperti dikutip dalam siaran pers, Minggu (27/12/2020).

Lebih lanjut, Riant menyoroti adanya pengaturan di RPP Postelsiar yang membatasi cakupan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru.

Menurutnya, Pasal 49 ayat 1 seharusnya juga membolehkan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru yang dilakukan di seluruh wilayah layanan dan seluruh pita yang tercantum di IPFR (Izin Pita Frekuensi Radio).

Dia menilai kerja sama spektrum frekuensi radio untuk penerapan 5G jika tidak boleh di seluruh wilayah dan di seluruh pita IPFR, maka skala keekonomisan tidak akan tercapai.

"Yang dapat menikmati layanan 5G hanya masyarakat di sebagian wilayah. Dan yang harus diingat 5G itu memerlukan investasi yang besar. Kalau seperti ini, dapat dipastikan penggelaran 5G tidak akan optimal,” ungkapnya.

Karena itu, dia meminta pemerintah sebagai regulator tidak bisa menggunakan pendekatan lama dalam alokasi spektrum frekuensi radio.

Riant menilai ketika pemerintah berbicara tentang 5G, maka pola alokasi spektrum frekuensi yang digunakan pasti berbeda dengan apa yang diterapkan untuk 4G.

“Kebutuhan 5G itu 100 MHz contiguous, ya tidak mungkin dialokasikan 10 MHz - 20 MHz per operator, kemudian disuruh operator atur sendiri sesama mereka," jelasnya.

Dia mengatakan alokasi spektrum frekuensi untuk 5G seharusnya berupa pita yang lebar mendekati 100 MHz untuk satu operator. Operator yang mendapat alokasi spektrum frekuensi adalah mereka yang betul-betul memiliki kemampuan menggelar infrastruktur 5G.

Konsekuensinya, kata dia, hanya ada satu atau beberapa operator saja yang mendapatkan alokasi spektrum 5G. Operator lain yang tidak mendapatkan alokasi pita spektrum frekuensi dapat bekerja sama secara wholesale dengan operator yang mendapatkan alokasi spektrum frekuensi 5G.

“Seperti di Singapura, operator yang mendapatkan alokasi spektrum frekuensi 5G dapat membuka kerja sama wholesale dengan operator lain yang tidak mendapatkan alokasi spektrum," ungkapnya.

Sebelumnya, Director & Chief Technology Officer XL Axiata I Gede Darmayusa mengakui ketersediaan frekuensi dan regulasi masih menjadi tantangan dalam menggelar jaringan 5G di Indonesia. 

Dia mengatakan teknologi generasi ke-5 ini memiliki karakteristik berbeda dengan 4G. Menurutnya, 5G membutuhkan investasi yang besar dan 'haus' akan bandwidth.

"XL mulai memikirkan untuk dilakukannya spectrum sharing untuk teknologi baru," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper