Regulator Bakal Awasi Bisnis Penyewaan Infrastruktur Pasif

Leo Dwi Jatmiko
Rabu, 16 September 2020 | 18:21 WIB
Teknisi melakukan pemeriksaan perangkat BTS di daerah Labuhan Badas, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (26/8). Bisnis/Abdullah Azzam
Teknisi melakukan pemeriksaan perangkat BTS di daerah Labuhan Badas, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (26/8). Bisnis/Abdullah Azzam
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dinilai akan memiliki tanggung jawab baru yaitu sebagai pengawas penyewaan infrastruktur pasif jika rancangan undang-undang Omnibus Law disahkan.

Pengamat Telekomunikasi Nonot Harsono mengatakan bahwa penyewaan infrastruktur pasif selalu berakhir pada skema business to business (B2B). 

Perubahan redaksi hukum dari sekadar B2B menjadi berkeadilan, wajar dan tidak diskriminatif, menurutnya, bermakna bahwa akan ada keterlibatan pemerintah yang akan memantau dinamika hubungan B2B dalam hal penyewaan infrastruktur pasif tersebut.

“Jika kalimat hukumnya menjadi 'berkeadilan, wajar dan tidak diskriminatif' maka jika terjadi praktek B2B yang tidak berkeadilan, atau tidak wajar, atau diskriminatif, maka regulator dapat menegur pihak yang melakukan itu,” kata Nonot kepada Bisnis, Rabu (16/9).

Dia menambahkan bahwa konsekuensi dari kalimat hukum tersebut perlu diantisipasi dengan aturan main yang menyertai perubahan itu.

Jika dalam praktek B2B murni, calon penyewa infrastruktur tidak bisa memaksa ketika pemilik infrastruktur telah menyatakan menolak untuk bekerjasama, dengan beberapa alasan teknis ataupun non teknis.

Namun dengan kalimat hukum berkeadilan, wajar dan tidak diskriminatif, kata Nonot, calon penyewa dapat mengajukan gugatan kepada regulator bahwa telah terjadi ketidakadilan ataupun diskriminatif.

Dia menyarankan agar  regulator  membentuk ‘persidangan’ komite regulasi untuk menampung dan menilai laporan atau gugatan di antara para operator nantinya. “Sebab, jika dibawa ke pengadilan umum, bisa jadi industri ini akan sibuk urusan pengadilan,” kata Nonot.

Nonot menambahkan dari sudut pandang ekonomi, berbagi infrastruktur dapat membuat industri telekomunikasi makin hemat karena beban biaya investasi ataupun operasional akan dipikul bersama.

Secara nasional, akan terjadi efisiensi investasi sehingga dengan nominal dana yang sama dapat dibangun infrastruktur yang lebih merata di wilayah indonesia yang sangat luas.

Adapun jika dikaitkan dengan potensi pemerataan jaringan yang makin luas, sebut Nonot, tidak terlalu berpengaruh.

Nonot menjelaskan manfaat dari berbagi infrastruktur pasif, hanya terasa di wilayah perkotaan karena bisa mengurangi galian, mengurangi jumlah menara, mengurangi gedung-gedung tempat perangkat jaringan, mengurangi tiang-tiang kabel udara dan seterusnya.

“Jika dilanjutkan dengan berbagi infrastruktur aktif, barulah akan sangat besar terjadi penghematan investasi, penghematan devisa, pengurangan defisit neraca perdagangan dan percepatan penggelaran ke area- area yang memerlukan BTS tidak banyak tetapi kapasitas dibuat jauh lebih besar,” kata Nonot.

Nonot menambahkan bahwa berbagi infrastruktur aktif juga akan bermanfaat baik di wilayah pedesaan ataupun di wilayah perkotaan. Operator dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan, sehingga Quality of Experience dari para pengguna atau masyarakat menjadi lebih baik.

“Namun tentu perlu dilakukan analisis dampak regulasi yang memadai, mengingat ideologi regulasi Indonesia adalah Persaingan Bebas,” kata Nonot.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper