Pengenaan Pajak Netflix dan Zoom Dinilai Tepat

Rahmad Fauzan
Kamis, 2 April 2020 | 05:43 WIB
Netflix. Bloomberg
Netflix. Bloomberg
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Langkah pemerintah melakukan perluasan kebijakan perpajakan dalam rangka menghadapi dampak virus corona (Covid-19), termasuk pemajakan atas transaksi elektronik subjek pajak luar negeri (SPLN) seperti Netflix dan Zoom dinilai tepat.

Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) pemerintah mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Transaksi Elektronik.

Pajak tersebut diberlakukan atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh SPLN yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerrard Plate mengatakan aturan tersebut relevan dengan kondisi perpajakan di dalam situasi apapun, di mana penyerapan pajak baru tidak lagi mengacu kepada kehadiran kantor secara fisik, tetapi juga kehadiran manfaat ekonomi atau yang lazim disebut new nexus system.

"Hal itu sudah lumrah diterapkan di ranah global. Jadi, dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dalam situasi seperti sekarang ini, kebijakan itu tepat," ujar Johnny kepada Bisnis, Rabu (1/4/2020).

Kebijakan tersebut juga dinilai akan menciptakan level of playing field yang sama antara pelaku bisnis yang memiliki kantor dengan badan usaha yang tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia.

Pengamat Ekonomi Digital Universitas Indonesia Fithra Faisal berpendapat langkah tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah menangkap aktivitas ekonomi untuk meningkatkan kemampuan negara dalam menggerakkan roda perekonomian di tengah kondisi seperti saat ini.

"Bagaimana pun pemerintah perlu running. Pada masa-masa seperti ini, pemerintah memang harus memiliki kebijakan yang dapat membuat perekonomian terus bergerak," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (1/4/2020).

Di tengah kondisi seperti saat ini, lanjut Fithra, pemerintah tentu melihat momentum perubahan ekonomi, ditandai dengan berkurangnya aktivitas ekonomi fisik yang diprediksi berlangsung 2-3 bulan ke depan.

Padahal, terdapat unit ekonomi lain yang dapat dijadikan objek pajak negara, yakni platform digital seperti platform dagang-el dan over-the-top (OTT) dengan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan.

Perlu diketahui, saham Netflix (NFLX) menguat 1,22% ke level US$375,50 per saham dalam penutupan perdagangan terakhir, Selasa (31/3/2020). Penguatan saham NFLX terpantau terjadi sejak 16 Maret 2020.

Selain itu, kata Fithra, pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) tidak akan bermasalah bagi pemain besar di ranah platform digital seperti Netflix ataupun Zoom yang juga tercatat berada di zona hijau di pasar saham global.

Bahkan, Netflix diperkirakan tidak akan mengubah rencana bisnisnya di Tanah Air ataupun menaikkan harga layanan jika nanti pemberlakuan pajak benar-benar diterapkan oleh pemerintah.

Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, status Indonesia sebagai big market dipastikan membuat perusahaan tidak akan mudah untuk beralih. Kedua, perusahaan cenderung tidak menaikkan harga karena tipikal perusahaan dengan skala ekonomi besar adalah lebih mengedepankan volume konsumen dibandingkan dengan keuntungan per transaksi.

Namun demikian, pemerintah dinilai harus tetap berhati-hati dalam menerapkan aturan perpajakan tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, pemerintah perlu menerapkan pajak yang moderat terhadap SPLN.

Pasalnya, meskipun SPLN dilihat sebagai sumber penerimaan di tengah kondisi negara yang tengah memerlukan sumber pendapatan, penerapan pajak yang agresif justru bisa menjadi kontraproduktif bagi perekonomian atau bertentangan dengan upaya pemerintah dalam mendatangkan investasi.

"Kalau agresif, mereka malah menghindar dari pasar Indonesia," ujar Yustinus kepada Bisnis (1/4/2020).

Adapun, pemerintah memiliki 3 acuan dalam pengenaan pajak tersebut, antara lain significant economy present, marketing intensible atau berdasarkan besaran kontribusi Indonesia terhadap pemasukan global SPLN, serta partisipasi pengguna yang menghitung besaran pengguna platform SPLN di Indonesia.

Namun, lanjut Yustinus, jika tax treaty yang masih mengacu kepada kehadiran fisik menghalangi pengenaan pajak tersebut, maka pemerintah akan mengenakan pajak transaksi elektronik.

Yustinus menambahkan, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Transaksi Elektronik, akan berlaku umum bagi setiap SPLN yang melakukan aktivitas bisnis di Tanah Air.

Dihubungi secara terpisah, Pakar IT Abimanyu Wahyu Hidayat menilai pengenaan pajak terhadap SPLN merupakan hal yang wajar. Pasalnya, segala bentuk transaksi yang terjadi di Indonesia maka harus dikenakan pajak yang berlaku sesuai dengan masing-masing kategori transaksi.

Abimanyu juga memprediksi pengenaan pajak tidak akan mengurangi niat berbisnis SPLN di Indonesia. Selain karena besarnya pangsa pasar, hal tersebut dimungkin oleh tingginya tingkat konsumsi digital masyarakat Indonesia.

"Tingginya tingkat konsumsi digital, populasi yang besar, dan masifnya jumlah pengguna internet di Indonesia membuat ngiler semua pebisnis. Makanya, mereka akan tetap berbisnis di Indonesia meskipun harus ada setoran pajak," ujar Abimanyu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rahmad Fauzan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper